KTT G-20 Hasilkan Komitmen Setengah Hati soal Penanganan Krisis Iklim
Komunike para pemimpin G-20 dinilai banyak pihak sebagai hasil yang mengecewakan. Pernyataan mereka dinilai hanya setengah hati, tidak menghasilkan komitmen atas tindakan nyata dan konkret.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD DAN LUKI AULIA
·5 menit baca
ROMA, MINGGU – Para pemimpin negara-negara G-20 menyepakati pernyataan akhir bahwa tindakan bermakna dan efektif untuk membatasi pemanasan global dan perubahan iklim, mendesak untuk dilakukan. Akan tetapi, pertemuan tahunan negara-negara ekonomi terbesar dunia itu hanya menawarkan sedikit komitmen nyata.
Para pemimpin negara-negara, yang mewakili lebih dari 75 persen produsen gas rumah kaca terbesar dunia, berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada atau sekitar pertengahan abad ini. Mereka juga sepakat untuk mengakhiri pembiayaan atas proyek-proyek yang masih menggunakan energi fosil, khususnya pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara di luar negeri.
Namun, mereka tidak secara eksplisit menetapkan target penghapusan penggunaan batu bara di dalam negeri masing-masing.
Komunike akhir para pemimpin G-20 dinilai banyak pihak sebagai hasil yang mengecewakan. Pernyataan mereka dinilai hanya setengah hati, tidak menghasilkan komitmen atas tindakan nyata dan konkret. Padahal, komitmen yang nyata dan konkret itu dibutuhkan untuk mencegah bencana iklim global.
Taruhan dari ketidakjelasan langkah bersama itu sangat besar, mulai dari kelangsungan hidup negara-negara yang terletak di dataran rendah, dampak terhadap mata pencarian warga dunia hingga stabilitas masa depan.
Dokumen kesepakatan KTT G-20menyatakan, rencana nasional masing-masing negara harus diperkuat jika diperlukan. Namun, dalam kesepakatan itu tidak disebutkan penyebutan waktu khusus untuk mencapai target emisi global nol pada tahun 2050.
"Kami menyadari bahwa dampak perubahan iklim pada 1,5 derajat celsius jauh lebih rendah daripada pada 2 derajat celsius. Menjaga 1,5 derajat celsius dalam jangkauan akan membutuhkan tindakan dan komitmen yang bermakna dan efektif dari semua negara," kata komunike tersebut.
Dalam pernyataan mereka, para pemimpin negara-negara G-20 berjanji untuk menghentikan pembiayaan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di luar negeri pada akhir tahun ini. Namun, mereka tidak menetapkan tanggal untuk menghentikan penggunaan batu bara untuk pembangkit-pembangkit di dalam negeri. Mereka hanya menyebutkan bahwa penghentian itu akan dilakukan sesegera mungkin.
Isi pernyataan akhir ini berubah dari draf yang beredar sebelumnya yang menyebutkan penghentian penggunaan batu bara di level nasional masing-masing negara pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya lobi-lobi para pengusaha di beberapa negara yang bergantung pada batu bara.
“Kita harus mempercepat penghapusan batu bara dan berinvestasi lebih banyak dalam energi terbarukan. Kita juga perlu memastikan bahwa kita menggunakan sumber daya yang tersedia dengan bijak, yang berarti kita harus mampu mengadaptasi teknologi dan juga gaya hidup kita ke dunia baru ini,” kata Draghi, PM Italia.
Draghi menyebut perubahan iklim sebagai tantangan yang menentukan di zaman kita. "Entah kita bertindak sekarang atau kita menunda bertindak, membayar harga yang jauh lebih tinggi di masa depan dan berisiko mengalami kegagalan,” katanya.
Pangeran Charles, Putra Mahkota Kerajaan Inggris yang hadir sebagai tamu di dalam KTT itu, mengingatkan bahwa para pemimpin negara di dunia memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar agar perubahan iklim yang terjadi bisa terkontrol. “Mustahil untuk tidak mendengar anak-anak muda, yang mulai putus asa melihat Anda, Tuan dan Nyonya, sebagai pelayan planet ini. Anda memegang kelangsungan masa depan mereka,” kata Charles.
