Perlu Kerja Sama Masyarakat Sipil dan Pemerintah untuk Angkat Isu Kunci
Pengarusutamaan isu-isu kunci hasil kerja kelompok masyarakat sipil perlu diupayakan melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan negara-negara anggota G-20 jelang Presidensi Indonesia tahun depan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak permasalahan tata kelola dunia yang bisa didesakkan kelompok masyarakat sipil dan pemerintah ketika Indonesia menjalani Presidensi Kelompok Negara-negara G-20 yang dimulai pada Desember 2021. Pengambilan keputusan berdasarkan konsensus bersama oleh negara-negara anggota G-20 membuat dialog dan kerja sama antara kelompok masyarakat sipil dari setiap negara menjadi sangat penting agar isu-isu yang muncul menjadi pembicaraan arus utama.
Sebanyak 25 kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam C20 (Civil 20), Selasa (31/8/2021), memperkenalkan beberapa usulan program priotas. Usulan ini diharapkan bisa muncul sebagai pembicaraan arus utama, terutama ketika dunia sedang dalam proses pemulihan pascapandemi.
Isu-isu kunci yang tengah diupayakan untuk masuk dalam agenda pembicaraan arus utama mulai dari krisis iklim dan implementasi ekonomi hijau, permasalahan seputar kegiatan antikorupsi, keuangan dan perpajakan berkelanjutan, hingga isu perempuan dan kelompok marjinal.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan beberapa persoalan yang menjadi diskusi utama organisasi masyarakat sipil. Perhatian mendalam diberikan atas perubahan iklim, transisi energi, hingga isu antikorupsi. Dia menjelaskan, persoalan iklim dan bencana sudah ada di depan mata. Berbagai dampak terjadinya perubahan iklim bahkan sudah bisa dirasakan oleh warga dunia, termasuk warga Indonesia, seperti ketidakteraturan cuaca dan musim.
Beberapa wilayah Eropa dan Asia beberapa waktu lalu merasakan gelombang panas yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan. Bencana itu merenggut ratusan korban jiwa dan menimbulkan kerugian material yang besar. Pada saat yang hampir bersamaan, beberapa negara Eropa, seperti Jerman dan Belgia, serta China merasakan banjir besar yang mengakibatkan kerugian cukup besar.
Berdasarkan banyak studi, menurut Fabby, hal itu disebabkan perubahan iklim yang dipicu kenaikan suhu bumi. ”Kita punya waktu tidak terlalu lama lagi untuk memangkas pertumbuhan emisi gas rumah kaca. Dampak perubahan iklim ini tidak semata masalah ekonomi, tapi juga masalah sosial,” kata Fabby.
Kelompok kerja C20 yang membahas isu transisi energi dan iklim, menurut Fabby, menelurkan empat isu prioritas yang bisa dibahas dalam forum negara-negara G-20 terkait perubahan iklim dan pemulihan ekonomi pascapandemi. Isu itu di antaranya pemulihan ekonomi yang berparadigma ekonomi hijau (green economy) untuk menjaga ketahanan iklim, mitigasi potensi risiko keuangan terutama ketika batubara atau energi fosil tidak lagi menjadi sumber ekonomi primer, pajak karbon, inklusivitas jender dalam akses energi, serta keadilan iklim.
Maria Lauranti, Direktur Oxfam Indonesia, yang mengampu persoalan keuangan, menekankan beberapa hal tentang pajak digital hingga masalah akses vaksin global. Dia mengingatkan, kepatuhan membayar pajak terutama pada kelompok pengusaha berbasis digital akan meningkatkan kemampuan negara untuk membiayai pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyatnya.
Pada saat yang sama, dia juga mengingatkan soal akses vaksin global yang masih sangat timpang antara negara kaya, negara berkembang, dan negara miskin. Begitu pula akses terhadap pelayanan kesehatan oleh kelompok warga miskin dan kelompok rentan.
Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, mengingatkan soal ketimpangan yang dialami kelompok perempuan dan kelompok rentan, tidak hanya dalam situasi normal sebelum pandemi, tetapi juga di masa pandemi.
Dian Triansyah Djani, Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Penguatan Program-program Prioritas yang juga Sherpa G-20 Indonesia, mengatakan, untuk mengarusutamakan sebuah isu, perlu kolaborasi dan komunikasi dengan banyak pihak, mulai dari kelompok masyarakat sipil, pebisnis, hingga pemerintah. Sifat alamiah G-20 yang berbeda dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau organisasi lain memunculkan komunikasi intensif, kesamaan sikap, dan pandangan sehingga keputusan bisa ditelurkan berdasarkan konsensus.
”Ini adalah kerja bersama. Kalau kelompok masyarakat sipil tidak bisa memperjuangkan isu-isu kunci, pemerintah tidak bisa memungut hasilnya,” kata Triansyah Djani.