UE Ajak Indonesia Cegah Kebuntuan Konferensi Iklim
UE menyediakan sedikitnya 30 miliar dollar AS untuk mendanai proses transisi energi di negara berkembang dan miskin. Bank Pembangunan Eropa telah menjajaki peluang terlibat dalam pengembangan energi bersih di Indonesia.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uni Eropa mengajak Indonesia aktif mencegah kebuntuan dalam konferensi iklim di Glasgow, Skotlandia, pada akhir Oktober 2021. Uni Eropa juga mendesak negara-negara maju mewujudkan komitmen menyediakan dana transisi energi bagi negara-negara miskin dan berkembang.
Wakil Ketua Komisi Eropa Bidang Kesepakatan Hijau Eropa Frans Timmermans mengatakan, Indonesia terkenal bisa menjadi perantara yang baik. Dalam konferensi iklim (COP 26) di Glasgow, ada kemungkinan terjadi kebuntuan. Karena itu, Indonesia diharapkan bisa berperan aktif mencegah kebuntuan tersebut. ”Terutama di antara negara maju dan berkembang,” katanya dalam wawancara khusus dengan Kompas dan The Jakarta Post, Selasa (19/10/2021), di Jakarta.
Timmermans datang ke Jakarta, antara lain, untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo terkait dengan langkah-langkah penanganan perubahan iklim. Presiden menerima kunjungan Timmermans, Senin (18/10/2021). Kepada Timmermans, Presiden menyampaikan langkah-langkah konkret yang telah dicapai Indonesia sebagai komitmennya dalam menangani perubahan iklim, termasuk upaya penurunan emisi 29 persen dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 yang sejauh ini berjalan baik.
Kekhawatiran kemungkinan kebuntuan dalam COP 26 juga pernah dilontarkan Utusan Khusus Amerika Serikat untuk isu Iklim John Kerry. Sementara Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutkan, target pembangunan hijau Eropa (UE New Green Deal) butuh kerja keras untuk diwujudkan karena ada banyak tantangannya.
Salah satu penyebab kebuntuan adalah soal pembagian beban pembiayaan transisi energi. Peralihan sumber energi membutuhkan biaya besar. Banyak negara berkembang dan miskin tidak mampu menanggung biaya itu. Mereka meminta negara maju, yang telah ratusan tahun menjadi penghasil utama karbon dioksida dan aneka gas rumah kaca penyebab perubahan iklim, memberi subsidi.
Negara-negara berkembang dan miskin juga meminta batas emisi lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Itu karena akumulasi batas emisi mereka masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Batas lebih tinggi dibutuhkan agar negara berkembang dan miskin tetap bisa mengonsumsi energi besar yang dibutuhkan dalam pembangunan.
”Kita sering membahas biaya besar jika melakukan ini (transisi energi). Kita tidak membahas biaya lebih besar jika tidak melakukan ini. Anak-anak kita bisa berperang gara-gara (perebutan) air dan makanan. Semua akan terjadi kalau kita tidak berubah,” ujar Timmermans.
Politisi dan diplomat asal Belanda itu mengingatkan, orang miskin dan negara miskin akan paling terdampak perubahan iklim. Selain bisa memicu kenaikan permukaan laut, perubahan iklim juga menyebabkan bencana terjadi lebih sering. Negara-negara dan orang kaya bisa memitigasi dampak itu. ”Orang miskin tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa ke mana-mana,” katanya.
Timmermans menekankan, COP 26 adalah peluang penting untuk mencapai kesekapatan batas emisi global. Jika tidak tercapai kesepakatan, penyebab dan dampak perubahan iklim akan sulit dikendalikan. ”Kita perlu bersepakat soal penurunan emisi global,” katanya.
Banyak pegiat lingkungan menyebut COP 26 menjadi kesempatan terakhir dunia untuk mencegah bencana akibat perubahan iklim. Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Piket menyebut perubahan iklim adalah ancaman paling nyata bagi umat manusia saat ini. Berbagai bukti dampaknya sudah terlihat di banyak tempat. Dunia perlu bersatu untuk mengatasi tantangan ini.
Pendanaan
UE, menurut Timmermans, sudah membuktikan komitmen pada pengendalian perubahan iklim. UE menyediakan sedikitnya 30 miliar dollar AS untuk mendanai proses transisi energi di negara-negara berkembang dan miskin. Sementara Amerika Serikat telah menjanjikan 11,4 miliar dollar AS.
”Kami juga berusaha mendorong anggota (UE) untuk meningkatkan kontribusinya. Negara-negara industri maju juga perlu didorong,” kata Timmermans.
Di Indonesia, Bank Pembangunan Eropa telah menjajaki peluang untuk terlibat dalam pengembangan energi bersih. Indonesia mempunyai banyak potensi energi bersih dan terbarukan. Sumber energi hidro, panas bumi, dan angin di Indonesia belum dimanfaatkan optimal. ”Butuh investasi untuk pengembangannya,” ujar Timmermans.
Karena itu, Timmermans menyoroti pentingnya penciptaan iklim investasi yang menarik bagi investor. Indonesia perlu meningkatkan transparansi, kepastian hukum, dan kondisi yang mendukung penanaman modal.
UE mendorong hal itu, antara lain, lewat perundingan perjanjian dagang dengan Indonesia. Setelah 11 putaran, perundingan belum selesai dan masih harus membahas sejumlah hal. ”Salah satu titiknya soal sawit. Saya perjelas, tidak ada larangan impor minyak sawit,” katanya.
Konsumen di Uni Eropa hanya meminta produksi sawit mengikuti prinsip berkelanjutan dan tidak merusak hutan. Indonesia dinilai sudah melakukan sejumlah upaya untuk menekan perusakan hutan dan memulihkan kerusakan hutan.
Indonesia, lanjut Timmermans, adalah contoh lengkap negara yang mempunyai sumber daya melimpah energi terbarukan ataupun energi fosil. Sembari tetap menggunakan energi fosil, Indonesia juga terus mendorong penggunaan energi terbarukan.
Penggunaan energi terbarukan semakin penting di tengah krisis energi saat ini. Sejumlah negara harus membayar mahal, terutama karena gangguan pasokan pada energi fosil dan pasokan energi terbarukan masih terbatas. ”Saya meyakini, pada akhirnya krisis ini akan teratasi. Salah satu solusi jangka panjangnya adalah meningkatkan energi bersih,” kata Timmermans.
Biaya produksi energi terbarukan semakin menurun dari waktu ke waktu. Sebaliknya, biaya produksi energi fosil terus melonjak.
Selain itu, penggunaan energi terbarukan berarti pemberdayaan komunitas. Di beberapa tempat, pembangkit listrik energi terbarukan bisa dikelola oleh kelompok-kelompok kecil. Hal itu berarti menyebarkan energi sampai ke pelosok. ”Akses pada energi amat penting. Anak-anak bisa sekolah daring, pemasaran bisa menjangkau konsumen lebih jauh,” katanya.