Kebakaran lahan yang tidak terkendali di Yunani, Turki, dan sebagian California, Amerika Serikat, memaksa warga meninggalkan rumah dan harta bendanya. Para ahli meyakini gelombang panas terjadi karena perubahan iklim.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ATHENA, JUMAT — Ribuan warga melarikan diri, meninggalkan rumah tempat tinggal dan harta benda mereka setelah kebakaran hutan semakin tidak terkendali melanda Yunani, Turki, dan sebagian Negara Bagian California di Amerika Serikat. Dalam beberapa bulan terakhir, sebagian negara Eropa dan Amerika Serikat serta Kanada telah berhadapan dengan gelombang panas yang mematikan, yang menurut para ahli, tidak terlepas dari efek perubahan iklim.
Di Pulau Evia, Yunani, penjaga pantai melakukan operasi besar untuk mengevakuasi warga melalui laut. Menggunakan semua alat transportasi yang ada, baik itu kapal patroli, kapal penangkap ikan, maupun perahu-perahu pribadi, mereka berupaya menyelamatkan penduduk dan wisatawan dari kobaran api yang terus membesar sejak Kamis (5/8) malam hingga Jumat (6/8). Otoritas keamanan terpaksa mengosongkan wilayah Peloponnese yang terletak di utara ibu kota Yunani, Athena, ketika kobaran api menghanguskan hutan pinus di kawasan itu.
”Saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Kita berbicara tentang kiamat,” kata Sotiris Danikas, Kepala Penjaga Pantai Kota Aidipsos, Evia.
Kebakaran di banyak bagian Yunani terjadi karena gelombang panas yang berkepanjangan, menyebabkan suhu melonjak hingga 45 derajat celsius (113 fahrenheit). Ribuan orang telah meninggalkan rumah atau akomodasi liburan mereka akibat gelombang panas ini.
Beberapa negara tetangga di Eropa telah mengirimkan bantuan personel pemadam kebakaran ke Yunani. Personel pemadam asal Swiss, Swedia, Romania, dan Israel telah tiba di wilayah-wilayah yang menjadi pusat kebakaran hebat dan langsung bekerja memadamkan api.
”Negara kami menghadapi situasi yang sangat kritis,” kata Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis Kamis malam. Tidak terkendalinya kebakaran membuat pemerintah menempatkan status siaga tinggi terhadap enam dari 13 wilayah negara itu.
Mengingat tingkat bahaya yang ekstrem, pihak berwenang Yunani mengeluarkan larangan total terhadap setiap kunjungan ke hutan, taman nasional, atau tempat wisata alam hingga Senin.
”Jika sebagian orang masih ragu apakah perubahan iklim itu nyata, biarkan mereka datang dan melihat intensitas fenomena di sini,” kata Mitsotakis, Kamis, saat memeriksa reruntuhan tempat Olimpiade pertama diadakan pada zaman kuno, yang juga terancam oleh api.
Sementara di Turki, kebakaran hutan yang terjadi di wilayah selatan negara itu telah menewaskan delapan orang. Pihak berwenang mengevakuasi enam lingkungan di dekat kota Milas, Provinsi Mugla karena kobaran api telah mendekat ke pusat pembangkit listrik. Total, menurut para pejabat, pemerintah telah mengevakuasi 36.000 penduduk provinsi ini untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman hingga kebakaran usai.
Sejak akhir Juli, sebanyak 208 kebakaran terjadi karena gelombang panas. Menurut kantor kepresidenan Turki, sebanyak 12 di antaranya masih terus berkobar hingga Jumat. Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan menyebut peristiwa kebakaran ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah Turki.
Sementara di Amerika Serikat, kebakaran yang melanda kota Greenville, sebuah kota pertambangan kuno di California, telah menghancurkan sekitar 320.000 acre atau sekitar 129.000 hektar lahan. Dikutip dari laman NBCNews, hanya 35 persen bangunan yang masih berdiri.
Kebakaran di Dixie hanya salah satu dari kejadian yang telah melanda bagian barat AS, sejak pertengahan Juli lalu.
”Kami melakukan semua yang kami bisa. Terkadang hal itu tidak cukup,” kata juru bicara pemadam kebakaran California, Mitch Matlow.
Hampir 5.000 personel terlibat dalam pertempuran untuk menjinakkan kobaran api. Namun, kelembaban yang sangat rendah dan lanskap yang kering menawarkan kondisi yang ideal bagi api untuk mengamuk.
Garis kontrol yang dibuat oleh petugas pemadam kebakaran tak bisa menahan laju kobaran api. Pihak berwenang mengeluarkan lebih banyak perintah evakuasi pada hari Kamis, memberi tahu penduduk kota Taylorsville dan Westwood bahwa mereka harus melarikan diri.
Greenville sendiri tidak asing dengan bencana kebakaran. Kebakaran dahsyat menghancurkan sebagian besar kota pada tahun 1881 dan beberapa kebakaran besar telah mengancam penduduk dalam 140 tahun berikutnya.
Sejumlah ilmuwan yang melakukan studi tentang gelombang panas, dikutip dari laman Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCC), menyatakan, gelombang panas ini berkaitan dengan perubahan iklim yang terus terjadi dan semakin memburuk.
Dr Friederike Otto, salah satu peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, mengatakan, tanpa adanya tambahan gas rumah kaca di atmosfer, dalam statistik dan pemodelan yang mereka miliki, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi. ”Kalaupun hal itu terjadi, kemungkinan terjadinya adalah sekali dalam sejuta kali. Secara statistik setara dengan benar-benar tidak pernah,” katanya, awal Juli lalu.
Dia menambahkan, jika suhu bumi naik 1,5 derajat, peneliti memperkirakan potensi gelombang panas yang parah bisa terjadi kembali lebih tinggi 20 persen pada tahun tertentu. ”Untuk gelombang panas, perubahan iklim adalah pengubah permainan yang mutlak,” kata Otto.
Para peneliti mengatakan, peristiwa belakangan ini menggambarkan kebutuhan mendesak bagi pemerintah, para pengambil kebijakan untuk segera menelurkan kebijakan yang frontal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secepat mungkin. (AP/AFP/Reuters)