Kehadiran China di Natuna Utara Direspons lewat Mekanisme Diplomatik
Laut Natuna Utara adalah perairan ZEE Indonesia. Kehadiran kapal China di sana direspons lewat mekanisme komunikasi diplomatik dengan merujuk hukum internasional.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia merespons kehadiran dan aktivitas kapal-kapal China di Laut Natuna Utara lewat mekanisme komunikasi diplomatik dengan Beijing. Ditegaskan, setiap kapal asing tidak dibenarkan melakukan aktivitas yang dapat mengganggu keamanan dan kedaulatan Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah, Selasa (5/10/2021), mengatakan, Laut Natuna Utara merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kehadiran dan aktivitas kapal-kapal asing di sana akan direspons melalui jalur diplomatik dengan merujuk pada hukum internasional.
Begitu juga terhadap kehadiran kapal-kapal China, termasuk kapal surveinya, yang melakukan aktivitas di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. ”Sikap kita, dari sisi hukum internasional, terhadap setiap kapal asing yang sifatnya sekadar melintas saja di ZEE Indonesia, itu tidak dilarang,” katanya.
Faizasyah melanjutkan, ”Selama tidak melakukan kegiatan mengganggu hukum internasional dan kedaulatan sebuah negara, itu tidak dilarang. Kalau melanggar, kita akan sampaikan protes.” Walau demikian, setiap konflik atau permasalahan diselesaikan melalui jalur diplomasi yang santun.
”Mekanisme komunikasi diplomatik yang ada di antara kedua negara terus dimanfaatkan Indonesia untuk membicarakan berbagai isu yang menjadi kepedulian Indonesia, termasuk isu-isu kemaritiman,” kata Faizasyah.
Pada Desember 2019 hingga awal 2020, Indonesia pernah bersitegang dengan China di Laut Natuna Utara. Belakangan ini kapal-kapal nelayan, milisi laut, dan kapal patroli penjaga pantai China mulai ramai terlihat di Laut Natuna Utara oleh para nelayan di Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal Haiyang Dizhi 10, misalnya, yang terpantau mondar-mandir dekat area pengeboran minyak lepas pantai di Natuna Utara pada Agustus-September lalu, kembali memasuki perairan itu. Haiyang Dizhi 10 dilaporkan memasuki lagi ke ZEE di Laut Natuna Utara, Senin (4/10/2021) pagi.
Faizasyah menegaskan, ia mengetahui laporan itu. Namun, laporan itu diperoleh berdasarkan informasi nelayan yang sulit diverifikasi. Informasi itu akan lebih kuat jika didukung laporan yang dibuat instansi berwenang dan bukti-bukti tentang posisi atau koordinat kehadiran kapal China tersebut.
Angkatan Laut Indonesia, September lalu, meningkatkan patroli ke Laut Natuna Utara setelah kapal-kapal China dan AS terdeteksi di dekat ZEE Indonesia meski tidak ada gangguan dari kapal-kapal itu. Lima kapal angkatan laut, dibantu oleh patroli udara, dikerahkan ke Laut Natuna Utara.
Terdepan
Pengamat politik China di Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Nur Rachmat Yuliantoro, menegaskan, China tampaknya ingin menunjukkan bahwa kekuatan maritimnya terdepan di kawasan. Dalam konteks kawasan, ini penting untuk memperlihatkan bahwa China bisa menjadi pengimbang bagi kekuatan AS dan sekutunya.
Selain itu, meningkatnya kehadiran dan aktivitas kapal China di Laut Natuna Utara ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi serta klaim historis yang dipertahankan China. ”Kedua hal ini penting bagi China untuk menjustifikasi masuknya kapal-kapal mereka ke wilayah ZEE Indonesia,” katanya.
Dalam konteks yang lebih luas di Laut China Selatan, Nur Rachmat mengatakan, saluran diplomasi sangat penting untuk mengakhiri konflik. Hanya dengan saluran ini kawasan terhindar dari potensi konflik besar yang sangat destruktif bagi banyak pihak.
Dosen Teknik Geodesi UGM, I Made Andi Arsana, yang secara khusus menekuni masalah perbatasan, termasuk isu ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, mengatakan, tidak ada alasan bagi China untuk hadir di Laut Natuna Utara. China tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan Indonesia.
Soal kehadiran kapal-kapal China itu, kata Andi, tentu saja perlu dicermati dalam konteks ruang. China memiliki klaim historis sepihak berdasarkan ”sembilan garis putus-putus” di Laut China Selatan, meliputi Laut Natuna Utara. Klaim itu jelas tidak sesuai Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
”Kita mendasarkannya pada UNCLOS 1982 karena China sudah meratifikasi hukum laut internasional itu. Logika hukumnya, karena China sudah mengakuinya, seharusnya segala klaim dan tindak tanduk China di sana harus berdasarkan UNCLOS,” kata Andi.
Menurut Andi, dalam kenyataannya malah China tidak mengakui UNCLOS. Ini posisi atau sikap China yang salah. ”Kecuali kalau China sejak awal tidak meratifikasi UNCLOS, klaimnya dapat dimengerti. UNCLOS diakui, tetapi klaim ruang laut China tidak sesuai UNCLOS. Ini aneh,” tuturnya.
China tidak mengklaim pulau-pulau di Natuna, tetapi mengatakan memiliki hak penangkapan ikan di dekatnya, yang disebut traditional fishing ground di dalam ”sembilan garis putus-putus”.
Andi mengatakan, kalau ingin melakukan penelitian di dalam ZEE Indonesia, seharusnya China meminta izin dari otoritas Indonesia. Jika tidak, upaya itu disebut sebagai kegiatan ilegal.
Indonesia tetap konsisten pada sikapnya dalam menjalankan diplomasi internasional, termasuk masalah di Laut China Selatan. Terkait isu Laut China Selatan, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah berulang kali menegaskan sikap.
Kemenlu RI menolak setiap tawaran negosiasi dan konsultasi yang diajukan Beijing jika tidak berbasis hukum internasional. Indonesia konsisten merujuk UNCLOS 1982 yang berlaku umum di dunia dan bukan berdasarkan garis imajiner suatu negara.