Kementerian Kehakiman Filipina Usut Perang Narkoba Kebijakan Duterte
Kementerian Kehakiman Filipina mengumumkan adanya pelanggaran prosedur dalam pelaksanaan kebijakan perang narkoba Presiden Rodrigo Duterte. Penyelidikan kasus itu akan diperluas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MANILA, KAMIS — Kementerian Kehakiman Filipina, Rabu (20/10/2021), mengumumkan laporan penyelidikan 52 kasus dugaan pembunuhan melanggar undang-undang (unlawfull killing) atau pembunuhan tanpa peradilan (extrajudicial killing) oleh Kepolisian Nasional Filipina. Mereka menemukan adanya pelanggaran prosedur dalam pelaksanaan kebijakan perang narkoba yang dijalankan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte. Temuan-temuan ini membuka kemungkinan bagi kementerian untuk memperluas penyelidikan.
Laporan penyelidikan itu setebal 20 halaman dan langsung diumumkan oleh Menteri Kehakiman Filipina Menardo Guevarra. Dalam beberapa kasus disebutkan, tim panel menemukan bahwa di tubuh korban yang tewas sama sekali tidak ditemukan jejak mesiu di tangan mereka atau mereka tidak memegang senjata.
Laporan tersebut juga menyebutkan, polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan, menembak tersangka pengedar narkoba dari jarak dekat, serta membuat catatan medis dan polisi yang relevan hilang. Kasus-kasus yang diumumkan, menurut Guevarra, akan diselidiki lebih lanjut dan dimungkinkan untuk dikembangkan, termasuk tuntutan pidana terhadap polisi yang diduga melakukan tindakan tersebut.
”Jika waktu dan sumber daya memungkinkan, Kementerian Kehakiman akan meninjau ribuan kasus yang lain,” katanya.
Laporan penyelidikan oleh Kementerian Kehakiman Filipina itu merupakan sebuah pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam kampanye kebijakan perang narkoba yang diluncurkan oleh Presiden Duterte. Duterte sebentar lagi akan lengser dari jabatannya. Pengakuan adanya kejahatan oleh negara adalah sebuah hal yang langka.
Laporan resmi Kepolisian Nasional Filipina (PNP) menyebutkan, 6.000 orang yang diduga sebagai pengedar narkoba tewas dalam perang narkoba itu. Namun, angka kematian itu diduga jauh lebih besar dan bisa mencapai 29.000 orang. Diduga, mereka dieksekusi oleh orang-orang bersenjata yang tidak diketahui identitasnya. Polisi membantah terlibat dalam kasus-kasus kematian mereka.
Perwakilan Tetap Filipina di Perserikatan Bangsa-Bangsa Evan Garcia, seperti dikutip dari laman PhilStar, mengatakan, saat tim panel Kementerian Kehakiman memulai penyelidikan, mereka meninjau kembali investigasi awal 87 kasus pidana yang ada dalam catatan PNP dan Badan Penegakan Narkoba Filipina (PDEA). Puluhan kasus itu melibatkan lebih dari 100 aparat penegak hukum yang diduga melakukan kekerasan berlebihan dalam operasi anti-narkoba Duterte.
Dalam laporannya ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), Garcia mengatakan, unit independen PNP telah melakukan lebih dari 10.000 penyelidikan atas semua kasus yang mengakibatkan kematian atau cedera sejak 2016. Sanksi juga telah dijatuhkan terhadap 18.664 personel polisi atas berbagai pelanggaran, termasuk memecat 5.151 polisi.
Namun, Garcia tidak memerinci, apakah sanksi yang dijatuhkan terkait kebijakan perang narkoba atau tidak.
Banyaknya dugaan pelanggaran yang mungkin terjadi dalam perang narkoba itu membuat Kementerian Kehakiman berencana untuk melibatkan Biro Investigasi Nasional (NBI) guna menyelidiki berbagai insiden ini. Selain menyelidiki operasi yang dilakukan oleh PNP, tim panel Kementerian Kehakiman juga tengah menyelidiki 107 operasi yang sama yang dilaksanakan oleh PDEA.
Filipina mendapat tekanan dari PBB untuk menyelidiki tuduhan pembunuhan sistematis terhadap tersangka narkoba. Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) baru-baru ini mengumumkan akan menyelidiki kampanye berdarah Duterte.
Komisi HAM Filipina (CHR), dikutip dari Rappler, menyambut baik pengumuman hasil tim panel oleh Kementerian Kehakiman. Juru bicara CHR Jacqueline de Guia mengatakan, pemerintah harus memastikan adanya keadilan terhadap korban kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis oleh negara. (REUTERS)