Kelompok pemberontak komunis memulai perlawanan terhadap Pemerintah Filipina sejak tahun 1968. Tewasnya Jorge Madlos diklaim sebagai pukulan besar bagi kelompok tersebut.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MANILA, SENIN — Jorge Madlos (72), salah satu tokoh terkemuka pemberontak komunis Filipina, tewas dalam penyergapan di Provinsi Bukidnon, Sabtu (30/10/2021). Tewasnya Madlos diklaim Pemerintah Filipina sebagai pukulan keras bagi kelompok pemberontak komunis.
Pengumuman tewasnya Madlos, atau yang dikenal dengan nama Ka Oris, disampaikan Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dan Komandan Militer Daerah Mayor Jenderal Romeo Brawner, Senin (1/11/2021). Lorenzana menyatakan, tewasnya Madlos akan memperlemah perlawanan Tentara Rakyat Baru (NPA), sebutan bagi kelompok gerilyawan.
Penyergapan atas kelompok itu berawal dari informasi penduduk desa tentang kehadiran sekitar 30 anggota Tentara Rakyat Baru yang mengadakan kegiatan di dekat kota Impasug-ong. Militer mengerahkan pesawat tempur menggempur kawasan tersebut, yang menurut militer dikelilingi ranjau darat. Setelah gempuran roket Angkatan Udara Filipina usai, serangan dilanjutkan Angkatan Darat.
Setelah baku tembak selama sekitar satu jam, pasukan menemukan mayat Madlos. Menurut Brawner, tidak jauh dari lokasi ditemukannya mayat Madlos juga ditemukan mayat ajudannya, senapan serbu, dan sejumlah amunisi.
”Keadilan telah ditegakkan bagi warga sipil tak berdosa dan mereka yang dia teror selama beberapa dekade,” kata Brawner kepada wartawan.
Para gerilyawan dalam pernyataan yang diunggah di sebuah situs mengatakan, Madlos sedang sakit saat penyergapan itu terjadi. Madlos tengah ditemani oleh ajudannya, yang sekaligus merupakan perawatnya, menuju rumah. Mereka mengatakan, Madlos dan ajudannya tidak membawa senjata atau amunisi. Kelompok gerilyawan juga mengatakan, tidak ada serangan udara militer atau baku tembak, berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan militer dan Kementerian Pertahanan.
53 tahun
Kelompok pemberontak komunis mulai perlawanan terhadap pemerintah sejak tahun 1968. Menurut data militer, pemberontakan komunis telah merenggut sekitar 30.000 jiwa rakyat Filipina selama 53 tahun terakhir. Meski sudah beberapa kali berganti presiden, Pemerintah Filipina gagal mencapai kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak. Pemimpin kelompok pemberontak komunis Filipina, Jose Maria Sison, berada di pengasingan di Belanda.
Militer dan Pemerintah Filipina menyalahkan Sison, Madlos, dan ribuan anggota kelompok pemberontak atas serangan berulang kali terhadap militer, perusahaan tambang, dan perkebunan untuk meminta sejumlah uang, atau mereka sebut sebagai pajak revolusioner. Serangan ditujukan tidak hanya untuk perusahaan asing, tetapi juga perusahaan milik warga lokal.
Madlos, yang juga juru bicara kelompok pemberontak komunis, diincar oleh militer karena membantu merencanakan penyerangan terhadap pertambangan nikel di Provinsi Surigao del Norter tahun 2011. Lebih dari 200 anggota gerilyawan menyerang tiga kompleks pertambangan nikel yang sebagian sahamnya dimiliki Sumitomo Corp, Jepang.
Madlos, mantan aktivis mahasiswa, terlibat dalam aktivitas pergerakan setelah diktator Filipina, Ferdinand Marcos, menyatakan darurat militer tahun 1972. Sosok Madlos tidak lepas dari ciri khususnya, topi khas Mao, jenggot panjang, dan tutur bahasanya yang santun. Jatuh sakit sejak satu dekade lalu, dia tetap bertahan dengan prinsipnya.
Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita The Associated Press tahun 2010, dia mengatakan, hanya satu hal yang bisa membuatnya berpisah, meninggalkan rekan-rekan seperjuangannya. ”Masa pensiun akan datang apabila kematian menjelang,” kata Madlos.
Militer Filipina memperkirakan masih ada 3.500-4.000 anggota kelompok pemberontak komunis.
Dikutip dari laman Rappler, istri Madlos, Myrna Sularte, dan Ka Sandara Sidlakan, juru bicara NPA wilayah Caraga, mengatakan, militer bisa mengembalikan jenazah Madlos kepada keluarganya dan orang-orang yang dicintainya di kota Dapa, Surigao del Norte, agar mereka bisa memberi penghormatan dan pemakaman yang layak. (AP)