Negara Miskin Desak Kompensasi Negara Kaya Terkait Dampak Perubahan Iklim
Tanda-tanda perlawanan atas desakan dana kompensasi itu sudah ditunjukkan negara-negara kaya. Ekonom memperkirakan biaya kerusakan akibat bencana terkait perubahan iklim bisa mencapai 400 miliar dollar AS per tahun.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
GLASGOW, SENIN — Negara-negara miskin mendesak kompensasi dari negara-negara kaya terkait kerusakan yang ditanggung negara-negara miskin akibat pemanasan global. Upaya itu berupa desakan untuk memasukkan frasa soal kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim dalam teks resmi hasil Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 yang masih berlangsung di Glasgow, Skotlandia.
”Kita terlalu lambat dalam mitigasi dan adaptasi, jadi sekarang kita menghadapi kerugian dan kerusakan yang besar dan terus berkembang,” kata Harjeet Singh, penasihat Climate Action Network, lembaga yang terlibat dalam negosiasi atas nama negara-negara miskin. Negara-negara miskin dinilai paling terdampak atas bencana akibat pemanasan global. Beban akibat badai, topan, kekeringan, ataupun banjir besar yang makin sering terjadi harus ditanggung lebih besar oleh warga negara-negara miskin ketimbang negara-negara mapan.
Diperlukan dana mitigasi dan penanggulangan yang lebih besar atas bencana secara global dibandingkan degan masa sebelumnya. Jika negosiasi membuahkan hasil, jumlah dana itu akan menambah komitmen terkait dana serupa. Negara-negara miskin dan berkembang masih berjuang untuk mengakses dana senilai 100 miliar dollar AS yang telah dijanjikan sebelumnya.
Dana yang dijanjikan itu untuk membantu negara-negara berkembang beralih dari bahan bakar fosil. Dana itu juga menjadi bagian dari upaya adaptasi negara-negara berkembang dengan realitas masa depan Bumi yang lebih hangat akibat pemanasan global. Dana itu bagian dari kompensasi sekaligus pengakuan bahwa pemanasan global lebih banyak diakibatkan aktivitas pembangunan negara-negara kaya.
Diakui Singh, tanda-tanda perlawanan atas desakan dana kompensasi itu sudah ditunjukkan negara-negara kaya. Menurut dia, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan sejumlah negara maju lainnya khawatir dengan potensi biaya hingga implikasi hukum terkait hal tersebut. Hal itu dibantah Kepala Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman Juergen Zattler. Ia menyatakan hal-hal itu masih terlalu dini. ”Saya kira diskusi belum sampai pada tahap itu,” katanya kepada wartawan di Glasgow. ”Kita belum tahu sebenarnya soal kerugian dan kerusakan seperti apa dan apa bedanya dengan adaptasi.”
Namun, diakui Singh, tanda-tanda perlawanan atas desakan dana kompensasi lebih lanjut itu sudah ditunjukkan negara-negara kaya. Menurut dia, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan sejumlah negara maju lainnya mengaku khawatir dengan potensi biaya hingga implikasi hukum terkait hal itu.
Kepala Kebijakan Iklim UE Frans Timmermans mengatakan, UE mendukung upaya untuk memperoleh dana mitigasi perubahan iklim bagi negara-negara terdampak. Namun, menurut dia, masih perlu waktu khusus mendapatkan rincian atas hal itu. Adapun perwakilan delegasi AS di COP 26 menolak berkomentar atas desakan tersebut.
Negara-negara yang rentan terhadap iklim telah membahas siapa yang harus membayar kerusakan iklim sejak pembicaraan internasional paling awal tentang pemanasan global digelar beberapa dekade lalu. Kala itu dampak pemanasan global baru dilihat sebatas ancaman. Saat ini ancaman itu semakin nyata, bahkan sudah terjadi.
Para ekonom memperkirakan biaya kerusakan akibat bencana terkait perubahan iklim bisa mencapai 400 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Sebuah studi oleh badan pembangunan Christian Aid juga memperkirakan kerusakan iklim dapat merugikan negara-negara rentan hingga seperlima dari total produk domestik bruto mereka pada 2050. ”Kita perlu terus meminta pertanggungjawaban negara-negara penghasil emisi besar,” kata Kathy Jetnil-Kijiner, perwakilan dari Forum Rentan Iklim yang mewakili negara-negara yang secara tidak proporsional terkena dampak pemanasan global.
Menurut Singh, negara-negara kaya dapat memperoleh sebagian dana lewat pencabutan subsidi dan pengenaan biaya pada perusahaan bahan bakar fosil. Tanpa dana kompensasi, perekonomian negara-negara miskin yang sudah rapuh bisa bangkrut akibat perubahan iklim. Kemampuan mereka untuk berkontribusi dalam memerangi perubahan iklim pun terhambat. Jika bangkrut, upaya mereka untuk mengurangi ketergantungan dari sumber energi yang tidak ramah lingkungan akan semakin jauh.
Dana iklim AS
Mantan Presiden AS Barack Obama dalam forum COP 26 merasa yakin pemerintahan Presiden Joe Biden pada akhirnya akan mendapatkan paket dana iklim senilai 555 miliar dollar AS lewat persetujuan Kongres. Secara khusus ia menyoroti suasana persaingan antara AS, China, dan Rusia yang merugikan bagi upaya-upaya mitigasi perubahan iklim.
Obama adalah salah satu pemimpin dunia yang membuka jalan tercapainya Kesepakatan Paris 2015 yang bersejarah. Namun, ia khawatir penanggulangan masalah-masalah iklim selanjutnya akan terjal. ”Ada saat-saat di mana masa depan tampak agak suram. Ada saat-saat di mana saya ragu bahwa umat manusia dapat bertindak bersama sebelum terlambat,” kata Obama. ”(Namun) kita tidak bisa membiarkan sebuah keputusasaan.”
Komentar Obama muncul ketika para peserta konferensi mengakui banyak poin penting setelah satu pekan KTT berhadapan dengan kesenjangan kepercayaan antara negara kaya dan miskin. Forum COP 26 adalah konferensi pertama yang melibatkan Obama secara khusus sejak Kesepakatan Paris 2015. Obama berusaha mengingatkan pemerintah negara-negara dan mendesak mereka mengumumkan langkah-langkah yang lebih cepat dan konkret untuk mewujudkan kesepakatan itu.
Menurut Obama, Bumi butuh optimisme dan persatuan para pemimpin global. ”Tidak peduli Anda seorang Republikan atau Demokrat, rumah Anda di Florida bisa banjir akibat naiknya air laut, atau panen Anda gagal di Dakota, atau rumah Anda di California terbakar. Alam, fisika, sains; mereka tidak peduli dengan afiliasi partai,” kata Obama. ”Kita membutuhkan semua orang, bahkan jika kita tidak setuju dalam hal lainnya.” (AFP/REUTERS)