Pertemuan puncak ASEAN pekan ini bakal minus satu pemimpin negara anggotanya. Situasi itu menjadi tantangan serius ASEAN, terutama bagi keutuhannya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pemimpin ASEAN mulai Selasa (26/10/2021) ini selama tiga hari menggelar pertemuan puncak, atau kerap disebut konferensi tingkat tinggi (KTT). Pertemuan ini digelar secara virtual karena situasi pandemi Covid-19. Rutin setiap tahun, para pemimpin ASEAN membahas isu kawasan. Secara bersamaan mereka juga bertemu dengan 11 mitra dialog, negara-negara kekuatan utama dunia, mulai dari Amerika Serikat, China, Rusia, India, raksasa ekonomi kawasan (Jepang dan Korea Selatan), hingga Uni Eropa dan Kanada.
Namun, pertemuan puncak ASEAN kali ini tidak akan bulat diikuti 10 negara anggotanya. Pertemuan darurat para menteri luar negeri ASEAN, 15 Oktober lalu, memutuskan, KTT tidak akan mengundang pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang mengudeta pemerintahan sipil, 1 Februari tahun ini. ASEAN tidak melihat adanya komitmen junta untuk melaksanakan lima konsensus pemimpin ASEAN, yang ditetapkan pada April lalu, sebagai peta jalan menuju penyelesaian krisis politik di Myanmar. Indikasi paling banal, junta menghalangi Utusan Khusus ASEAN Erywan Yusof bertemu pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Bagi ASEAN, implementasi lima konsensus itu amat vital dalam penyelesaian krisis Myanmar. Tanpa hal itu, krisis bakal berlarut-larut tanpa ujung. Sejak kudeta meletus, yang diikuti dengan konflik bersenjata antarkelompok etnis, banyak pihak mengingatkan, Myanmar bisa seperti Suriah di Asia Tenggara. Pekan lalu, Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Christine Schraner Burgener memperingatkan tentang ancaman Myanmar menjadi ”negara gagal”.
Mudah dipahami jika para menlu ASEAN tegas menyatakan krisis di Myanmar—dalam bahasa mereka—”berdampak pada keamanan kawasan serta kesatuan, kredibilitas, dan sentralitas ASEAN sebagai organisasi berbasis aturan”. Tepatlah pemimpin junta yang menabrak tata dan aturan, yang dengan jelas dirinci dalam Piagam ASEAN, tak perlu diikutkan dalam forum setingkat KTT. Tinggal kini, apakah situasi ini dapat berujung pada, misalnya, seperti dilontarkan Andrew Selth, pakar Myanmar pada Asia Institute di Griffith University, keputusan Myanmar menarik keluar dari ASEAN.
Situasi terburuk itu tentu sama sekali tak terbayangkan saat Myanmar bergabung dengan ASEAN tahun 1997, atau saat genap beranggotakan 10 negara dengan masuknya Kamboja tahun 1999. Pencoretan junta Myanmar dari KTT ASEAN tentu tidak sama dengan pencoretan Suriah sebagai anggota Liga Arab tahun 2011.
Pembangkangan junta untuk mengimplementasi lima konsensus pemimpin ASEAN juga tak seperti langkah Inggris resmi keluar dari Uni Eropa tahun 2020. ASEAN memberi pesan jelas: junta Myanmar masih diberi waktu untuk merestorasi urusan internalnya dan kembali pada normalitas sesuai kehendak rakyat Myanmar.