Asia-Eropa Hadapi Dilema Penggunaan Bahan Bakar Fosil
India kekurangan batubara 60.000 metrik ton per hari. China juga kekurangan pasokan. Sejumlah negara Eropa kembali meningkatkan penggunaan batubara. Upaya penghentian penggunaan bahan bakar fosil dalam ujian serius.
NEW DELHI, RABU -- Upaya dunia menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sedang mendapat ujian serius. Harga dan kebutuhan energi fosil di Asia dan Eropa justru semakin melonjak kala komunitas internasional berusaha membuat komitmen pengurangan energi fosil.
Sejumlah media India, seperti The Hindu dan Indian Express, Rabu (6/10/2021), melaporkan, India menghadapi kelangkaan batubara. Otoritas India menyebut, 135 pembangkit listrik yang memasok hingga 66 persen kebutuhan negara itu hanya mempunyai cadangan rata-rata untuk 4 hari.
India bersiap pada pemadaman massal karena keterbatasan pasokan listrik. Bahkan, sebagian pembangkit listrik sudah mulai berhenti beroperasi akibat kehabisan batubara.
Baca juga Pemadaman Listrik di China, Pasokan Barang Global Bisa Terganggu
Sejumlah industri di India mengeluhkan keterbatasan energi. Asosiasi industri aluminium India memprotes pembatasan pasokan batubara untuk pembangkit mereka. Industri pengolahan aluminium memang memiliki pembangkit dalam kompleks pabriknya. Sejak ada keterbatasan batubara, otoritas New Delhi memprioritaskan pasokan ke pembangkit di luar industri aluminium.
Menteri Batubara India Anil Kumar Jain mengatakan, Coal India akan mencoba meningkatkan produksi. Meski demikian, akan tetap ada kekurangan hingga 60.000 ton per hari sampai beberapa waktu ke depan. Salah satu hambatan produksi ialah banyak tambang kebanjiran.
Menteri Kelistrikan India Raj Kumar Singh memperingatkan, kelangkaan energi bisa berlangsung sampai Maret 2022. Pada Senin (4/10) saja, Kementerian Kelistrikan India mengungkapkan ada defisit daya mencapai 4 gigawatt. Dampaknya, pemadaman mulai berlangsung di berbagai penjuru India.
Pemadaman akibat keterbatasan listrik lebih dulu dialami China. Banyak pabrik di negara itu berhenti beroperasi gara-gara keterbatasan listrik. Dampaknya, pasokan ke pasar domestik dan global terhenti.
Sampai sekarang, 20 dari 31 provinsi di China mengalami pemadam massal yang berlangsung bertahap sejak Juni 2021. Belum ada tanda-tanda pemadaman akan segera selesai. Seperti India, China kesulitan mendapat pasokan batubara.
Salah satu penyebabnya ialah kenaikan harga. Harga batubara melonjak dari kisaran 80 dollar AS per metrik ton pada Januari 2021 menjadi rata-rata 200 dollar AS per metrik ton sejak September 2021. Kenaikan harga juga terjadi pada minyak bumi serta gas alam.
Harga gas alam melonjak dari 16 euro per megawatt hour (MwH) pada Januari 2021 menjadi 98 euro per MwH pada September 2021. Harga dikhawatirkan terus naik kala musim dingin sejak Oktober 2021 sampai akhir Maret 2022.
”Kenaikan harga energi tak bisa ditanggung warga dan perusahaan,” kata Menteri Ekonomi Perancis Bruno Le Maire di sela pertemuan para menteri ekonomi anggota Uni Eropa (UE), pekan lalu.
Demikian pula harga minyak. Harga minyak WTI dan Brent pada Januari 2021 masing-masing 47 dollar AS per barel dan 51 dollar AS per barel. Kini, harganya menembus 80 dollar AS per barel. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sejumlah eksportir utama minyak yang tidak bergabung dengan OPEC sepakat tidak menaikkan produksi. Dengan demikian, harga akan merangkak naik seiring tumbuhnya permintaan.
Kala harga gas naik, sejumlah negara Eropa memutuskan kembali meningkatkan penggunaan batubara. UE yang getol mendorong penghentian penggunaan batubara pun melakukan hal itu.
Peningkatan permintaan batubara di Eropa bersamaan dengan naiknya permintaan batu bara di Asia. Padahal, pasokan batu bara global terbatas. Harga pun melonjak.
Rentan
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, mengatakan bahwa pasar energi sangat rentan saat ini. UE ikut terdampak terutama oleh peningkatan harga gas alam. “Kenaikan ini menunjukkan harga energi fosil semakin mahal,” kata dia dalam wawancara dengan harian Kompas, Rabu (6/10/2021), di Jakarta.
