AS Janji Beri Bantuan Kemanusiaan untuk Warga Afghanistan
Setengah dari penduduk Afghanistan atau setara dengan 18 juta jiwa terancam bencana kelaparan. Negara-negara di dunia diharapkan segera membantu Afghanistan melalui organisasi kemanusiaan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DOHA, SENIN — Dialog dua hari antara delegasi Amerika Serikat dan Taliban yang berlangsung di Doha, Qatar, berakhir pada Senin (11/10/2021). AS tetap tidak mengakui Taliban sebagai Pemerintah Afghanistan yang sah. Akan tetapi, pada saat yang sama, AS berjanji akan memberi bantuan kemanusiaan secara langsung kepada warga Afghanistan yang terancam krisis kemanusiaan, salah satunya bencana kelaparan.
Dialog ini, menurut kedua belah pihak, berlangsung profesional dan mulus. Tidak ada ketegangan dan juga tidak ada perjanjian apa pun yang disahkan, kecuali komitmen bantuan kemanusiaan AS yang akan diserahkan kepada warga melalui badan-badan internasional.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, tidak menyinggung persoalan aset yang dibekukan. Menurut dia, delegasi AS hanya membahas isu keamanan dan pemenuhan hak asasi manusia serta memastikan warga AS ataupun warga negara lain yang masih berada di Afghanistan bisa meninggalkan negara itu kapan pun mereka mau tanpa perlu takut dipersekusi Taliban.
”Kami hanya menjanjikan bantuan kemanusiaan untuk warga. Taliban harus memastikan tidak ada penduduk Afghanistan yang kelaparan,” ujar Price. Ia menekankan bahwa seluruh dunia memantau Taliban dari tindakan, bukan sekadar ucapan dan janji.
Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan, setengah dari penduduk Afghanistan atau setara dengan 18 juta jiwa terancam bencana kelaparan. Konflik mengakibatkan sektor ekonomi dan pertanian terhambat. Apalagi, musim dingin segera datang. WFP mengimbau negara-negara di dunia segera membantu Afghanistan melalui mereka atau organisasi kemanusiaan lain guna memastikan anak-anak tidak menderita kekurangan gizi akut.
Dilansir dari Al Jazeera, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi mengutarakan, maksud pertemuan itu adalah meminta AS untuk mencairkan dana yang disimpan di bank-bank di AS. Dana tersebut berasal dari Pemerintah Afghanistan yang dilengserkan Taliban. Bank Sentral Afghanistan mencatat, 75 persen aset perbankan Afghanistan berupa valuta asing yang disimpan di luar negeri, termasuk di AS.
Ketika Taliban merebut pemerintahan dari Presiden Ashraf Ghani pada 15 Agustus 2021, Washington membekukan aset sebesar 9 miliar dollar AS. Di samping itu, Uni Eropa dan Bank Dunia juga turun tangan membekukan setidaknya 1,4 miliar dollar AS aset Afghanistan baik di Eropa maupun bank-bank lain di penjuru dunia.
”Pencairan aset itu untuk mengalirkan uang ke bank-bank di Afghanistan. Sekarang ini masyarakat kesulitan menarik uang sehingga ekonomi tidak berjalan,” kata Muttaqi.
Melawan terorisme
Dilansir dari Middle East Eye, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan malah meminta AS dan dunia mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah. Pakistan memiliki kepentingan karena berbatasan dengan Afghanistan. Jika negara tetangga itu dilanda konflik, Pakistan akan menanggung akibat secara langsung.
”Ini semua sudah telanjur terjadi. Taliban yang memimpin Afghanistan sekarang. Dunia jangan memperpanjang masalah, justru kita harus memikirkan kestabilan kawasan,” ucapnya.
Pernyataan Khan keluar setelah juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, mengatakan Taliban akan terus melawan dan memberantas Negara Islam di Irak dan Suriah-Khorasan (NIIS-K). Kelompok ini memberi masalah bagi Taliban.
Pada Jumat (8/10/2021), NIIS-K meledakkan bom yang menewaskan 46 orang dari kelompok minoritas Islam Syiah di Afghanistan. Menurut Shaheen, Taliban bisa menghadapi NIIS-K tanpa bantuan AS ataupun pihak luar.
Ucapan Shaheen ditanggapi peneliti Yayasan untuk Pertahanan Demokrasi (Foundation for Defense of Democracy), Bill Roggia. Ia menjelaskan, saat ini kebetulan AS dan Taliban sama-sama bermusuhan dengan NIIS-K sehingga AS berpikiran bisa bekerja sama dalam isu ini. Akan tetapi, Taliban tidak akan bisa menjadi rekan tepercaya dalam pemberantasan terorisme karena memiliki kedekatan dengan kelompok Al Qaeda. (AP/REUTERS)