Pengembangan kendaraan listrik harus jadi bagian dari strategi transisi dan transformasi energi menuju penggunaan energi yang lebih bersih, mempercepat pencapaian netral karbon, dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Oleh
NUGROHO ADI SASONGKO
·6 menit baca
Emisi gas rumah kaca sektor transportasi memiliki andil dalam peningkatan pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Berdamai dengan alam dan mendukung mitigasi perubahan iklim, Indonesia menargetkan pengurangan emisi yang signifikan dari sektor transportasi dengan mengganti bahan bakar penggerak kendaraan dari bahan bakar minyak berbasis fosil ke bahan bakar nabati dan listrik.
Kali ini kita fokus pada sisi lain program transportasi hijau untuk kendaraan listrik. Muncul tantangan baru dalam percepatan implementasi kebijakan kendaraan listrik, mengingat lebih dari 60 persen pembangkit listrik di Indonesia berbasis batubara dengan faktor emisi jaringan listrik nasional di atas 780 gram setara CO2 untuk setiap kWh listrik yang dihasilkan (780 gram CO2eq/kWh).
Bahaya laten sumber listrik
Berdasarkan proyeksi business as usual (BAU), tanpa adanya intervensi yang tegas dari pemerintah, batubara saat ini (2021) mendominasi bauran sumber energi primer listrik. Kondisi ini tak berubah dalam 30 tahun mendatang atau pada 2050. Tentunya ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah melalui Target Netralitas Karbon (Net Zero Emission Target) pada 2050.
Pada 2016-2017, penulis pernah melakukan penelitian terkait perbandingan kebijakan transportasi hijau di Jepang dan Indonesia, bekerja sama dengan Institute of Energy Economic Japan (IEEJ), sebuah lembaga think-tank energi nomor satu di Asia.
Hasilnya, tentu saja bisa ditebak, mempertegas bahwa Jepang memiliki strategi pengurangan emisi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Faktor emisi yang rendah dari sektor ketenagalistrikan memberikan keuntungan lebih bagi Jepang untuk mempromosikan kendaraan listrik.
Emisi karbon dioksida dari proses pembakaran di dalam pembangkit listrik melepaskan asap berbahaya, termasuk di antaranya sulfur, NOx, dan partikel debu. Material-material ini dapat menyebabkan dampak turunan, seperti hujan asam, penyakit pernapasan, bahkan perubahan genetik makhluk hidup jika melampaui ambang batas tertentu.
Pada komponen kendaraan listrik salah satu tantangan terbesarnya terletak pada pengisian dan pelepasan energi di baterai. Baterai isi ulang ini terdiri dari sejumlah sel elektrokimia, seperti katode, anode, dan elektrolit.
Bahan baku baterai tersedia melimpah di Indonesia, terutama nikel.
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, 2019) dan Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS, 2020), Indonesia memiliki 72 juta ton bijih nikel atau sekitar 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang sekitar 139 juta ton.
Pemerintah melalui Konsorsium BUMN Pertambangan Mind ID, Antam, PLN, dan Pertamina membuat anak perusahaan baru, yaitu Indonesia Battery Corporation (IBC), untuk memastikan nilai tambah ekonomi terbesar diperoleh bangsa di sepanjang rantai pasok, mulai dari pertambangan nikel (sebagai salah satu bahan baku utama baterai), pabrik peleburan (smelter), industri manufaktur baterai, sampai dengan sebuah sistem kendaraan listrik.
Eksploitasi sumber daya nikel nasional secara masif dilakukan untuk memenuhi pasar lokal dan global.
Dampak lingkungan lain
Setidaknya ada empat dampak negatif dari industrialisasi kendaraan listrik, yakni bahan bahaya dan beracun (B3), konsumsi energi masif sepanjang proses produksi, jejak air (water footprint) yang luar biasa besar, dan kerusakan ekosistem. Ternyata, selain emisi gas rumah kaca (GRK), ada sejumlah bahaya lain yang dampaknya juga relatif sangat besar terhadap manusia dan lingkungan.
Kendaraan listrik sebagaimana produk manufaktur lainnya memerlukan berbagai bahan baku di sepanjang rantai pasoknya, yang jika tidak dikelola dengan baik, proses pengolahan material-material ini menghadirkan potensinya dalam merusak lingkungan dan kesehatan manusia.
