Indonesia Didorong Perkuat Pengenalan Islam Wasatiyah untuk Memoderasi Afghanistan
Indonesia dinilai memiliki modal besar untuk mendorong pemerintahan yang inklusif di Afghanistan. Islam wasatiyah yang moderat, toleran, dan inklusif dapat menjadi jalan perbaikan keadaan perempuan di negara itu.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·2 menit baca
Dengan pengalaman diplomasi yang sangat panjang, Indonesia dapat berperan besar mendorong pemerintahan Afghanistan yang inklusif di bawah Taliban. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dan komitmen pada demokrasi, Indonesia telah membuktikan Islam dan demokrasi dapat berjalan seiring.
Model diplomasi lain yang telah dijalankan Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar adalah memperkenalkan Islam wasatiyah atau Islam jalan tengah yang adil dan seimbang.
Prof Azyumardi Azra dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah saat berbicara dalam ”Open Mic: Sikap Indonesia untuk Perlindungan Perempuan di Afghanistan” secara daring pada Sabtu (11/9/2021) mengatakan, Pemerintah Indonesia dapat menggunakan diplomasi total, yaitu diplomasi yang melibatkan masyarakat sipil.
Open Mic diadakan oleh Asian Muslim Action Network di Indonesia bersama jaringan masyarakat sipil yang bertujuan memperjuangkan perlindungan bagi hak-hak sipil, budaya, ekonomi, dan politik perempuan Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban. Berbagai organisasi kemasyarakatan dan individu diundang menyampaikan dukungan untuk perlindungan hak-hak perempuan Afghanistan.
Diplomasi total Islam wasatiyah sudah banyak digunakan Indonesia, antara lain, melalui kunjungan Presiden Joko Widodo ke Afghanistan, dialog yang dilakukan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tokoh Taliban, hingga beberapa waktu lalu melalui pertemuan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan perwakilan politik Taliban di Doha. Sebelumnya Indonesia menginisiasi pembentukan Indonesia-Afghan Women’s Solidarity Network oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 29 Februari 2020 dan Perlindungan Anak, serta upaya masyarakat sipil yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Azyumardi menilai Taliban akan mau berdialog dengan Indonesia karena melihat Indonesia tidak memiliki kepentingan geopolitik atau ekonomi terhadap Afghanistan. Hubungan baik antara Indonesia dan Afghanistan yang sudah terbentuk sejak pemerintahan lalu dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memoderasi Islam di Afghanistan di bawah Taliban.
Dalam situasi Afghanistan dan pemerintahan Taliban berada di bawah tekanan ekonomi karena penghentian bantuan dari masyarakat internasional, perempuan dan anak-anak akan mengalami penderitaan terberat. Direktur Mulia Raya Foundation Musdah Mulia mengingatkan, Pemerintah Indonesia bersama masyarakat internasional harus memastikan masa gelap tahun 1996-2001 ketika Afghanistan di bawah Taliban tidak terulang kembali.
Kerentanan perempuan dan anak di Afghanistan disebabkan tidak adanya pemerintah pusat yang stabil. Bahkan, ketika Taliban belum merebut ibu kota Kabul, konflik selalu terjadi di berbagai wilayah di Afghanistan.
Untuk memastikan perempuan Afghanistan mendapatkan hak yang setara atas ekonomi, kebebasan berekspresi, hak politik, dan hak kesehatan, terutama kesehatan reproduksi, penting memastikan perbaikan keadaan perempuan tumbuh dari kebutuhan dan kesadaran rakyat Afghanistan sendiri. Islam wasatiyah yang moderat, toleran, dan inklusif dapat menjadi jalan perbaikan keadaan perempuan.