Baca juga: Ekonomi Hijau Jadi Arus Utama, Australia Lanjutkan Produksi dan Ekspor Batubara
Kenaikan itu, Piket melanjutkan, seharusnya dijadikan pengingat bahwa peralihan dari sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan harus segera dilakukan. Selama beberapa tahun terakhir, harga energi terbarukan terus terpangkas. “Kita dalam momen menentukan, akan terus atau akan berhenti untuk transisi,” ujarnya.
Namun, Le Maire mengingatkan bahwa transisi akan membuat konsumen tetap harus membayar mahal. Kenaikan harga energi akan terjadi dalam hitungan tahun. “Ada kebutuhan investasi lebih besar pada sumber energi terbarukan dan mungkin nuklir. Hal ini berarti butuh lebih banyak uang,” ujarnya di sela pertemuan para menteri ekonomi anggota EU pekan lalu.
Di forum yang sama, Menteri Keuangan Spanyol Nadia Cavino malah menuding mekanisme UE untuk menekan emisi karbon dioksida ikut berperan dalam peningkatan harga energi. Ada spekulasi pada sistem perdagangan emisi (ETS) yang dibuat UE pada 2005. ETS menjadi salah satu acuan penetapan tarif pajak emisi karbon. Dari kisaran 30 euro per ton pada Januari 2021, kini ETS menyentuh 60 euro per ton emisi karbon dioksida.
Ironisnya, kenaikan kebutuhan dan harga energi fosil terjadi menjelang Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021. Lewat konferensi itu, komunitas internasional sekali lagi diminta berkomitmen untuk mengendalikan faktor-faktor penyebab perubahan iklim. Salah satu faktor itu adalah emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan energi fosil.
Godaan
Bagi produsen energi fosil, seperti Indonesia dan Australia, kenaikan harga energi menjadi godaan serius. Kenaikan harga energi bisa menambah devisa yang dapat dijadikan modal untuk menggerakkan perekonomian. Seperti banyak negara, Indonesia perlu bangkit kembali setelah dihantam pandemi Covid-19.
Kenaikan harga juga menjadi penguat bagi Australia untuk menggenjot ekspor batubara dan gas alam. Canberra telah menyatakan akan terus menambang gas alam dan batubara selama memungkinkan. Australia terus menolak menetapkan tenggat mencapai target emisi nol persen.
Namun, berkah bagi Indonesia dan sejumlah negara itu menjadi pukulan bagi importir energi seperti UE, China, dan India. Kenaikan harga energi terjadi karena beragam faktor. Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama kenaikan harga dan kebutuhan energi.
Kini, semakin banyak orang di rumah dan hal itu berarti kebutuhan energi, mulai dari listrik hingga pengatur suhu ruangan, meningkat pula. Di sebagian Asia dan mayoritas Eropa, kebutuhan energi untuk pengatur suhu ruangan melonjak selama musim dingin.
Masalahnya, tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah. Seiring dengan pengendalian laju infeksi, banyak negara mulai kembali memacu perekonomiannya untuk mengompensasi pelambatan selama 2020. Hal itu berarti peningkatan konsumsi energi pula. China dan India mencatat lonjakan konsumsi hingga 15 persen pada 2021.
Dampak pandemi juga terlihat pada sektor logistik. Akibatnya, pengangkutan gas alam, minyak bumi, dan batubara terhambat. Kekurangan pasokan membuat harga naik. Sejak pandemi, ada peningkatan harga kargo dan hal itu berimbas pada harga akhir energi.
Baca juga: China Bunyikan Alarm Ekonomi Batubara Indonesia
Faktor lain yang memicu kenaikan harga energi fosil adalah pasokan energi terbarukan belum memadai. China dan India mendapatkan lebih dari 60 persen listriknya dari batubara. Penghentian konsumsi batubara secara mendadak bisa membuat kedua negara dengan penduduk terbanyak itu kehilangan mayoritas pasokan energinya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan sepakat dengan Le Maire bahwa transisi energi butuh biaya besar. Karena itu, ia menyarankan Indonesia tidak memaksakan diri menghentikan penggunaan sumber energi yang tersedia di dalam negeri.
“Transisi pasti akan terjadi, akan tetapi jangan dipaksakan mendadak. Indonesia tidak sanggup menanggung bebannya,” kata Mamit.
Dengan batubara dan gas alam saja, mayoritas penduduk Indonesia masih mengganggap tarif listrik terlalu mahal. Apalagi, jika Indonesia menghentikan produksi listrik dari batubara dan gas yang secara untuk konteks Indonesia lebih murah dibandingkan sumber energi lain. (AFP/REUTERS)