Industri Penerbangan Global Umumkan Komitmen Dekarbonisasi Per Tahun 2050
Komitmen dekarbonisasi industri penerbangan global mencakup, antara lain, peremajaan pesawat berteknologi canggih yang efisien bahan bakar, penggunaan teknologi baterai listrik, dan avtur berbahan bakar sintetis.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BOSTON, SELASA — Industri penerbangan selama ini menyumbang 2,5 persen dari emisi karbon global. Terjadinya pandemi Covid-19 di satu sisi menghantam industri, tetapi di saat yang sama juga memberikan kesempatan bagi jaringan penerbangan global memikirkan kembali strategi mereka di masa depan.
Salah satu strategi mereka terkait langkah industri dan operator penerbangan untuk ikut berperan dalam penanganan perubahan iklim. Jaringan industri penerbangan global berkomitmen pada dekarbonisasi atau sama sekali tidak memproduksi karbon per tahun 2050.
Komitmen tersebut diumumkan setelah rapat Asosiasi Transportasi Udara Internasional (International Air Transport Association/IATA) di Boston, Amerika Serikat, Senin (4/10/2021) atau Selasa dini hari WIB. ”Hal ini guna memastikan semua orang tetap bisa terbang, tetapi maskapai sekaligus mengurangi, bahkan menghentikan, kerusakan lingkungan,” kata Direktur IATA Willie Walsh.
Walsh menjabarkan, mereka tengah mengembangkan beberapa strategi. Cakupannya antara lain peremajaan pesawat dengan yang berteknologi canggih sehingga efisien dalam penggunaan energi serta bahan bakar. Perkembangan teknologi baterai listrik kini memungkinkan hal serupa juga diterapkan kepada pesawat. Dapat pula dilakukan pengalihan bahan bakar dari avtur yang berbasis fosil ke bahan bakar sintetis, seperti hidrogen.
Ada pula usulan melakukan teknologi penangkapan karbon yang dihasilkan oleh pesawat. Bisa juga menerapkan sistem pelunasan karbon, yaitu perusahaan membayar jumlah emisi yang mereka hasilkan dengan investasi ke teknologi ramah lingkungan.
”IATA memperkirakan butuh dana 2 triliun dollar AS secara keseluruhan bagi maskapai untuk melakukan perubahan,” kata Walsh.
Butuh keterlibatan dari perusahaan pembuat pesawat, perusahaan energi, pemerintah, dan akademisi untuk bersama-sama mewujudkan teknologi penerbangan yang ramah lingkungan. Saat ini, harga bahan bakar ramah lingkungan masih tiga kali lebih mahal daripada avtur.
Perusahaan yang telah mengutarakan komitmen mereka adalah Airbus melalui direkturnya, Guillaume Faury, dan maskapai penerbangan Jet Blue dari AS. Bahkan, Direktur Jet Blue, Robin Hayes, kepada media Financial Times mengatakan bahwa perusahaannya berkomitmen dekarbonisasi per 2040.
China keberatan
Keputusan IATA tidak sepenuhnya didukung maskapai internasional. Salah satu yang vokal adalah China melalui maskapai China Southern. Hal ini karena target dekarbonisasi China adalah per tahun 2060. Oleh sebab itu, maskapai-maskapai negara ini meminta IATA meninjau ulang keputusan agar bisa memberi keleluasaan sesuai dengan kondisi kebijakan setiap negara.
Hasil kajian berbagai lembaga, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengungkapkan bahwa Bumi dalam kondisi kritis. Apabila suhu Bumi naik 1,5 derajat celcsius saja dalam lima tahun, akan terjadi bencana yang tidak bisa ditangani.
Pemanasan global mengakibatkan kepunahan terumbu karang dan menenggelamkan berbagai dataran rendah sehingga berujung tidak hanya pada krisis lingkungan hidup, tetapi juga krisis pangan global. Hal ini belum ditambah krisis tempat tinggal dan konflik yang lahir dari akibat krisis iklim.
Sementara itu, dilansir dari media CGTN, Jerman membuka pabrik hidrogen cair di Werlte, Negara Bagian Lower Saxony. Pabrik ini menggunakan listrik yang dihasilkan dari tenaga air dan angin. Menteri Lingkungan Hidup Jerman Svenja Schulze mengatakan, pabrik ini menargetkan memproduksi avtur ramah lingkungan untuk pesawat dan bisa segera mengganti pemakaian avtur dari fosil.
Pada tahun 2022, pabrik ini berencana memproduksi delapan barel avtur ramah lingkungan per hari. Jumlah ini cukup untuk menjadi bahan bahan bakar bagi satu pesawat penumpang kecil dan bisa diisi setiap tiga pekan.
Kebutuhan avtur global
Akan tetapi, hal itu masih jauh dari kebutuhan global. Data IATA 2019 mengungkapkan, penerbangan global memerlukan 2,7 miliar barel per tahun untuk beroperasi. Kebutuhan avtur pada tahun 2050 diperkirakan lebih besar lagi mengingat bakal ada 10 miliar manusia yang menggunakan transportasi udara.
Atmosfair, lembaga swadaya masyarakat untuk lingkungan hidup di Jerman, berpendapat bahwa keberadaan pabrik di Werlte tersebut menunjukkan bahwa teknologi penerbangan ramah lingkungan nyata dan bisa diterapkan.
”Ini menjadi inspirasi dan pemicu bagi perusahaan-perusahaan lain di dunia. Semakin banyak kita memproduksi pilihan bahan bakar ataupun teknologi penerbangan ramah lingkungan, harganya juga semakin terjangkau,” kata Direktur Atmosfair Dietrich Brockhagen. (AFP)