Jalan Bergelombang Singapura Menuju Hidup Normal di Tengah Pandemi
Pelonggaran pembatasan sosial di Singapura, sebagai bagian dari rencana besar normalisasi kehidupan pascapandemi, mengakibatkan lonjakan infeksi Covid-19. Situasi ini membuat warga khawatir.
Selama hampir dua tahun pandemi Covid-19 berlangsung, Joys Tan (35) selalu berusaha mengikuti protokol kesehatan, mulai dari mengenakan masker, menjaga jarak dengan orang lain, dan vaksinasi. Dia meyakini, protokol kesehatan yang ketat melindungi dirinya, orang-orang terdekatnya, orang lain dari infeksi. Ujungnya, membantu menjaga angka infeksi di Singapura, tempat tinggalnya, tetap rendah.
Hasilnya, sejak Maret 2020—saat WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global—tak ada satu pun anggota keluarganya yang terinfeksi. Hal itulah yang kemudian membuat Tan berani mengunjungi ibu baptisnya dan makan malam di rumahnya awal September lalu, meski laju infeksi di Singapura sedang naik.
Dua hari kemudian, Tan mengetahui ibu baptisnya menjalani tes PCR karena menunjukkan gejala terinfeksi Covid-19. Dan, hasilnya positif. Hasil itu memaksanya mengisolasi diri sendiri di sebuah kamar hotel, jauh dari suami dan putranya yang baru berusia 2 tahun.
Berada di kamar isolasi, sendirian, membuat dia berpikir dan bertanya-tanya, seperti kebanyakan warga Singapura lainnya: apakah hidup berdampingan dengan Covid-19, seperti yang digemakan oleh Pemerintah Singapura, berarti hidup dengan kecemasan permanen tentang kemungkinan terinfeksi?
”Saya khawatir sepanjang waktu. Sangat khawatir sepanjang waktu karena tidak tahu efek jangka panjang apa yang akan terjadi pada tubuh jika terinfeksi Covid-19. Dan, ketika Anda memiliki anak kecil, hal itu akan selalu menempel dalam pikiran Anda,” kata Tan.
Baca juga : Tarik Ulur Pelonggaran dan Pembatasan akibat Covid-19
Dia mencoba mengurangi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikirannya, menenangkan diri, meyakini kata-kata pemerintah soal hidup normal, berdampingan dengan Covid-19, pandemi telah menjadi endemi. Meski tingkat vaksinasi di Singapura telah mencapai 82 persen dari 5,4 juta populasinya, tapi bagi Tan tetap saja hal itu sangat sulit.
Apalagi, per 1 Oktober, Kementerian Kesehatan Singapura mengumumkan 2.909 kasus baru dan delapan warga yang meninggal, angka infeksi tertinggi sejak awal pandemi.
”Kami mencapai target vaksinasi, namun kami bergerak mundur. Statistik berbicara sendiri,” kata Shin Hui Tan, warga Singapura, dalam unggahannya di laman Facebook.
Pemutus arus
Kebijakan Pemerintah Singapura untuk menutup perbatasan, sering disebut sebagai pemutus arus, pada awal pandemi membuat negara itu mampu menjaga dan mengendalikan laju infeksi Covid-19 di bawah dua digit selama hampir satu tahun. Sejak awal pandemi, Covid-19 telah merenggut 93 jiwa.
Di seberang Selat Johor yang sempit, yakni di Malaysia, jumlah kematian dua kali lipat pada satu hari, Rabu (29/9/2021), saja. Di Indonesia, tetangga Singapura lainnya, mengutip data Worldometer, jumlah kematian pada hari yang sama adalah 113 jiwa.
Kemampuan untuk menekan dan mengendalikan laju infeksi membuat Pemerintah Singapura melonggarkan kebijakan pembatasan pada Agustus. Bahkan pelonggaran itu lebih luas setelah vaksinasi melebihi target, 80 persen dari populasi Singapura, pada awal September.
Baca juga : Berkat Sukses Vaksinasi, Singapura Mulai Berani Buka Diri
Akan tetapi, varian Delta yang lebih menular membuat laju infeksi kembali meroket. Rabu lalu, infeksi mencapai 2.258 kasus baru, membuat pemerintah kembali memutuskan melakukan pembatasan sosial. Pemerintah membatasi interaksi sosial hanya bisa dilakukan maksimal dua orang untuk makan di tempat di pusat jajanan (hawker). Sekolah kembali dilakukan secara daring, restoran pun harus kembali membatasi diri. Makan di tempat, yang sempat dibolehkan, kini kembali dilarang.
