Asia Tenggara Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim
Kajian terbaru McKinsey Global Institute menyoroti tentang risiko dan respons iklim di Asia. Dengan skenario penghangatan 2,3 derajat celsius pada 2050, sejumlah bencana yang disusul kerugian ekonomi akan menyergap.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim bakal memberikan dampak sosial dan ekonomi sangat besar jika tidak dikelola dengan baik, dan Asia Tenggara merupakan kawasan yang lebih rentan di Asia. Di Indonesia, dampak perubahan iklim di sektor ekonomi terutama terjadi pada kegiatan luar ruangan dan meningkatnya frekuensi serta intensitas bencana hidrometeorologi.
Situasi ini dilaporkan dalam kajian terbaru McKinsey Global Institute (MGI) yang dikeluarkan pada Rabu (25/11/2020). Laporan menyoroti tentang risiko dan respons iklim di Asia. Dengan mengacu pada proyeksi model iklim, peneliti menganalisis bagaimana iklim yang terus berubah bakal menciptakan risiko dan ketidakpastian baru dalam tiga dekade mendatang, dan langkah apa yang dapat diambil untuk mengelolanya.
”Perubahan iklim dan risiko yang dihasilkannya perlu ditampilkan sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan,” kata Jonathan Woetzel, Direktur Institut Global McKinsey.
Menurut dia, laporan ini dibuat untuk memperjelas dan mengukur tingkat risiko fisik sistemik yang saat ini terakumulasi di Asia sehingga dapat diperhitungkan oleh pihak asuransi, investor, pemberi pinjaman, pemerintah, regulator, perusahaan non-keuangan, dan individu untuk membuat keputusan strategis.
Dalam laporan ini, tim MGI menggunakan skenario konsentrasi CO2 Representative Concentration Pathway (RCP) 8.5 di mana suhu global rata-rata bertambah 2,3 derajat celsius pada tahun 2050 dibandingkan era pra-industri tahun 1850. Dengan skenario ini, pada tahun 2050 sebanyak 1,2 miliar orang secara global bakal tinggal di daerah yang berpotensi dilanda gelombang panas tahunan. Sebanyak 600 juta di antaranya berada di Asia.
Asia diperkirakan menyumbang lebih dari dua pertiga penurunan pendapatan global karena berkurangnya jam kerja di luar ruangan akibat peningkatan panas dan kelembaban pada tahun 2050. Selain itu, sedikitnya 75 persen kerugian ekonomi akibat banjir tahunan juga bakal terjadi di Asia.
Laporan ini juga menyebutkan, kejadian curah hujan ekstrem dapat meningkat tiga atau empat kali lipat pada tahun 2050 di sejumlah wilayah Asia, termasuk Jepang bagian timur, China bagian tengah dan timur, sebagian Korea Selatan, dan Indonesia.
Untuk Indonesia, peningkatan risiko sosial ekonomi tertinggi berupa menurunnya produktivitas kerja luar ruangan karena dipengaruhi oleh panas dan kelembaban ekstrem. Risiko kehancuran infrastruktur akibat banjir tahunan dalam kategori menengah, sedangkan dampak terhadap produktivitas panen dan gelombang panas dalam kategori ringan.
Dampak sosial ekonomi dari perubahan iklim diperkirakan meningkat karena ambang batas sistem yang terlampaui. Misalnya, hutan mangrove, yang merupakan penghalang badai alami dan penyimpan serta penyerap karbon, sedang dirusak di Asia Tenggara. Pada tahun 2050, sekitar 35 persen bakau di wilayah tersebut diperkirakan hilang.
Selain itu, laju deforestasi yang tinggi di Asia Tenggara menghilangkan penyerap karbon penting dunia. Sejak 1990, hutan di Indonesia menurun 20 persen dan di Myanmar penuruannya sebesar 19 persen.
Dekarbonsiasi
Selain menjadi kawasan paling terdampak, Asia juga berkontribusi besar dalam mencegah laju perubahan iklim karena benua ini menyumbang 45 persen total emisi global saat ini, yaitu mencapai 32,170 metrik ton setara CO2. Data tahun 2016, China menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Asia dengan 16.064 metrik ton setara CO2, India 5.520 metrik ton setara CO2, Indonesia 2.904 metrik ton setara CO2, dan Jepang 1.363 metrik ton setara CO2.
Kajian ini merekomendasikan agar negara-negara di Asia melakukan transformasi dari batubara ke energi terbarukan karena energi fosil ini menyumbang 90 persen dari emisi listrik di wilayah tersebut. Selain itu, Asia perlu melakukan dekarbonisasi operasi industri, misalnya emisi baja dan semen di Asia yang menyumbang 80 persen dari emisi CO2 global.
Berikutnya, perlu mentransformasikan pertanian dan kehutanan, yang jika digabungkan, menyumbang 10 persen emisi CO2 di Asia dan lebih dari 40 persen emisi CH4 (metana). Untuk Indonesia, kajian ini menyarankan adanya dukungan kepada penduduk yang bermata pencarian di pertanian, selain mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Sebelumnya, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik, menilai, komitmen Indonesia dalam penurunan emisi diragukan menyusul keluarnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Hal ini dinilai berpotensi meningkatkan deforestasi sehingga mengancam upaya penurunan emisi dari kehutanan. Padahal, dalam Kesepakatan Paris, Indonesia menyatakan target penurunan emisi 29 persen yang 17,2 persen berasal dari sektor hutan dan lahan (Kompas, 20 November 2020).
Data konsentrasi gas rumah kaca di Stasiun Global Atmosphere Watch Bukit Kototabang, Sumatera Barat, menunjukkan, konsentrasi CO2 di Indoenia terus meningkat. Pada 2014, konsentrasi CO2 berkisar 395-400 bagian per juta (ppm) dan tahun 2020 menjadi 405-410 ppm.
Tren peningkatan gas rumah kaca ini berkontribusi terhadap peningkatan suhu dan juga perubahan pola iklim. Kajian Ketua Divisi Meteorologi, Klimatologi, dan Oseanografi Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Siswanto, berdasarkan data suhu di Jakarta hasil pengamatan selama 146 tahun (1866-2012) menunjukkan peningkatan suhu rata-rata 1,6 derajat celsius. Menurut dia, peningkatan suhu ini memicu perubahan pola hujan dan peningkatan cuaca ekstrem.