Fumio Kishida terpilih sebagai Perdana Menteri ke-100 Jepang. Ia menghadapi sejumlah masalah menjelang pemilu Jepang. Pandemi Covid-19 menjadi masalah di dalam negeri. China menjadi masalah di luar negeri.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
TOKYO, RABU —- Lewat dua putaran pemilihan pada Rabu (29/9/2021), Fumio Kishida terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokratik Liberal Jepang. Posisi itu akan membuat dia menjadi Perdana Menteri Jepang. Perlambatan ekonomi dan penanganan dampak pandemi Covid-19 menjadi tantangan utamanya di dalam negeri. Di luar negeri, ia harus mengelola ketegangan Jepang dengan segenap negara tetangganya, yakni Rusia, Korea Selatan, Korea Utara, dan China.
Karena Partai Demokratik Liberal (LDP) menguasai majelis rendah dan majelis tinggi Jepang, maka Kishida akan otomatis menjadi perdana menteri. Penetapan Kishida sebagai perdana menteri akan dilakukan lewat rapat paripurna parlemen Jepang pada Senin (4/10/2021). Ia menggantikan Yoshihide Suga yang mengundurkan diri setelah menjadi PM Jepang sejak 16 September 2020.
Kishida mengalahkan tiga calon lain, yakni Taro Kono, Sanae Takaichi, dan Seiko Noda. Kishida terutama disokong para anggota parlemen dari LDP. Sementara Kono terutama disokong petinggi partai.
Setelah terpilih, Kishida berjanji menyatukan seluruh elemen partai untuk menghadapi pemilu guna memilih anggota majelis rendah Jepang. Pemilu harus digelar sebelum November 2021. Adapun pemilu majelis tinggi harus digelar paling telat Juli 2022.
Pemilu akan digelar di tengah ketidakpuasan warga atas cara LDP, partai penguasa di Jepang selama puluhan tahun, atas kondisi mutakhir. Dampak pandemi Covid-19 pada perekonomian menjadi pemicu utama ketidakpuasan itu. ”Demokrasi kita dalam krisis. Warga merasa suara mereka tidak didengar. Saya adalah pendengar yang baik. Kita harus menunjukkan kepada warga bahwa partai kita berubah sehingga mereka mau mendukung kita,” ujar Kishida sebagaimana dikutip Asahi Shimbun dan Kyodonews.
Pernyataan setelah kemenangan itu selaras dengan pernyataan pada masa kampanye. ”Warga merasa LDP tidak mendengar. LDP tengah disorot tajam. Mustahil memulihkan kepercayaan terhadap partai dalam situasi ini. Saya akan mereformasi partai,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Energi muda
Perubahan yang dimaksud Kishida adalah pembatasan masa jabatan pengurus partai. Isu itu penting karena politik Jepang dipenuhi para politisi tua. Bahkan, dalam usia 64 tahun, Kishida tergolong muda di panggung politik Jepang. Selama kampanye, Kishida berjanji melibatkan lebih banyak politisi muda untuk penyegaran partai. ”Saya akan menunjukkan LDP adalah partai yang bisa memperbarui diri dengan energi dari orang muda,” ujarnya sebagaimana dikutip Nikkei.
Salah satu politisi senior Jepang adalah Toshihiro Nikai (82) yang menjadi Sekretaris Jenderal LDP sejak 2016 dan menjadi anggota parlemen sejak 1983. Tidak hanya senior, Nikai juga dikenal sebagai politisi Jepang yang paling dekat dengan China. Nikkei melaporkan, Nikai menjadi salah satu faktor penekan sentimen anti-China di Jepang atau setidaknya di internal LDP.
Janji menyingkirkan politisi tua, termasuk Nikai, membuat Kishida dipandang anti-China. Apalagi selama masa kampanye, ia memang terus menunjukkan sikap keras terhadap China. Selain itu, Kishida juga bergabung dengan faksi nasionalis seperti banyak PM Jepang sebelum dia.
Menanggapi kemenangan Kishida, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, mengatakan bahwa Beijing berharap bisa bekerja sama dengan PM baru Jepang. Beijing ingin meningkatkan hubungan dengan Tokyo. Selama 14 tahun terakhir, China menjadi mitra dagang terbesar Jepang.
Wakil Direktur Kajian Jepang pada China Foreign Affairs University Zhou Yongsheng meyakini Kishida tidak akan benar-benar keras terhadap China. Semua pernyataan selama kampanye dinilai Zhou sebagai retorika untuk menarik suara pemilih.
Zhou antara lain mendasari pendapatnya pada rekam jejak Kishida yang terkenal lunak. Kishida menunjukkan itu selama menjadi menlu dan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan LDP. ”Dia tidak akan benar-benar menerapkan pandangan ekstrem-kanan,” kata Zhou kepada Global Times, media yang dekat dengan Pemerintah China.
Bukan hanya hubungan dengan China, Kishida juga harus mengelola hubungan dengan Rusia, Korsel, dan Korut. Dengan seluruh negara yang berbagi perbatasan itu, hubungan Jepang tidak baik. Dengan Korsel, hubungan Jepang menegang gara-gara rangkaian tuntutan ganti rugi terhadap perusahaan Jepang di sejumlah pengadilan. Dengan Korut, gara-gara Pyongyang terus menguji coba rudal. Sementara dengan China dan Rusia, gara-gara sengketa wilayah.
Selama masa kampanye, Kishida menyatakan akan lebih meningkatkan kerja sama dengan negara-negara demokrasi dan menentang otoritarianisme. Meski tidak menyebut nama negara, banyak pihak menganggap pernyataan itu ditujukan ke Beijing, Pyongyang, dan Mokswa.
Untuk isu di dalam negeri, Kishida pernah berjanji menambah stimulus guna mengatasi dampak pandemi Covid-19 pada perekomian. Akan dibuat pula pusat krisis nasional untuk mengatasi masalah kesehatan.
Isu lain yang menjadi sorotan adalah ketimpangan ekonomi. Pandemi semakin mengungkap ketimpangan itu kala banyak warga Jepang mengantre untuk mendapatkan makanan gratis. Padahal, Jepang menempati urutan ketiga pada daftar negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar. Dengan 5 triliun dollar AS, Jepang berada di bawah AS yang mencatat 21 triliun dollar AS dan China dengan 15 triliun dollar AS.
Sayangnya, kekayaan itu tidak terdistribusi secara merata. Kishida berjanji mereformasi sistem perekonomian untuk menekan kesenjangan tersebut. (AFP/REUTERS)