Kebijakan itu menjadi pukulan lagi bagi industri makanan dan minuman. ”Mereka perlu mengambil keputusan. Saya tidak kecewa karena saya tidak punya harapan,” kata Zheng Feng, manajer restoran.
Pemerintah mengatakan langkah-langkah yang lebih ketat adalah ”istirahat sementara” yang diperlukan untuk mengulur waktu, memperluas kapasitas perawatan kesehatan, mendirikan lebih banyak fasilitas isolasi, menjangkau lebih banyak orang yang tidak divaksinasi, dan mendapatkan suntikan penguat bagi mereka yang membutuhkan.
Baca juga : Cara Singapura Menghadapi Varian Baru Covid-19
Sekitar 300 tempat tidur di ruang perawatan intensif (ICU) dapat disiapkan dalam waktu singkat. Hingga Kamis, 34 pasien Covid-19 dirawat di ICU. Namun, gelombang orang yang tidak divaksinasi atau menolak untuk divaksin dan kemudian terinfeksi bisa membanjiri sistem kesehatan.
Transisi
Pemerintah mengatakan, keputusan untuk melonggarkan pembatasan sosial adalah bagian dari rencana besar mengembalikan situasi kehidupan warga. Laju infeksi dikendalikan seminimal mungkin dan status pandemi Covid-19 diubah menjadi endemi karena pemerintah meyakini virus ini tidak akan hilang dalam waktu cepat. Hidup bersama Covid-19 adalah keniscayaan, seperti halnya warga hidup berdampingan dengan flu dan penyakit yang bersumber pada virus lainnya.
Menteri Keuangan Singapura Lawrence Wong baru-baru ini menegaskan rencana pemerintah soal normalisasi kehidupan warga. ”Kita bergerak maju untuk belajar hidup dengan virus dan kami melanjutkan rencana pelonggaran kembali,” katanya.
Ada bukti rencana itu berhasil. Menurut Kemenkes Singapura, dengan 82 persen populasi Singapura yang berusia di atas 12 tahun telah divaksin, rumah sakit tidak kewalahan. Sebanyak 98 persen kasus baru yang muncul, rata-rata tanpa gejala (OTG) atau dengan gejala ringan. Hanya 0,2 persen pasien terinfeksi memerlukan perawatan intensif dan 0,1 persen meninggal dunia. Dari data statistik Kemenkes itu, 65 persen yang meninggal dunia adalah warga yang tidak divaksinasi atau baru mendapatkan satu dosis vaksin.
Baca juga : Jumlah Kasus Covid-19 Melonjak, Malaysia-Singapura Perketat Protokol Kesehatan
Pelonggaran pembatasan sosial, menurut Tikki Pang, profesor tamu yang mendalami penyakit menular pada Fakultas Kedokteran Yong Loo Lin di Universitas Nasional Singapura (NUS), Pemerintah Singapura diam-diam mengakui bahwa mengurangi kasus menjadi nol bukanlah solusi jangka panjang yang mungkin dilakukan. Sebaliknya, memutuskan untuk memulai kembali secara bertahap ke kehidupan sehari-hari adalah bagian dari rencana jangka panjang normalisasi kehidupan.
”Dalam jangka panjang, kondisi ini benar-benar akan menjadi norma. Saya pikir sebagian besar pemerintah di banyak negara akan menerima kenyataan bahwa virus ini tidak akan hilang. Itu (Covid-19) akan menjadi endemik dan kita hanya harus belajar untuk hidup dengannya seperti flu,” kata Yang, yang juga peneliti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Para pejabat menghitung bahwa pengujian Singapura cukup komprehensif untuk mendeteksi kelompok wabah baru dengan cepat. Vaksinasinya cukup komprehensif untuk mencegah rawat inap yang meluas. Sistem perawatan kesehatannya pun cukup kuat untuk menangani setiap peningkatan pasien.
Yang tidak diduga pemerintah, menurut Pang, adalah varian Delta yang sangat mudah menular, meski sistem pelacakan mampu menemukan infeksi di sekelompok ruang karaoke atau pasar makanan laut yang besar. Varian Delta, kata Pang, tidak mungkin untuk dihentikan.
