Keadilan Iklim, Dari Putin sampai ke Thunberg
Perubahan iklim adalah masalah seluruh umat manusia. Efektivitas penanggulangannya hanya bisa terjadi jika keadilan iklim jadi dasar ikhtiarnya.
Persoalan perubahan iklim menjadi salah satu isu utama yang selalu diangkat Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam beberapa tahun terakhir. Pemimpin-pemimpin negara pun banyak yang mengangkat isu ini dalam pidatonya. Penggunaan energi, yakni energi berbasis fosil, menjadi jantung dalam konteks faktor penyebab perubahan iklim.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam pidato pembukaan sesi debat umum Sidang Majelis Umum Ke-76 PBB, 21 September 2021, menyatakan, kesenjangan iklim antara Utara dan Selatan perlu dijembatani. Ia berharap Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, per 31 Oktober bisa sukses menjembataninya.
Baca juga : Bersiaplah, Titik Kritis Iklim Sudah di Depan Mata
Selanjutnya, Guterres menekankan pentingnya negara-negara untuk menunjukkan komitmen secara lebih serius dalam mitigasi, pendanaan, dan adaptasi. Ini semua mencakup target netralitas karbon pada 2050 dan penyediaan dana 100 miliar dollar Amerika Serikat (AS) per tahun dari negara-negara kaya untuk negara-negara miskin-berkembang.
”Ini adalah keadaan darurat planet. Kita membutuhkan koalisi atas dasar solidaritas, antara negara-negara yang masih sangat bergantung pada batubara dan negara-negara yang memiliki sumber daya keuangan ataupun teknis untuk mendukung transisi mereka,” katanya.
Guterres tidak menyebut frasa ”keadilan iklim” secara eksplisit. Namun deskripsi dan elaborasinya jelas mengangkat isu tersebut. Dan memang sudah menjadi pemahaman bersama bahwa agenda iklim hanya akan menjadi narasi dan proyek tanpa makna jika keadilan iklim tidak menjadi wawasannya.
Keadilan iklim adalah terminologi sekaligus gagasan dan gerakan yang mendasarkan pada pemahaman bahwa penyebab dan dampak perubahan iklim tidak sama bagi seluruh penduduk dunia. Ini mencakup spektrum generasi, geografi, taraf ekonomi, dan sebagainya. Atas dasar pemahaman inilah kebijakan iklim semestinya ditetapkan dan dilaksanakan.
Baca juga : Manusia Tak Berubah, Malapetaka Iklim Datang Lebih Cepat
Mantan Presiden Irlandia Mary Robinson pada Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB tentang Perlindungan Iklim Global untuk Generasi Sekarang dan Masa Depan, Maret 2019, menyatakan, keadilan iklim menuntut pergeseran wacana, dari seputar gas rumah kaca dan pencairan es menjadi gerakan hak-hak sipil dengan komunitas paling rentan terhadap dampak iklim di jantungnya.
Merujuk Global Citizen, komunitas, perempuan, dan masyarakat adat yang rentan di negara-negara termiskin di dunia menanggung sebagian besar biaya dan konsekuensi dari krisis iklim. Padahal, sumbangsih mereka terhadap perubahan iklim sangat kecil. Sebaliknya, negara-negara kaya yang secara historis diuntungkan dari eksploitasi lingkungan, mengalami dampak yang relatif minim.
Berdasarkan ourworldindata.org, sejak 1751-2017, dunia telah memproduksi lebih dari 1,5 triliun ton karbon dioksida (CO2). Akumulasi inilah yang menyebabkan pemanasan global saat ini menuju ke rata-rata kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius dibanding masa sebelum Revolusi Industri.
Negara mana yang paling bertanggung-jawab terhadap akumulasi produksi CO2 selama ini? Masih merujuk kajian ourworldindata.org, selama periode 1751-2017, AS adalah negara yang paling banyak memproduksi CO2. Volumenya diperkirakan sekitar 400 miliar ton alias 25 persen dari akumulasi CO2.
