Nasib Perempuan Afghanistan Pasca-September Jadi Tanda Tanya
Nasib kaum perempuan Afghanistan menjadi tanda tanya setelah pasukan AS dan koalisi ke luar dari negara itu pada September nanti. Sejumlah pihak merasa masa depan kaum perempuan suram.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Keputusan Presiden Amerika Serikat Joe Biden meninggalkan Afghanistan pada September mendatang memberikan konsekuensi besar pada kehidupan warga, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Tanda tanya mengenai nasib perempuan mengemuka apabila Kelompok Taliban berkuasa di negara itu jika pemerintahan sipil sekarang tidak memperoleh mandat yang cukup dari rakyat.
Keputusan Pemerintah AS di bawah arahan Presiden Joe Biden yang memutuskan angkat kaki dari Afghanistan akan menjadi bahan pertanyaan bagi para anggota parlemen AS ketika mereka meminta keterangan Utusan Khusus Pemerintah AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, Selasa (27/4) waktu setempat atau Rabu (28/4) waktu Indonesia.
Anggota Kongres banyak di antaranya skeptis tentang rencana untuk membawa pulang 2.500 tentara yang tersisa. Mereka khawatir kepergian AS akan membuat Taliban mengambil alih negara itu dan mengulang lagi masa kekuasaan mereka tahun 1996-2001 yang sangat membatasi gerak perempuan Afghanistan.
Di bawah Taliban, perempuan tidak bisa mengakses pendidikan dan layanan publik. Mereka menjadi warga negara kelas dua tanpa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam mayoritas kegiatan publik yang patriarkis. Dibandingkan dengan kaum laki-laki, kaum perempuan rentan terhadap aturan hukum, termasuk di dalamnya cambuk dan rajam.
Masuknya pasukan AS dan koalisi untuk mengejar pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, membuat Taliban tersingkir dari pemerintahan. Sejak saat itu, komunitas internasional telah mengucurkan miliaran untuk pembangunan Afghanistan, yang membuka akses pendidikan dan kehidupan publik bagi perempuan dan anak perempuan. Hal itu sering kali disebut sebagai salah satu keberhasilan AS dan koalisi.
Dikutip dari laman The New York Times, untuk mempromosikan hak-hak perempuan di Afghanistan, Pemerintah AS mengucurkan dana hingga 780 juta dollar AS. Hasilnya, sebanyak 40 persen dari jumlah siswa secara keseluruhan adalah perempuan. Kaum perempuan juga bisa menjalani karier sebagai anggota militer dan polisi, penyanyi, atlet yang berlaga di Olimpiade, dan bahkan menjadi anggota tim pembuat teknologi robot yang dikenal dunia.
Senator Jeanne Shaheen, senator Demokrat yang bertugas di Komite Hubungan Luar Negeri AS dan merupakan satu-satunya anggota perempuan di komite tersebut, mengatakan, Khalilzad tidak menjadikan keberadaan kaum perempuan sebagai prioritas yang cukup dalam proses pengambilan keputusan. Dia mengatakan, terlalu banyak ketidakpastian tentang rencana Afghanistan setelah 11 September untuk mengetahui apakah hak-hak perempuan akan dilindungi.
”Mereka setidaknya menyadari ini adalah masalah, yang merupakan permulaan. Saya pikir penting bagi kami untuk terus melakukan semua yang kami bisa,” kata Shaheen.
Senator Demokrat Bob Menendez, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri, mengatakan, setelah mengikuti dan mendengar pengarahan komite yang bersifat rahasia pada pekan lalu, dia memiliki kekhawatiran yang sama dengan koleganya, Shaheen. Dia khawatir tentang keberkelanjutan kepastian hak-hak perempuan dan minoritas Afghanistan terlindungi.
Senator Republik Lindsey Graham meyakini Taliban akan menutup sekolah dan lagi-lagi memberlakukan pembatasan keras kepada wanita.
Mantan Presiden AS George W Bush, yang mengirim pasukan AS ke Afghanistan pada 2001, juga khawatir. ”Reaksi pertama saya adalah: Wow. Gadis-gadis ini akan mendapat masalah nyata dengan Taliban,” kata Bush dalam sebuah acara di Stasiun Televisi NBC.
Firoz Uzbek Karimi, tenaga pendidik pada Universitas Faryab di utara, mengawasi sekitar 6.000 mahasiswa. Separuh dari jumlah itu adalah perempuan.
Dia mengaku mendengar cerita dari sejumlah tentang ancaman Taliban jika remaja perempuan memilih bersekolah dibandingkan dengan diam di rumah.
”Pelajar perempuan yang tinggal di daerah Taliban telah diancam beberapa kali, tetapi keluarga mereka mengirim mereka secara diam-diam,” kata Karimi. Dia tidak membayangkan masa depan anak didiknya jika pasukan AS dan koalisi meninggalkan Afghanistan. ”Jika pasukan asing pergi lebih awal, situasinya akan menjadi lebih buruk,” ujarnya.
Sementara menurut Farzana Ahmadi (27), seusai lulus dari bangku kuliah di Universitas Kunduz, cita-citanya adalah bekerja di kantor pemerintah. Kini hal itu terwujud. Jika pasukan AS dan koalisi benar-benar meninggalkan Afghanistan, menurut Ahmadi, dia akan membawa cita-citanya ke liang kubur. (Reuters)