Tigray, Pusaran Baru Konflik Panjang di Tanduk Afrika
Konflik berkepanjangan mendera Etiopia, mengakibatkan krisis kemanusiaan. Ribuan orang tewas dan jutaan orang mengungsi akibat kekerasan antara pasukan pemerintah dan pemberontak. Mereka pun terancam kelaparan.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
ADDIS ABABA, KAMIS — Region Tigray di Etiopia utara kini menjadi pusaran baru konflik panjang di Tanduk Afrika setelah Somalia dan Somalilan. Sejak pecah pertikaian antara pasukan lokal dan pasukan pemerintah pada 4 November 2020, kekerasan bersenjata terus berlanjut.
Ribuan orang tewas, diculik, dan hilang, baik dari sipil, militer, maupun pejabat pemerintah. Pasukan lokal Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang disebut pemberontak atau milisi oleh Pemerintah Etiopia, berbasiskan etnis. Mereka menguasai pemerintahan dan pasukan lokal di region Tigray.
Laporan terbaru pemerintah, seperti dirilis AP dan AFP, Kamis (27/5/2021), menyebutkan, TPLF telah membunuh 22 pejabat dan menculik 20 pejabat pemerintahan sementara lainnya. Meski pemerintah federal tidak merilis total korban tewas sejak konflik pecah enam bulan lalu, korban tewas diperkirakan mencapai ribuan orang dengan jutaan orang mengungsi. Empat pejabat lainnya ”terluka dan dirawat di rumah sakit”, kata pernyataan pemerintah di Twitter terkait kekerasan terbaru di Tigray.
Konflik di Tigray berawal dari upaya Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed untuk mengakhiri federalisme etnis di Tigray yang didominasi pemeluk agama Kristen. Abiy mendeklarasikan kemenangan tiga minggu setelah serangan dimulai. Ia mengganti pemerintahan regional yang dikuasai TPLF dengan pemerintahan sementara yang dipimpin seorang pejabat federal yang berpusat di ibu kota Addis Ababa. Saat itu dia mengatakan, operasi militer di Tigray telah selesai.
Namun, kini, enam bulan kemudian, pertempuran sengit masih terus berlanjut di Tigray. Pejuang pro-TPLF melakukan penyerangan di desa-desa. Sebagai pembalasan, dengan dalih untuk keutuhan dan kesatuan bangsa serta demi melindungi rakyat, pasukan pemerintah pun balas menyerang.
Serangan terhadap pejabat sementara telah dilakukan milisi TPLF yang mengaku berjuang untuk masyarakat Tigray. ”Namun, mereka lebih aktif terlibat dalam perusakan properti, penculikan, dan pembunuhan anggota pemerintahan sementara yang bertugas menjaga stabilitas. TPLF terus membakar rumah dan menembaki orang-orang,” kata pernyataan pemerintah.
Sembilan pejabat tewas di timur laut Tigray. Jumlah korban ini tertinggi jika dibandingkan dengan zona lain di region tersebut. Sementara enam orang tewas di zona tengah. Wilayah timur dan tengah telah menyaksikan pertempuran sengit antara TPLF dan pasukan Abiy sejak 4 November 2020.
Namun, laporan resmi pemerintah diduga kuat hanya sepihak dan menyudutkan TPLF. Laporan yang diterima komunitas internasional menyebutkan, kekejaman juga dilakukan pasukan pemerintah Etiopia dan Eritrea, termasuk pembantaian dan kekerasan seksual yang meluas, sehingga mendapat kecaman internasional.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Rabu, mengeluarkan pernyataan keras dan keprihatinan tentang kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Tigray. Dia mendesak para pihak yang bertikai untuk mengumumkan gencatan senjata dan segera bernegosiasi untuk memulihkan perdamaian.
”Pelanggaran HAM skala besar di Tigray, termasuk kekerasan seksual yang meluas, tidak dapat diterima dan harus diakhiri. Keluarga dari setiap warisan etnis berhak hidup damai dan aman di negara mereka,” kata Biden.
Mark Lowcock, Wakil Sekjen PBB untuk Koordinasi Bantuan Darurat dan Urusan Kemanusiaan, memperingatkan Dewan Keamanan PBB bahwa krisis kemanusiaan di Tigray memburuk. ”Ada risiko kelaparan yang serius jika bantuan tidak ditingkatkan dalam dua bulan ke depan,” katanya.
Dalam sebuah catatan kepada DK PBB, Lowcock mengatakan, ”Jelas bahwa orang-orang yang tinggal di Tigray sekarang menghadapi kerawanan pangan yang meningkat secara signifikan. Itu terjadi akibat konflik. Pihak-pihak yang bertikai membatasi akses untuk mendapatkan makanan.”
Krisis pangan berat
Menurut Lowcock, peringatan terbaru pada 19 Mei dari Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan menunjukkan Tigray tengah dan timur serta beberapa daerah di barat laut dan tenggara Etiopia berada dalam Fase 4. Artinya, 20 persen dari sekitar 3,3 juta penduduk di sana dalam krisis pangan berat. Mereka menghadapi kekurangan gizi akut dan kematian.
Tidak ada yang tahu berapa ribu warga sipil atau pejuang telah tewas sejak berbulan-bulan ketegangan politik antara pemerintahan Abiy dan para pemimpin Tigray. Eritrea, musuh lama Tigray, bekerja sama dengan tetangganya, Etiopia, dalam konflik menghadapi pasukan lokal Tigray yang dipimpin TPLF. Namun, media lokal menyebutkan korban jiwa berkisar 1.500-2.500 jiwa. Data itu diambil berdasarkan daftar nama korban yang dirilis pada Februari lalu.
Lowcock menyebutkan, sejak November sudah sekitar 2 juta orang mengungsi, warga sipil terbunuh, terluka, serta mengalami pemerkosaan dan bentuk lain ”kekerasan seksual yang menjijikkan”. Kekerasan oleh pasukan pemerintah dilakukan secara luas dan sistematis. Infrastruktur publik dan swasta yang penting bagi warga sipil dihancurkan, termasuk rumah sakit dan lahan pertanian.
Dilaporkan, organisasi kemanusiaan sejak Maret 2021 telah meningkatkan kehadiran dan respons mereka. Sekitar 5,2 juta orang yang membutuhkan makanan di Etiopia, termasuk 3,3 juta orang di daerah darurat Fase 4, menjadi target pelayanan.
Namun, akses untuk para aktivis kemanusiaan telah dibatasi. ”Aktor bersenjata” melarang mereka untuk mendistribusikan makanan di beberapa daerah dan banyak kendaraan kemanusiaan digeledah.
”Tindakan nyata sangat dibutuhkan untuk memutus lingkaran setan antara konflik bersenjata, kekerasan, dan kerawanan pangan,” katanya. ”Saya mendesak anggota DK dan negara anggota lainnya mengambil langkah apa pun yang mungkin untuk mencegah terjadinya kelaparan.”
Konflik berkepanjangan di Tigray, Etiopia, menambah panjang deretan negara bermasalah di kawasan Tanduk Afrika. Dunia sudah sejak lama disuguhi oleh konflik panjang di Somalia, Somalilan, Eritrea, dan Djibouti. Tigray kini menjadi pusaran baru dari kekerasan yang sudah lama ada di Tanduk Afrika. (AP/AFP/REUTERS)