Baca juga : Komitmen Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Ini dua kali lebih banyak dari China sebagai penyumbang terbesar kedua di dunia. Sementara 28 negara Uni Eropa berada di urutan ketiga dengan sumbangan mencapai 22 persen. Banyak produsen emisi tahunan besar saat ini, seperti India dan Brasil, bukanlah kontributor terbesar dalam konteks sejarah. Sementara sumbangan Afrika tergolong sangat kecil dibanding ukuran populasinya.
Selama beberapa dekade terakhir, sejumlah negara di luar AS dan Eropa mulai masuk ke jajaran produsen terbesar. Berturut-turut adalah 15 negara dengan produksi CO2 terbesar di dunia pada 2020, yakni China, AS, India, Rusia, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Iran, Kanada, Arab Saudi, Brasil, Mexico, Indonesia, Afrika Selatan, dan Inggris.
Dalam pemahaman keadilan iklim, salah satu usaha global ditempuh melalui pendanaan iklim. Selama satu dekade terakhir, beberapa komitmen keuangan telah dibuat untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang mengatasi perubahan iklim.
Pada Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen di 2009, negara kaya berjanji memobilisasi total 100 miliar dollar AS per tahun untuk mendanai proyek adaptasi dan mitigasi ke negara miskin-berkembang. Namun selama ini, realisasinya tak pernah mencapai target.
Baca juga : Pembaruan Dokumen Penurunan Emisi, Bekal Indonesia ke Glasgow
Bahkan pada 2019 sekali pun, merujuk OECD, realisasinya baru mencapai 80 miliar dollar AS. Mengutip The Guardian, Care Denmark, anggota jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat internasional, dalam salah satu laporannya, menyebutkan, sebagian besar negara kaya yang tergabung dalam G7 masih belum membuat komitmen baru pada pendanaan iklim.
Gugatan terhadap negara kaya ini tidak berarti memoderasi tuntutan kepada negara-negara berkembang yang belakangan sumbangan emisi gasnya cenderung meningkat. Hanya saja, upaya efektif hanya akan terjadi jika usaha bersama diletakkan, sekali lagi, dalam konteks keadilan iklim.
Perubahan iklim adalah isu besar, rumit, dan kompleks. Negara-negara kaya yang sering memprotes kegiatan tak ramah lingkungan di negara miskin-berkembang pun acapkali kelimpungan menerapkan komitmennya. Krisis energi yang terjadi belakangan adalah buktinya. Eropa misalnya sedang pusing dengan harga gas bumi yang meroket menjelang musim dingin. Maka mereka terpaksa kembali lagi ke batubara, sumber energi yang dianggap kotor.
Masih ingat Greta Thunberg dengan ungkapannya, ”how dare you”? Ungkapan remaja asal Swedia itu menyita perhatian publik pada Sidang Majelis Umum ke-74 PBB di New York, 23 September 2019.
Pada Konferensi Energi di Moskwa 2 Oktober 2019, Putin memberikan tanggapannya. Ia yakin Greta adalah remaja yang baik dan tulus. ”Fakta bahwa anak-anak muda, remaja, memberi perhatian kepada persoalan-persoalan akut dunia modern, termasuk ekologi, itu baik. Itu benar. Mereka jelas harus mendapatkan dukungan,” katanya.
Fakta bahwa anak-anak muda, remaja, memberi perhatian kepada persoalan-persoalan akut dunia modern, termasuk ekologi, itu baik. Itu benar. Mereka jelas harus mendapatkan dukungan.
Namun Putin menekankan pentingnya menjalankan agenda global secara realistis dan tanpa agenda untuk mengeruk keuntungan bagi kelompok tertentu. Dunia modern, Putin melanjutkan, sangat rumit, kompleks, dan berubah cepat. Penduduk di Afrika dan di banyak negara Asia ingin hidup sejahtera seperti penduduk di Swedia dan negara Eropa lainnya.
”Bagaimana cita-cita itu bisa dicapai? Apakah dengan menggunakan energi matahari yang berlimpah di Afrika. Apakah ada orang yang menjelaskan tentang ongkosnya? Apakah teknologi itu bisa diakses negara-negara berkembang,” kata Putin.
Di atas itu semua, Putin menggaris-bawahi, semua pihak tidak bisa tidak selain mendukung ide pengembangan energi baru terbarukan. "Kita hanya butuh realistis,” kata Putin.