Suramnya Harapan Masa Depan Generasi Z Afghanistan
Sejak kelompok Taliban berkuasa lagi, generasi Z di Afghanistan mulai mengkhawatirkan masa depannya. Mereka memang tak pernah hidup di masa Taliban, tetapi mereka mendengar cerita tidak menyenangkan dari orangtuanya.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Baru pekan lalu, Salgy (20) senang bukan kepalang karena berhasil lolos ujian masuk perguruan tinggi di Afghanistan tahun ini. Ini tak mudah karena pesaingnya sampai 200.000 siswa. Demi masuk universitas, Salgy belajar terus di kamar dan tidak pernah ke mana-mana selama berbulan-bulan, bahkan terkadang sampai lupa makan.
Ketika hasilnya diumumkan di televisi, seluruh keluarganya ikut menonton dan bersukaria begitu namanya disebut lolos ujian. Kerja kerasnya membuahkan hasil. ”Saya merasa mendapatkan kado terbaik. Ibu saya sampai menangis saking senangnya. Saya juga ikut menangis,” kata Salgy.
Namun, perasaan bahagia itu berubah menjadi kekhawatiran setelah kelompok Taliban menguasai Afghanistan kembali, 15 Agustus lalu. Kini, Salgy merasa masa depannya mendadak buram karena tidak tahu apa yang akan terjadi. ”Saya merasa menjadi orang yang paling beruntung sekaligus paling tidak beruntung sedunia,” ujarnya.
Hampir dua pertiga warga Afghanistan berusia di bawah 25 tahun. Ini artinya, hampir seluruh generasi di negeri itu tidak ingat saat kelompok Taliban pernah berkuasa di Afghanistan sejak tahun 1996 hingga digulingkan pada tahun 2001. Pada masa itu, kelompok Taliban memaksakan pemberlakuan hukum Islam yang ketat, melarang anak-anak perempuan bersekolah, melarang perempuan bekerja, dan melakukan eksekusi di hadapan publik. Sejak 2001, kelompok Taliban berperang melawan kelompok-kelompok bersenjata hingga ribuan orang tewas.
Setelah kembali menguasai Afghanistan, kelompok Taliban segera menyatakan kepada para siswa bahwa urusan pendidikan mereka tidak akan terganggu. Kelompok Taliban juga berjanji akan menghormati hak-hak perempuan dan meminta kalangan profesional berbakat tidak meninggalkan Afghanistan. Pasalnya, pikiran dan tenaga mereka dibutuhkan untuk membangun kembali Afghanistan yang hancur akibat konflik selama puluhan tahun.
Kembalinya kekuasaan kelompok Taliban membuat generasi Z khawatir kebebasan mereka akan terenggut. Apalagi, karena mereka sudah terbiasa hidup dengan telepon genggam, musik pop, dan pergaulan tanpa pembatasan antara laki-laki dan perempuan. ”Saya sudah punya banyak impian dan rencana untuk 10 tahun ke depan. Kami punya harapan untuk hidup, harapan akan perubahan. Tetapi, hanya dalam seminggu, mereka merampas semua harapan dan impian. Sekarang semuanya sia-sia,” kata Sosan Nabi (21).
Hapus jejak
Pada hari Afghanistan jatuh ke tangan kelompok Taliban lagi, Javid (26) buru-buru pulang ke rumah dari kampus tempatnya bekerja setelah lulus kuliah. Ia lalu menghapus semua isi surat elektronik dan pesan-pesan di media sosial yang menunjukkan komunikasinya dengan berbagai organisasi dan pemerintah asing, khususnya dari Amerika Serikat. Ia juga membakar semua sertifikat yang didapat dari program-program pembangunan yang dibiayai AS yang dia ikuti.
Banyak warga Afghanistan yang bekerja pada organisasi-organisasi asing berusaha keluar dari Afghanistan selama dua pekan terakhir ini, termasuk anak-anak muda. Mereka memang tidak merasakan hidup di masa kelompok Taliban berkuasa, tetapi mereka mendengar cerita dari orangtua mereka. Itu cukup membuat mereka ikut takut. Anak-anak muda baru benar-benar melihat anggota kelompok Taliban saat mereka berpatroli keliling jalanan kota Kabul.
Selain takut tak aman, anak-anak muda juga khawatir kebebasan mereka akan terenggut. Bank Dunia menyebutkan, tingkat partisipasi siswa di jenjang pendidikan menengah naik dari 12 persen pada tahun 2001 menjadi 55 persen pada tahun 2018. Selain itu, ada sekitar 170 stasiun radio, 100 koran, dan puluhan stasiun televisi di Afghanistan. Ketika dulu kelompok Taliban berkuasa, hanya ada satu stasiun radio yang dikuasai pemerintah dan hanya menyiarkan pengajian, khotbah, dan ajaran-ajaran keagamaan.
Sejak kelompok Taliban tak berkuasa, penggunaan telepon genggam dan internet juga melonjak sehingga akses ke dunia luar terbuka lebar. ”Teknologi informasi sudah jadi bagian dari hidup kami. Kalau mau rileks, kita tinggal cari hiburan dan kami bisa mencari berita apa saja. Saya tidak mau kehilangan itu,” kata Elaha Tamim (18) yang baru mau masuk kuliah.
Hak perempuan
Bukan hanya warga Afghanistan yang mengkhawatirkan nasib anak-anak perempuan di Afghanistan, melainkan juga seluruh dunia. Menurut Bank Dunia, jumlah anak perempuan di sekolah dasar naik dari nol persen saat kelompok Taliban berkuasa menjadi lebih dari 80 persen. Kelompok Taliban berjanji akan menghormati hak perempuan dengan memperbolehkan anak-anak perempuan tetap bersekolah. Meski sudah ada janji itu, Javid mengaku banyak teman perempuan di kampusnya yang sudah tidak datang ke kampus karena takut.
”Saya dibesarkan di lingkungan yang bisa hidup bebas, bisa sekolah, bisa bebas keluar rumah, dan lain-lain. Ibu saya pernah cerita saat hidup susah dan menderita di masa Taliban. Cerita-ceritanya menyeramkan,” kata Tamim.
Ammar Yasir, anggota kelompok Taliban di Doha, sempat memberikan ucapan selamat kepada Salgy melalui Twitter karena berhasil diterima kuliah. Salgy hanya berharap bisa mewujudkan impiannya menjadi dokter meski masa depannya kini buram. ”Kalau Taliban memperbolehkan anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan yang tertinggi dan tidak membuat batasan-batasan, itu sudah bagus. Kalau tidak, hidup saya hancur,” kata Salgy.
Banyak orang yang ingin segera keluar dari Afghanistan, tetapi tidak tahu caranya sehingga mau tak mau terpaksa tetap tinggal. Naby tidak akan meninggalkan Afghanistan jika situasinya tidak akan berubah saat kelompok Taliban tidak berkuasa. Anak-anak muda lain pun pasti akan mau begitu, pikir Naby. ”Tetapi, kan, kita semua tahu, bukan begitu kenyataannya,” ujarnya. (REUTERS)