Pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping menunjukkan keinginan AS-China untuk terus mengelola risiko dan perbedaan. AS-China sama-sama menginginkan hubungan yang positif.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
BEIJING, SENIN — Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping akan kembali bercakap-cakap untuk ketiga kali sepanjang 2021 pada Selasa (16/11/2021) ini. Beragam isu akan dibahas pemimpin kedua negara yang menguasai hampir 40 persen produk domestik bruto global itu. Pertemuan virtual lewat telekonferensi video pada Selasa ini kembali menunjukkan Beijing-Washington terus berusaha menjalin komunikasi di tengah ketegangan hubungan AS-China.
Dalam pernyataan terpisah pada Senin (15/11/2021), juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, dan juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, sama-sama menyebut pertemuan virtual Biden-Xi akan berlangsung lugas dan langsung. Mereka menggunakan istilah untuk menggambarkan pembicaraan yang berpeluang dipenuhi pernyataan keras walau para pihak setuju untuk terus berkomunikasi.
Psaki mengatakan, Biden tidak merasa terhambat untuk berbicara apa adanya dengan Xi. Sebab, mereka sudah kenal lama. Biden (78) dan Xi (68) berkenalan pertama kali saat keduanya sama-sama berstatus wakil presiden.
Sejumlah pejabat Gedung Putih menyebut, Biden ingin memanfaatkan pertemuan Selasa ini untuk membahas batasan dalam hubungan AS-China. Batasan itu untuk memastikan AS-China bisa menghindari konflik di tengah persaingan sengit keduanya. Pertemuan yang dijadwalkan berlangsung beberapa jam itu diharapkan memungkinkan Biden-Xi berbicara secara mendalam dibandingkan telepon pada Februari dan September 2021.
Menurut Zhao, pertemuan itu membahas isu yang akan menentukan masa depan hubungan kedua negara dan isu yang menjadi kepentingan warga dunia. AS-China diharapkan bisa memperkuat dialog dan kerja sama, mengelola perbedaan, dan menangani masalah sensitif secara layak. Beijing-Washington juga perlu menemukan cara hidup berdampingan secara damai dan membawa kestabilan hubungan bilateral.
Dalam berbagai kesempatan, Biden sudah menegaskan sikapnya soal China. Ia menyebut China sebagai penantang serius AS masa kini. Bahkan, persaingan AS-China dinyatakan menentukan keberlangsungan hidup AS abad ini.
Biden juga akan tetap mengikuti ”Kebijakan Satu China” versi AS. Dalam versi Washington, AS hanya menjalin hubungan resmi dengan China sembari tetap berhubungan secara tidak resmi dengan Taiwan. Meski sangat mendukung, AS tidak mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara.
Dalam telepon ke Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Menlu China Wang Yi menekankan agar AS tidak memanfaatkan isu Taiwan. Ia meminta AS mematuhi komunike bersama AS-China dan jangan mengirimkan sinyal salah kepada pihak penyokong kemerdekaan di Taiwan.
Sementara Duta Besar China di AS Qin Gang malah menuding AS memanipulasi isu Taiwan. ”Kami akan meningkatkan upaya pembangunan terintegrasi di Selat Taiwan walakin tidak akan menghapuskan penggunaan kekuatan dan semua pilihan yang perlu,” ujarnya.
Kepentingan bersama
Kepada Blinken, Wang menekankan bahwa pertemuan Biden-Xi tidak hanya penting bagi AS-China. Pertemuan itu juga penting bagi komunitas internasional yang berharap ada hasil positif.
”Pertemuan Xi-Biden akan menjadi petunjuk penting perkembangan hubungan AS-China di masa mendatang, termasuk pada area apa saja bisa bekerja sama dan mana sengketa yang perlu dikelola, khususnya militer dan keamanan. Ada pula soal cara meningkatkan hubungan dagang,” kata Dekan Institute Hubungan Internasional pada Fudan University, Wu Xinbo, kepada Global Times.