Penelitian-penelitian terbaru yang dilakukan penulis (2021) menunjukkan konsekuensi eksploitasi masif lithium dan nikel dunia meningkatkan rasio paparan material B3, baik terhadap vegetasi, hewan, maupun manusia. Penelitian beban lingkungan dilakukan dengan metode penilaian dampak daur hidup (life cycle impact assessment/LCIA).
Material B3 ini bisa terakumulasi dan mengendap pada perairan (freshwater, marine), tanah (soil/terrestrial), udara, dan manusia (human). Sejumlah substansi, seperti logam berat, arsenik, sodium dichromate, dan hydrogen fluoride, yang umumnya dihasilkan dari aktivitas pertambangan, pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil dan barang elektronik seperti baterai, memiliki dampak sangat spesifik di dalam ekosistem.
Faktor karakterisasi bahan beracun dalam LCA diekspresikan dengan menggunakan unit referensi kg 1,4-dichlorobenzene equivalent (1,4-DB, p-DCB, atau para-dichlorobenzene), yakni senyawa organik dengan formula C6H4Cl2. Senyawa ini kurang larut di dalam air dan tidak mudah diuraikan oleh organisme. Jika masuk dalam rantai makanan, senyawa ini akan terakumulasi di dalam jaringan lemak hewan dan manusia.
Badan Perlindungan Lingkungan AS (US EPA), Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat AS (DHHS), dan Lembaga Riset Kanker Internasional (IARC) menetapkan bahwa p-DCB merupakan senyawa pemicu kanker dan mutasi genetik.
Di sepanjang proses pembuatan baterai dan kendaraan listrik melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, manufaktur, ada konsumsi energi dan air bersih yang luar biasa besar. Eksploitasi material-material ini dari alam juga menyebabkan kerusakan ekosistem, serta terlepasnya substansi dan limbah tailing berbahaya ke lingkungan.
Di sisi lain, masih banyak yang belum diketahui dampak jangka panjang daur ulang limbah baterai.
Rekomendasi kebijakan
Kebijakan transportasi hijau kendaraan listrik tentu kita harap dapat memberikan keuntungan lingkungan melalui mitigasi emisi GRK. Strategi mitigasi emisi sektor transportasi harus dikembangkan dengan pemanfaatan maksimal energi baru dan terbarukan agar memberikan dampak positif dalam mendorong mobilitas hijau.
Indonesia harus lebih ambisius memperbesar rasio dan merealisasikan proyek-proyek energi terbarukan untuk mengeliminasi pembangkit berbahan bakar fosil. Paling sedikit 9 GW kapasitas pembangkit listrik atau 80 TWh listrik yang diproduksi dari PLTU berbasis batubara harus digantikan dengan sumber intensitas GRK yang kecil, seperti biomassa yang memiliki faktor emisi sekitar 22,33 gram CO2eq/kWh untuk mencapai rasio pengurangan emisi relatif sebanding sebagaimana di Jepang untuk baseline 2016. Inisiasi Co-firing yang dilakukan belakangan ini oleh PLN cukup baik dan perlu ditingkatkan.
Selain itu, seluruh sumber energi terbarukan lainnya, seperti tenaga surya, tenaga air, tenaga angin, dan panas bumi, harus dimaksimalkan masuk ke dalam bauran sistem pembangkit listrik nasional. Bahkan, termasuk nuklir pun perlu meskipun masih diperdebatkan.
Paling tidak, kita harus bersama-sama berupaya menurunkan faktor emisi pembangkit listrik secara agregat menjadi di bawah 700 CO2eq/kWh sebagaimana rekomendasi Badan Energi Internasional (IEA, 2016) untuk memperoleh net-CO2 saving dari kendaraan listrik.
Pengembangan kendaraan listrik harus jadi bagian dari strategi transisi dan transformasi energi menuju penggunaan energi yang lebih bersih, mempercepat pencapaian netral karbon, dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Paparan ini diharapkan bisa membantu memberikan sedikit sudut pandang lain mengenai konsekuensi kebijakan agar dapat dikaji lebih komprehensif dan hati-hati sehingga dalam penyusunan peta jalan dan eksekusi kebijakan di lapangan dapat meminimalkan risiko-risiko bencana lingkungan.
Nugroho Adi Sasongko,Perekayasa Madya BRIN, Dosen Ketahanan Energi UNHAN RI, Dewan Pakar IABIE, Ketua IASPRO, Praktisi Penilaian Daur Hidup (LCA)