Jurnalis AS Terancam Hukuman Penjara Seumur Hidup di Myanmar
Jurnalis Amerika Serikat, Danny Fenster, diancam hukuman penjara seumur hidup. Ia didakwa telah menghasut warga dengan pemberitaannya dan menghubungi kelompok oposisi di Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPYIDAW, RABU — Denny Fenster, jurnalis Amerika Serikat yang ditahan junta militer Myanmar sejak Mei lalu, didakwa dengan dakwaan baru, yaitu penghasutan dan tindakan terorisme. Dakwaan terbaru jaksa di bawah Undang-Undang Kontraterorisme, satu dari tiga dakwaan lain terhadap Fenster, membuatnya terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Fenster telah didakwa dengan tudingan menghasut dan menyebarkan informasi palsu. Ancaman hukumannya adalah penjara hingga tiga tahun. Selain itu, dia juga didakwa melanggar Undang-Undang tentang Asosiasi yang Melanggar Hukum karena menghubungi kelompok oposisi yang telah dinyatakan sebagai kelompok terlarang oleh junta. Dakwaan terakhir menyangkut pelanggaran persyaratan visa.
”Dia sangat kecewa dengan tambahan dakwaan ini. Hal ini jelas tidak baik,” kata Than Zaw Aung, pengacara Fenster. Dia menambahkan, dakwaan terbaru disampaikan kepada Fenster dan tim pengacaranya pada Selasa (9/11/2021). Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung 16 November mendatang.
Fenster (37) adalah jurnalis Amerika Serikat (AS) yang bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Frontier Myanmar, majalah berita daring yang berbasis di Yanhon. Fenster telah memimpin media independen alternatif itu selama setidaknya satu tahun terakhir sebelum ditangkap di Bandara Yangon, sesaat sebelum terbang ke luar Myanmar, 24 Mei. Sejak saat itu dia ditahan di penjara Insein, Yangon.
Pemerintah AS telah berulang kali mendesak pembebasan Fenster. Organisasi jurnalis berharap Fenster masuk dalam daftar nama warga yang dibebaskan oleh junta baru-baru ini. Dalam daftar itu, beberapa pekerja media masuk. Namun, Fenster tidak.
”Kami semakin sedih dengan adanya dakwaan baru ini, sama halnya seperti dakwaan yang sebelumnya telah diajukan kepada Danny,” kata saudara kandung Fenster, Bryan, dalam sebuah pesan teks.
Dakwaan baru ini datang beberapa hari setelah mantan diplomat AS Bill Richardson datang ke Naypidaw dan bertemu dengan pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing. Mantan Duta Besar AS di Perserikatan Bangsa-Bangsa itu berharap bisa menjadi penengah agar Komite Palang Merah Internasional (ICRC) bisa kembali melakukan kerjanya ke berbagai penjara di Myanmar yang penuh dengan tahanan politik.
Richardson menolak memberikan rincian lebih lanjut hasil pembicaraannya dengan Jenderal Hlaing. Dia juga mengatakan, Departemen Luar Negeri AS memintanya untuk tidak mengangkat kasus Fensters selama masa kunjungannya.
Keluarga Fenster, dalam pertemuan dengan sejumlah media AS pada Agustus lalu, meyakini bahwa Fenster terinfeksi Covid-19 saat berada di tahanan. Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, Senin (8/11/2021), mengatakan, komunikasi terakhir Fenster dengan pejabat konsuler berlangsung pada 31 Oktober. ”Washington sangat prihatin atas penahanannya yang berkelanjutan,” kata Price.
Tidak lama setelah kudeta 1 Februari, junta militer melakukan pemberangusan terhadap media dengan mencabut perizinan, melakukan pembatasan internet dan siaran satelit, hingga menangkap puluhan jurnalis, baik lokal maupun asing. Sejumlah jurnalis asing memilih memberitakan Myanmar dari negara tetangga, seperti Thailand atau Vietnam. Fotografer yang masih aktif bertugas di lapangan memilih merahasiakan namanya untuk menjaga keselamatan jiwanya.
Kelompok aktivis hak asasi manusia menilai tindakan represif junta sebagai pembungkaman dan serangan terhadap hak untuk mendapatkan informasi serta kebenaran. Persidangan Fenster pun digelar secara tertutup. Ini sama seperti persidangan Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Min Wyint beberapa waktu sebelumnya. Informasi soal jalannya persidangan disampaikan oleh pengacara Fenster.
Dalam persidangan Senin (8/11/2021), hakim menilai jaksa telah memberikan cukup bukti agar persidangan bisa berlanjut. Menurut Than Zaw Aung, jaksa berusaha menghubungkan Fenster dengan jenis pelanggaran yang dilakukan oleh tempat Fenster bekerja sebelumnya, yaitu Myanmar Now, sebuah media independen Myanmar.
Saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut, menurut Zaw Aung, memaparkan bukti yang dimiliki Kementerian Informasi Myanmar bahwa Fenster bekerja untuk Myanmar Now saat ditangkap. Namun, menurut manajemen Myanmar Now, Fenster berhenti dari media tersebut sejak Juli tahun lalu. Sebulan kemudian, dia bekerja untuk Frontier Myanmar. Hal itu dikonfirmasi oleh redaksi kedua media.
Guna mendukung argumentasinya, Zaw Aung menyerahkan dokumen dan beberapa barang bukti lain ke pengadilan. Dua saksi juga dihadirkan untuk mengonfirmasi bukti-bukti tersebut.
Wakil Direktur Regional Amnesty Internasional untuk Penelitian, Emerlynne Gil, mengatakan, dakwaan baru ini semakin memperlihatkan upaya junta yang semakin kikuk dan mengada-ada untuk menuntut seorang jurnalis. ”Dia harus dibebaskan tanpa syarat,” kata Gil.
Reporting ASEAN, sebuah kelompok pemantau, menyebutkan, lebih dari 100 jurnalis ditangkap junta pascakudeta. Hingga saat ini, masih ada 31 orang di dalam tahanan. (AP/AFP/REUTERS)