Sementara pengajar pada Zhejiang International Studies University, Ma Xiaolin, menyebut, pertemuan Biden-Xi menunjukkan keinginan AS-China untuk terus mengelola risiko dan perbedaan. AS-China sama-sama menginginkan hubungan yang positif.
Sepanjang masa pemerintahan Biden yang dimulai sejak Januari 2021, sudah berkali-kali para pejabat senior AS-China bertemu secara langsung. Di luar itu, mereka juga rutin berkomunikasi lewat telepon. Rangkaian pertemuan dan komunikasi menunjukkan mereka tetap menjaga hubungan meski ketegangan AS-China terus meningkat.
Pakar Kajian Amerika pada China Foreign Affairs University, Li Haidong, mengatakan, hubungan stabil AS-China sangat dibutuhkan kedua negara dan komunitas internasional. Bagi Beijing, ketidakstabilan hubungan AS-China dipicu campur tangan AS pada berbagai masalah dalam negeri China. Washington juga dinilai terus berusaha menghambat Beijing. ”Kerja sama akan sulit kalau AS terus melanggar hak China,” ujarnya kepada Global Times, media yang dekat dengan Pemerintah China.
Wakil Presiden China Institute of International Studies Ruan Zongze mengatakan, AS membuat kebijakan salah karena tidak tepat menilai hubungan dengan China. Hal itu antara lain diwujudkan AS lewat aneka kebijakan yang memberangus dan menghambat kemajuan China. ”Karena Beijing terus melawan, AS harus memikirkan dan mengatur ulang kebijakannya soal China lalu kembali berhubungan dengan China lewat dialog dan komunikasi,” ujarnya.
Menurut dia, memang keadaan tidak akan serta-merta membaik selepas pertemuan ini. Walakin, setidaknya pertemuan ini bisa meningkatkan pemahaman dan komunikasi AS-China di masa mendatang.
Salah satu masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam pertemuan ini adalah isu Taiwan. Wakil Direktur Kajian AS pada Fudan University, Xin Qiang, menyebut ada pihak-pihak di AS yang berkepentingan untuk terus memainkan isu Taiwan. Sebab, isu itu dinilai sebagai salah satu yang paling berguna untuk menaikkan daya tawar AS terhadap China. ”Persoalan Taiwan akan menjadi prioritas pertemuan. China akan menegaskan ulang posisinya dan memperingatkan AS,” katanya.
Teknologi
Selain Taiwan, isu penting dalam hubungan AS-China terkait teknologi. AS di masa Biden membuat sejumlah undang-undang yang bertujuan menekan akses China pada teknologi dan pasar AS. UU terbaru disahkan pada 12 November 2021. Lewat UU Perlengkapan Aman itu, AS melarang aneka aplikasi yang dinilai mengancam keamanan nasional. UU itu secara spesifik menyebut sejumlah perusahaan China, seperti ZTE dan Huawei.
Aneka tekanan AS itu dibalas China dengan mendesak perusahaan AS mendorong pembatalan beragam UU itu. Kedubes China di Washington dilaporkan menyurati sejumlah perusahaan AS yang berusaha di China. ”Kami dengan tulus mengharapkan Anda berperan positif dalam mendesak anggota Kongres meninggalkan cara pandang saling menghancurkan, berhenti membahas undang-undang yang negatif terhadap China, menghapus pertimbangan negatif agar penciptaan kondisi yang mendukung hubungan ekonomi dan perdagangan masih dimungkinkan,” demikian surat itu.
Reuters mengonfirmasi surat itu kepada sejumlah pihak. Surat itu dikirimkan pada pekan pertama November 2021 atau sebelum UU Perlengkapan Aman disahkan. Sebelum UU Perlengkapan Aman, AS di masa Biden mengesahkan UU Kompetisi dan Inovasi yang secara tegas mendorong subsidi agar bisa berkompetisi dengan China. Ada pula UU Elang yang meningkatkan fokus dari UU Kompetisi dan Inovasi. Sampai sekarang, UU Elang masih dibahas di Kongres. (AFP/REUTERS)