Pemimpin Katolik dunia, Paus Fransiskus, mencuit di Twitter, "Ini adalah momen untuk bermimpi besar, untuk memikirkan kembali prioritas kita. Waktu untuk bertindak, dan untuk bertindak bersama, adalah sekarang!”.
Negosiasi alot
Sejumlah diplomat mengatakan, negosiasi alot terjadi saat membahas apa yang disebut sebagai komitmen pembiayaan iklim, yang mengacu pada janji negara kaya pada tahun 2009 lalu yang akan menyediakan 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu mengatasi perubahan iklim di negara-negara miskin dan berkembang.
Kegagalan negara-negara maju untuk memenuhi janjinya membuat negara-negara berkembang dan miskin enggan untuk mempercepat target pengurangan emisi mereka.
“Kami mengingat dan menegaskan kembali komitmen yang dibuat oleh negara-negara maju, untuk tujuan memobilisasi bersama USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020 dan setiap tahun hingga tahun 2025 untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang,” kata pernyataan G20.
Beberapa negara telah menetapkan 2050 sebagai tenggat waktu mereka untuk emisi nol. Sementara China, Rusia, dan Arab Saudi menargetkan 2060. China, produsen karbon terbesar di dunia, menolak tekanan untuk membuat tujuan jangka pendek dan lebih terukur.
Sementara India berpendapat bahwa jika tujuan global adalah mencapai emisi nol pada 2050, negara-negara kaya seharusnya menetapkan target emisi nol 10 tahun lebih cepat. Hal itu memungkinkan negara berkembang dan negara miskin memperoleh tunjangan karbon yang lebih besar dan lebih banyak waktu untuk membenahi diri.
Namun, sejumlah aktivis mengatakan, tidak adanya waktu dan tenggat waktu yang pasti dalam komunike tersebut membuat hasil KTT itu dinilai sangat lemah.
Kelompok kampanye lingkungan Greenpeace mengecam pernyataan KTT G-20 sebagai "lemah, tidak memiliki ambisi dan visi". Mereka menyebut para pemimpin G20 "gagal memenuhi momen". “Jika G20 adalah geladi resik untuk COP 26, para pemimpin dunia mengacaukan tenggat waktunya,” kata Direktur Eksekutif Greenpeace, Jennifer Morgan.
Friederike Roder, Direktur senior pada lembaga Global Citizen, kelompok antipemiskinan global, menyatakan bahwa para pemimpin dunia setengah hati dalam memandang pemanasan global. KTT itu dinilainya hanya menghasilkan tindakan setengah-setengah dibanding aksi nyata. “Jangan lupa bahwa saat Paris 2015, tidak ada diputuskan sebelumnya,” ujarnya.
Berkumpul di Glasgow
Jelang KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, ribuan aktivis mulai bergerak, bernujuk rasa mendesak para pemimpin dunia segera bertindak nyata untuk mengatasi perubahan iklim. Aktivis remaja asal Swedia, Greta Thunberg (18), ikut bergabung dalam unjuk rasa terbesar di Glasgow.
”Akhirnya ada di Glasgow untuk #COP26! Terima kasih untuk sambutannya yang hangat,” tulis Thunberg di Twitter setelah sebelumnya ia menghadiri unjuk rasa di London, Inggris.
Sejak akhir pekan lalu, aktivis lingkungan dari seluruh dunia berdatangan ke Glasgow. Jumlah mereka diperkirakan bisa mencapai 100.000 orang. Banyak aktivis dari negara-negara Eropa yang mengaku sengaja berjalan kaki dari negaranya menuju ke Glasgow untuk menyuarakan aspirasi dan frustrasi mereka terhadap isu lingkungan.
”Jangan Hanya Beri Janji Manis”, ”Stop Bahan Bakar Fosil” adalah hanya sebagian tulisan dari spanduk dan poster yang dibawa saat unjuk rasa. Ratusan aktivis itu dikoordinasi oleh kelompok aksi Pemberontakan Kepunahan.
”Kami menantikan langkah-langkah yang lebih ambisius dan para pemimpin politik harus menyadari situasi yang penting dan genting ini. Kalau tak ditangani segera, anak dan cucu kita yang menjadi korban gangguan iklim yang parah,” kata Dirk van Esbroeck (68), pensiunan asal Belgia. (AFP/AP/REUTERS)