Facebook Papers Ungkap Ketidakpedulian Facebook terhadap Keselamatan Publik
Facebook Papers mengungkapkan kecenderungan raksasa media sosial itu untuk menempatkan keuntungan perusahaan di atas kepentingan dan keselamatan masyarakat. Hari-hari ini, Facebook dalam sorotan masyarakat dunia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Sejak akhir pekan lalu, media mulai mengungkap dan mengupas isi dokumen bertajuk Facebook Papers. Kolaborasi oleh sedikitnya 17 media di Amerika Serikat itu menunjukkan bukti-bukti bahwa perusahaan raksasa teknologi, Facebook Inc, lebih memilih menempatkan keuntungan perusahaan dibandingkan dengan keselamatan dan kepentingan publik.
Dari yang sudah diungkapkan sejauh ini misalnya, Facebook cenderung membiarkan ujaran kebencian dan ajakan berbuat rusuh di Capitol Hill, Washington. Akhirnya, insiden kerusuhan pun terjadi 6 Januari 2021. Facebook juga gagal menertibkan konten serupa yang memperuncing kebencian antara kelompok Hindu dan Islam di India. Ujung-ujungnya, terjadi konflik terbuka yang menyebabkan puluhan orang tewas, akhir Februari 2020.
Facebook Papers adalah dokumen internal Facebook yang dibocorkan kepada masyarakat. Adalah Frances Haugen, mantan karyawan Facebook, yang membocorkannya ke publik. Ia secara diam-diam mengumpulkan ribuan dokumen internal Facebook sebelum akhirnya keluar dari perusahaan, Mei lalu. Perempuan berusia 37 tahun itu lalu mendistribusikannya ke media Wall Street Journal dan anggota parlemen AS.
Isinya sangat mengkhawatirkan karena menyangkut kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Kongres AS pada awal Oktober mengundangnya untuk membagikan informasinya di sidang tentang keamanan dunia daring bagi masyarakat, khususnya anak-anak.
Haugen mulai bekerja di Facebook pada 2019. Awalnya ia berharap dapat membantu raksasa teknologi itu mengoreksi beberapa pelanggaran terburuknya. Namun, dari hari ke hari, ia semakin khawatir atas pilihan yang dibuat perusahaan.
Haugen yakin dengan posisinya, yakni bahwa jaringan sosial dapat menimbulkan kerugian yang sama besarnya dengan kebaikan. Ia sekaligus mengingatkan bahwa perusahaan dengan kekuatan besar seperti Facebook harus dikendalikan.
Dalam acara ”60 Minutes” CBS, Haugen menjelaskan kekhawatirannya tentang kegagalan Facebook untuk mengatasi informasi yang salah, kebencian, dan konten beracun lainnya di platform mereka. Di depan Senat AS, Haugen mengatakan, dirinya telah menyaksikan temannya sendiri menjadi korban atas teori konspirasi di media sosial (medsos). ”Mempelajari informasi yang salah adalah satu hal, kehilangan seseorang karenanya adalah hal lain,” katanya kepada Wall Street Journal.
Haugen berpendapat, untuk menghasilkan pendapatan melalui iklan, Facebook harus meyakinkan penggunanya untuk kembali ke platform itu secara terus-menerus dan selama mungkin setiap saat. Itu berarti algoritma Facebook mendukung unggahan yang paling menarik perhatian. Dari sana terdata kemudian konten yang penuh kebencian atau menabur perselisihan sering kali dibiarkan beredar luas.
Facebook memang mengerahkan upaya anti-disinformasi dan telah memodifikasi algoritma untuk mematahkan informasi palsu. Namun, menurut Haugen, tim khusus Facebook yang memantau risiko yang ditimbulkan oleh pengguna tertentu atau jenis konten tertentu menjelang pemilihan umum di Amerika Serikat (AS) justru dibubarkan tak lama setelah pemilihan presiden AS pada November 2020. Dua bulan kemudian, Capitol Hill diserbu massa.
Dalam analisis Haugen, medsos Facebook ikut digunakan untuk mengatur serangan itu. Dia pun mempertanyakan komitmen perusahaan Silicon Valley itu terhadap integritas. Ia sekaligus menyimpulkan bahwa Facebook memprioritaskan ”keuntungan daripada keamanan publik”.
Merujuk pada laporan sejumlah media AS, seperti Wall Street Journal, New York Times, dan Washington Post pada akhir pekan lalu, pembiaran Facebook atas sirkulasi konten-konten beracun juga terungkap di India. Sementara Facebook sangat menyadari bahwa ujaran kebencian menyebar di situsnya di India. Hal itu rawan memperburuk kekerasan etnis dan konflik antaragama di negara yang menjadi pangsa pasar terbesarnya. Namun, perusahaan dilaporkan tidak mengerahkan sumber daya untuk mengantisipasinya.
Merujuk Facebook Papers, konten berisi aneka hasutan merebak di platform-platform Facebook di India sejak Desember 2019. Wall Street Journal melaporkan, rumor dan seruan untuk melakukan kekerasan menyebar terutama di layanan pesan Whatsapp pada akhir Februari 2020 ketika pecah bentrokan antara mayoritas Hindu dan minoritas Muslim. Insiden itu menewaskan puluhan warga sipil di India. Whatsapp dan Instagram merupakan media sosial yang juga milik Facebook.
Facebook Papers berisi sebagian besar dokumen Facebook yang disunting Haugen. Facebook Papers mengungkapkan bahwa dampak Facebook berikut Whatsapp dan Instagram sangat nyata dalam polarisasi politik hingga kesehatan mental remaja. Dokumen itu diberikan kepada Kongres, Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC), dan tim kolaborasi media oleh pengacara yang mewakili Haugen.
Washington Post juga telah melaporkan adanya seorang pelapor baru yang merupakan mantan karyawan Facebook seperti Haugen. Yang bersangkutan, di bawah sumpah, telah mengajukan pernyataan tertulis dengan tuduhan serupa kepada SEC. Kolaborasi media yang menggarap Facebook Papers akan terus melaporkan isi dokumen-dokumen itu dalam beberapa hari dan pekan mendatang.
Manajemen Facebook, yang tengah bersiap-siap mengumumkan perubahan nama perusahaan, telah membantah tuduhan-tuduhan itu. Perusahaan itu menekankan efektivitas perlindungannya dan mengklaim dokumen yang bocor itu menyajikan pandangan negatif yang diambil dari operasi internal perusahaan.
Haugen sendiri dijadwalkan bakal bertemu dengan Dewan Pengawas Facebook. ”Facebook telah berbohong kepada dewan berulang kali dan saya berharap untuk berbagi kebenaran dengan mereka,” kata Haugen. (AP/AFP/REUTERS)