Demokrasi di Filipina sudah berjalan cukup jauh karena kesempatan terbuka bagi semua orang. Namun, di sisi lain, masih ada masalah yakni politik dinasti yang tetap kuat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
MANILA, SABTU — Pemilihan umum presiden dan wakil presiden Filipina akan digelar secara terpisah pada 2022. Kali ini, wangsa politik Marcos berkoalisi dengan wangsa Duterte demi merebut kekuasaan di negara tersebut. Suatu bukti bahwa praktik politik berbasis dinasti belum bisa sepenuhnya hilang meski Filipina telah beberapa kali mengalami peristiwa pahit akibat sistem ini.
Pada Sabtu (13/11/2021), Sara Duterte-Carpio, Wali Kota Davao, mengumumkan bahwa ia tidak jadi mengikuti pemilihan presiden. Sebagai gantinya, Duterte-Carpio, yang merupakan anak perempuan dari Presiden Filipina saat ini, Rodrigo Duterte, akan mengadu nasib di pemilihan wakil presiden.
Di Filipina, presiden dan wakil presiden memiliki pemilu masing-masing. Apabila keduanya dipilih dari partai politik yang berlawanan, hubungan kepala negara dan wakilnya selama enam tahun ke depan berisiko tidak akur dan menghambat kinerja pemerintahan. Sebaliknya, jika presiden dan wakilnya berasal dari dua partai yang bersahabat, akan menjadi koalisi politik yang kuat.
”Nyonya Duterte-Carpio mengikuti pilwapres di bawah naungan Partai Lakas-Christian Muslim Democracy,” kata juru bicara Duterte-Carpio, Christina Garcia Frasco.
Sebelumnya, Duterte-Carpio akan mengikuti pilpres. Jika hal ini terjadi, ia akan melawan Ferdinand Marcos Jr, yang akrab dipanggil Bongbong. Ia putra mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos, yang dilengserkan pada 1986.
Ini merupakan situasi pelik karena berbagai survei di negara itu menyebutkan bahwa masyarakat yang menyukai Duterte-Carpio umumnya juga mendukung Bongbong. Membaca situasi ini dan tidak ingin masyarakat terpecah, Duterte-Carpio dan Bongbong memutuskan untuk bekerja sama, yaitu Bongbong mengikuti pilpres dan Duterte-Carpio berlaga di pilwapres.
”Ini tandem yang sempurna karena akan memperoleh dukungan masyarakat. Keduanya juga memiliki karisma yang besar. Bongbong di wilayah utara Filipina dan Sara (Duterte-Carpio) di wilayah selatan,” kata Senator Renato Reyes dari koalisi sayap kiri Bayan.
Para pakar politik Filipina mengatakan, koalisi wangsa Marcos dengan wangsa Duterte itu lantaran literasi politik masyarakat masih sangat rendah. Bahkan, buku teks sejarah negara itu tidak membahas situasi kelam di masa kediktatoran Marcos. Ia dikenal tanpa ampun terhadap lawan politik ataupun orang-orang yang kritis.
Pada September 1972, Marcos memberlakukan darurat militer yang menekan hak-hak rakyat dan memberi militer kekuasaan berlaku sewenang-wenang. Ratusan pegiat hak asasi manusia, akademisi, dan mahasiswa hilang di masa pemerintahannya. Pada 1986, meletus protes dari rakyat yang akhirnya melengserkan Marcos.
Ia sekeluarga lari ke Hawaii, Amerika Serikat. Marcos meninggal pada 1989. Jandanya, Imelda, beserta anak-anak mereka beberapa dekade kemudian pulang ke Filipina. Mereka ternyata masih memiliki pendukung.
Adapun Rodrigo Duterte dilarang undang-undang untuk menjabat periode kedua. Masa jabatannya akan berakhir pada Juni 2022 dan ia telah menyatakan akan pensiun dari politik. Di Filipina, satu kali masa jabatan adalah enam tahun. Ia terkenal dengan perang melawan narkoba yang menggunakan kekerasan. Saat ini, Duterte sedang dalam penyelidikan terkait kasus pelanggaran HAM.
Laporan kepolisian Filipina mengatakan, petugas mereka menembak mati 8.000 orang yang diduga sebagai pengedar narkoba atas perintah Duterte. Akan tetapi, lembaga-lembaga HAM mengatakan jumlah korban sebenarnya lebih banyak karena terjadi pula penembakan oleh orang tidak dikenal. Bahkan, terdapat korban yang usianya di bawah 18 tahun.
”Di satu sisi, demokrasi di Filipina sudah berjalan cukup jauh karena kesempatan terbuka bagi semua orang. Tapi, di sisi lain, ini juga masalah karena mental politik dinasti masih kuat,” kata pakar politik Polythecnic University of the Philippines, Richard Heydarian, kepada harian New York Times. (AP/AFP)