Gelombang Panas Super Diperkirakan Bakal Melanda Pertengahan Abad Ini
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pada paruh kedua abad ini bakal terjadi gelombang panas super dan ultra-ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Suhu pada cuaca sangat ekstrem ini hingga 56 derajat celsius.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim telah mengubah sistem Bumi, salah satunya meningkatkan frekuensi dan intensitas gelombang panas. Studi terbaru menunjukkan, jika tren pemanasan global terjadi seperti sekarang, gelombang panas super yang belum pernah terjadi sebelumnya bakal melanda di abad ini.
Penelitian yang dilakukan tim ilmuwan iklim dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara ini dilaporkan dalam jurnal Climate and Atmospheric Science, yang merupakan bagian dari jurnal Nature, pada 23 Maret 2021. Kajian didukung oleh Max Planck Institute, Jerman.
Kajian bertujuan untuk menilai karakteristik gelombang panas yang muncul. Tim peneliti menggunakan data eksisting untuk menyusun model dan proyeksi iklim yang dirancang khusus untuk wilayah geografis tertentu. Mereka kemudian memproyeksikan tren panas di masa depan dan menyusun Indeks Besaran Gelombang Panas.
Untuk menghindari kejadian panas yang ekstrem di wilayah tersebut, para ilmuwan merekomendasikan tindakan mitigasi perubahan iklim segera dan efektif.
”Hasil proyeksi kami, untuk jalur business as usual menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad ini bakal terjadi gelombang panas super dan ultra-ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya,” jelas George Zittis, penulis pertama kajian ini dari Climate and Atmosphere Research Center (CARE-C), The Cyprus Institute, melalui keterangan tertulis.
Peristiwa ini akan memicu suhu yang sangat tinggi, diperkirakan mencapai 56 derajat celsius dan bisa lebih tinggi di beberapa perkotaan. Gelombang panas ini dapat berlangsung selama beberapa minggu sehingga berpotensi mengancam nyawa manusia dan hewan.
Menurut pemodelan mereka, sekitar setengah dari populasi Timur Tengah dan Afrika Utara atau sekitar 600 juta orang dapat terpapar kondisi cuaca ekstrem yang bakal berulang setiap tahun. ”Warga yang rentan mungkin tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang keras,” sebut Jos Lelieveld, Direktur di Max Planck Institute for Chemistry yang memimpin tim peneliti.
Menurut Lelieveld, gelombang panas ini, jika dikombinasikan dengan pendorong ekonomi, politik, sosial, dan demografis regional di Timur Tengah serta Afrika Utara memiliki potensi tinggi untuk menyebabkan migrasi besar-besaran ke daerah yang lebih dingin di utara.
Untuk menghindari kejadian panas yang ekstrem di wilayah tersebut, para ilmuwan merekomendasikan tindakan mitigasi perubahan iklim segera dan efektif. ”Tindakan tersebut termasuk penurunan drastis emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana ke atmosfer. Selain itu, juga penting menyiapkan adaptasi untuk kota-kota di daerah tersebut,” kata Lelieveld.
Diprediksi dalam 50 tahun ke depan, hampir 90 persen populasi yang terpapar di Timur Tengah dan Afrika Utara akan tinggal di pusat kota, yang perlu mengatasi kondisi cuaca yang mengganggu sosial ini. ”Ada kebutuhan mendesak untuk membuat kota lebih tahan terhadap perubahan iklim,” kata Zittis.
Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan titik panas perubahan iklim. Saat ini, beberapa bagian dari kawasan ini telah menjadi salah satu lokasi terpanas secara global, ditambah perubahan iklim hal ini bakal semakin ekstrem.
Meski demikian, sejumlah kajian terpisah juga menunjukkan, dampak pemanasan global pun bisa sangat serius di Asia Tenggara. Misalnya, laporan kajian McKinsey Global Institute (MGI) pada 25 November 2020 menunjukkan, pada 2050, sebanyak 1,2 miliar orang secara global bakal tinggal di daerah yang berpotensi dilanda gelombang panas tahunan. Sebanyak 600 juta di antaranya berada di Asia.
Laporan MGI juga menyebutkan, kejadian curah hujan ekstrem dapat meningkat tiga atau empat kali lipat pada 2050 di berbagai wilayah Asia, termasuk di antaranya Jepang bagian timur, China bagian tengah dan timur, sebagian Korea Selatan, serta Indonesia. Kajian ini menggunakan skenario konsentrasi CO2 Representative Concentration Pathway (RCP) 8.5 di mana suhu global rata-rata bertambah 2,3 derajat celsius pada 2050 dibandingkan dengan era pra-industri 1850.