Satu tahun sudah pasukan Etiopia dan TPLF bertempur di Tigray. Konflik ini menciptakan bencana kemanusiaan lagi. Ribuan orang tewas, jutaan warga mengungsi. Etiopia tengah memutar jarum sejarah ke masa lalu yang kelam.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Terpisah jarak hampir 8.000 kilometer, termasuk bentangan luas Samudra Hindia, Etiopia pernah terasa dekat di Indonesia. Dulu, pertengahan dekade 1980-an nama negara di Tanduk Afrika itu hampir tiap hari disebut-sebut di Tanah Air berkat lagu Iwan Fals. Di radio, tak jarang juga di televisi, serta lewat kaset-kaset yang dijual hingga pelosok daerah, penyebutan ”Etiopia” di lagu tersebut membuat negara itu begitu lekat di memori kala itu.
”Napas orang-orang di sana merobek telinga, telanjangi kita, lalat-lalat berdansa cha cha cha berebut makan dengan mereka...,” demikian penggalan lirik lagu yang bercerita tentang bencana kelaparan di Etiopia tersebut. ”Aku dengar jeritmu dari sini, aku dengar tangismu dari sini. Namun, aku hanya bisa mendengar, aku hanya bisa sedih....”
Sejak itu, Etiopia identik dengan kelaparan dan kemiskinan. Satu identitas lain—ini tentu membanggakan mereka—yakni negeri penghasil para pelari jarak jauh dan maraton top dunia, bersaing dengan tetangga, Kenya. Tragedi kemanusiaan, konflik politik, perebutan kekuasaan, dan peperangan silih berganti mewarnai perjalanan negara itu.
Ada suatu masa, belum lama ini, Pemerintah Etiopia ingin berupaya mengubah catatan sejarah kelam tersebut. Pembangunan infrastruktur digiatkan, pendidikan rakyatnya dibenahi, koneksi dengan dunia luar diintensifkan, pariwisata dipoles, dan pesan perdamaian disuarakan. Wartawan harian ini, setelah berkunjung ke negara itu atas undangan otoritas pariwisata setempat pada pertengahan 2017, menulis, ”Etiopia kini tak lagi berbicara tentang penderitaan, tetapi petualangan pada indahnya peradaban Afrika.”
Pada Februari 2018, Perdana Menteri Hailemariam Desalegn mengundurkan diri agar reformasi di negara itu bergulir lebih kencang. Ia pemimpin pertama dalam sejarah Etiopia modern yang memilih mundur. Sebelumnya, jika tidak mangkat, para pemimpin Etiopia berhenti menjabat karena digulingkan. Abiy Ahmed, penggantinya, menorehkan catatan sejarah dengan menjalin perdamaian dengan Eritrea, negara tetangga yang dulu bagian dari Etiopia. Capaian itu mengantarkan Abiy meraih Nobel Perdamaian 2019.
Namun, aura optimisme akan masa depan Etiopia yang lebih cerah itu begitu cepat menguap. Titik balik itu terjadi setahun lalu, yakni November 2020, saat dunia sedang hebat-hebatnya dilanda pandemi Covid-19. Bukan pandemi, tetapi konflik di Tigray, wilayah utara negeri itu, yang memutar jarum jam sejarah Etiopia ke masa lalu yang kelam.
Tahun lalu, pada 4 November, PM Abiy memerintahkan operasi militer ke Tigray, sekitar 950 kilometer utara Addis Ababa, ibu kota Etiopia. Pemerintahan Abiy menuding Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), partai penguasa di Tigray dan kekuatan dominan selama hampir 30 tahun di Etiopia, menyerang markas pasukan federal di wilayah itu. Namun, ketegangan dimulai dua bulan sebelumnya, ketika Tigray menggelar pemilu lokal tanpa tanpa restu pusat.
Satu tahun sudah pasukan Abiy dan pasukan TPLF bertempur. Konflik ini kembali menciptakan bencana kemanusiaan. Ribuan orang tewas, jutaan warga mengungsi. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bulan lalu menyebut sedikitnya 5,2 juta warga di Tigray membutuhkan bantuan kemanusiaan, 400.000 orang di antaranya ”hidup dalam kondisi kelaparan”. Bisa jadi, kondisinya tak jauh berbeda dengan gambaran lagu Iwan Fals tahun 1980-an.
Perjalanan Etiopia kembali bergerak mundur, bergerak ke masa lalu yang kelam. Awalnya, pasukan Abiy menguasai hampir seluruh wilayah Tigray, termasuk ibu kota Mekelle. Kabar terbaru: pasukan TPLF bangkit dan bahkan tengah bergerak menuju ibu kota Addis Ababa.
Dunia sudah berkali-kali menyerukan semua pihak di Etiopia untuk gencatan senjata dan berdamai. Tetapi, seruan ini dianggap bak angin lalu. Bisa dipastikan, bencana kemanusiaan di negara itu bakal semakin parah. Kita tentu tidak ingin lagu tragedi ”Etiopia” jilid 2 digubah dan berdendang lagi di negeri ini.