Indonesia memiliki peluang strategis untuk mengajak dunia memberi perhatian lebih kepada pembangunan ekonomi global, khususnya agenda-agenda negara berkembang. Keketuaan di G-20 adalah momentumnya.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
”Jurus Jitu Indonesia” judul salah satu episode Trias Kredensial yang tayang pada 8 November lalu menarik perhatian. Dimoderatori wartawan senior Trias Kuncahyono, tayangan yang menghadirkan Dinna Prapto Raharja dari Synergy Policies dan Lestary J Barany dari CSIS itu secara khusus membahas keketuaan atau presidensi Indonesia di G-20.
Bagi ketiganya, G-20 adalah forum strategis, tempat di mana Indonesia sebagai wakil dari negara berkembang bisa menyuarakan keprihatinan mereka. Lahir sebagai upaya bersama untuk memonitor dan menjaga agar kinerja ekonomi tidak terjebak dalam krisis, Dinna mengatakan, pada awalnya G-20 memang melulu bicara soal isu fiskal dan moneter.
Namun, dalam perkembangannya, agenda G-20 berkembang. Lestary mengatakan, di era keketuaan Inggris pada tahun 2011, selain isu keuangan, G-20 juga memberi perhatian pada isu-isu pembangunan ekonomi. Di antara yang dibahas adalah isu ketenagakerjaan dan pendidikan.
Perkembangan itu, menurut Lestary, menempatkan G-20 sebagai forum strategis untuk mengangkat isu-isu tertentu selain isu keuangan. Ada dua keuntungan bagi Indonesia terlibat dalam forum strategis itu. Pertama, G-20 dapat menjadi wadah untuk mewujudkan aspirasi Indonesia sebagai wakil dari negara berkembang. Kedua, menegaskan kepemimpinan Indonesia.
Ketika dihubungi, Minggu (14/11/2021) sore, Dinna merasa yakin sepanjang keketuaannya (Desember 2021-November 2022) Indonesia bisa mengorkestrasi G-20. ”Komunitas global memang menunggu Indonesia lebih aktif menyuarakan hal berbeda dari lagu-lagu yang biasa sudah dinyanyikan negara-negara maju. Ini yang saya dengar dari perwakilan sejumlah negara: Indonesia harus kelihatan determinasinya ke mana, main di ring yang lebih sesuai dengan kelas ekonominya sekarang,” kata Dinna.
Dengan postur dan kekuatan ekonomi yang saat ini dimiliki, Dinna berharap Indonesia berani mengambil risiko terlibat dengan beragam visi global yang membutuhkan investasi. ”Indonesia tidak lagi cukup dengan memberi saran atau mengajak, tetapi berani berinvestasi,” kata Dinna.
Dari sisi diplomasi, kekuatan Indonesia di beragam forum tidak diragukan. Dalam meyakinkan negara-negara lain, Indonesia jago.
Akan tetapi, di sisi lain, Dinna memberi ”catatan” penting. Dengan lebih berani terlibat dalam grup elite itu, Indonesia memang bakal mendapat banyak keuntungan. Namun, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana caranya agar apa yang dibahas di G-20 bisa diturunkan menjadi kebijakan yang menguntungkan mayoritas angkatan kerja Indonesia yang umumnya bekerja di sektor informal dan tanpa jaminan sosial?
Selain isu pendanaan internasional untuk mendukung transisi energi ke energi bersih, dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo juga mengangkat isu UMKM. Bagi Dinna, isu inilah yang menjadi tantangan di dalam negeri. Tantangan itu adalah bagaimana nantinya kementerian-kementerian teknis menyelaraskan kebijakan berikut implementasinya dengan apa yang diinisiasi Indonesia di forum G-20.
Dinna, antara lain, menyoroti sektor ekonomi digital dan UMKM, dua sektor yang sedang merekrut banyak SDM, tetapi minim perlindungan bagi pekerjanya. ”Para pekerja ojek daring tidak diberi perlindungan sosial yang memadai, padahal dari studi saya, rata-rata pekerja cuma membawa pulang Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per hari setelah bekerja lebih dari 10, bahkan ada yang lebih dari 12 jam, karena aplikator lebih concern menambah customer dan mitra toko atau restoran,” katanya.
Memang, menurut Dinna, fokus G-20 ada pada isu fiskal dan moneter. Dan, dalam banyak program—isu nonfinansial—memang tengah diarahkan selaras, antara lain dengan digitalisasi sektor perbankan dan pemonitoran pajak yang lebih ketat. Dinna berharap aneka program itu dapat dengan mudah diakses oleh mereka yang paling membutuhkan.
Nah, dalam forum prestisius seperti G-20, tentu Indonesia perlu membangun perhatian bersama atas isu-isu tersebut. Karena ekonomi global bukan hanya tentang negara maju, melainkan juga tentang negara-negara berkembang yang kini diwakili oleh Indonesia. Rakyat pun tentu mempunyai harapan, mereka juga terangkat. Persis sebagaimana tema yang diusung Indonesia, ”Recover Together, Recover Stronger”.