”Mereka menunda penyebaran varian Delta sedikit, tapi varian itu sudah menyebar di luar sana,” kata Pang, yang tengah berada di Geneva.
Baca juga : Pelajaran Meredam Covid-19 dari Singapura dan Taiwan
Selama sebulan terakhir, ketika Pemerintah Singapura melonggarkan kebijakan dan menyatakan hal ini sebagai bagian dari peralihan menuju ke ”situasi normal baru”, Menteri Kesehatan Ong Ye Kung berusaha meyakinkan seluruh warga Singapura soal rencana ini. Gelombang kenaikan itu memang telah diperkirakan dan bagian dari situasi peralihan. ”Kita berada di jalur transisi menuju kehidupan normal baru dengan Covid-19,” kata Ong.
Otoritas kesehatan Singapura memperkirakan kasus harian bisa melebihi 3.200 kasus pada akhir pekan depan dengan tingkat penyebaran saat ini. Para ahli menambahkan, jumlah kasus bisa mencapai lebih dari dua kali lipat sebelum mulai turun kembali.
Para pejabat mengatakan, jumlah orang yang membutuhkan oksigen dan perawatan ICU ”sesuai harapan”. Namun, pesannya tak selalu sampai.
Banyak warga yang cemas, sebagian besar tanpa gejala atau gejala ringan, datang ke rumah sakit dan menelepon saluran bantuan karena bingung tentang apa yang harus mereka lakukan. Hal ini membuat sistem medis semakin tegang.
Istri Perdana Menteri Lee Hsien Long, Ho Ching, meminta warga untuk bersabar. Menggunakan platform Facebook, dia memberikan penjelasan kepada warga Singapura bahwa pembatasan sosial saat ini tidak seperti tahun lalu yang jauh lebih keras. Dia juga mengingatkan bahwa dengan vaksinasi, Covid-19 tidak lagi menjadi infeksi yang berbahaya.
”Kita yang telah divaksinasi bisa bersabar lebih lama dan memiliki hati untuk mereka yang masih akan divaksinasi,” tulis Ho.
Leo Yee Sin, Direktur Eksekutif Pusat Nasional untuk Penyakit Menular sekaligus Kepala Respons Pandemi Singapura, mengatakan, lonjakan tersebut telah memperkuat bukti bahwa varian Delta memiliki pertahanan terhadap vaksin. Hal itu membuat mereka menentukan pentingnya bagi individu yang berisiko untuk mendapatkan dosis vaksin penguat.
Meski warga sudah divaksinasi lengkap dan tetap terinfeksi, gejala yang ditunjukkan lebih ringan. Bahkan, menurut Sin, orang tanpa gejala tetap membawa jumlah virus yang sama di saluran pernapasan mereka dan dapat dengan mudah menyebarkannya. ”Inilah sebabnya mengapa langkah-langkah manajemen yang aman terus menjadi penting. Jika seseorang mengalami gejala ringan, mereka harus mencari pertolongan petugas kesehatan dan segera dites,” katanya.
Dari pengalaman Tan yang mencoba mendapatkan layanan kesehatan Covid-19, waktu dua hari tetap terasa lama. ”Butuh waktu lama bagi saya untuk datang ke fasilitas karantina ini karena pemerintah berusaha untuk berhati-hati,” katanya.
Meski begitu, Tan bersyukur Singapura memiliki sistem layanan kesehatan yang baik meski harus menunggu dua hari.
Ooi Peng Lim Steven, konsultan senior pada Pusat Nasional untuk Penyakit Menular Singapura, mengatakan, yang dialami Pemerintah Singapura saat ini bisa menjadi peringatan dan pelajaran bagi pemerintah negara lain yang berusaha mencapai keseimbangan antara kehidupan versus ekonomi di tengah pandemi. Kehati-hatian pemerintah untuk memutuskan membuka kembali kegiatan perekonomian dibarengi periode peningkatan kewaspadaan bertahap bisa menjadi acuan untuk membuka kembali perekonomian dan mengakhiri kebijakan pembatasan yang melumpuhkan.
”Kunci pengendalian Covid-19 di negara mana pun adalah menggabungkan vaksinasi, pelacakan kontak, dibarengi peningkatan kesadaran masyarakat untuk hidup bersih, serta protokol kesehatan dalam sebuah sistem yang harus berfungsi,” kata Steven. (AP/REUTERS)