Undang-Undang Keamanan Data China Bikin Pusing Perusahaan
Pemerintah China menerapkan kontrol ketat terhadap industri internet di negara itu. Per 1 September, Undang-Undang Keamanan Data akan berlaku efektif. Tujuannya, antara lain, memaksa transparansi kegiatan di internet.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BEIJING, JUMAT — Pemerintah China per 1 September 2021 akan menerapkan Undang-Undang Keamanan Data guna merombak industri daring di negara itu yang oleh pemerintah dinilai tidak sehat secara sosial ataupun ekonomi. Akan tetapi, kurang dari sepekan aturan itu berlaku efektif, pemerintah belum mengeluarkan pedoman ataupun petunjuk teknis sehingga perusahaan-perusahaan daring kebingungan.
Undang-undang (UU) tersebut menegaskan bahwa setiap perusahaan harus menerapkan pengelolaan data secara transparan. Mereka juga harus membuka kejelasan penyimpanan data dan penggunaannya. Transparansi juga berlaku untuk pihak ketiga, termasuk sejauh mana pihak ketiga bisa mengakses data.
Ada dua kategori yang ditetapkan oleh Pemerintah China, yaitu kategogi data nasional dan data penting. Permasalahannya, pemerintah belum mengeluarkan penjelasan mengenai definisi kedua kategori itu sehingga perusahaan-perusahaan kebingungan harus memasukkan data mereka ke kategori mana. Padahal, di dalam UU Perlindungan Data disebutkan, kesalahan mengelola data bisa digugat pidana atau denda hingga 10 juta yuan atau sekitar Rp 22 miliar.
”Kebingungan ini membuat perusahaan-perusahaan tidak bisa bergerak. Mereka takut maju kena dan mundur kena. Akibatnya, belum ada perubahan signifikan di pengelolaan data,” kata Nicolas Bahmanyar, konsultan firma hukum LEAF di Beijing, Jumat (27/8/2021).
Pemerintah China menilai perkembangan industri internet di negera itu telah mencapai kondisi yang tidak sehat, baik secara ekonomi, sosial, maupun psikologis. Pemerintah mengkhawatirkan data yang dikumpulkan oleh perusahaan swasta diperjualbelikan ke pihak ketiga, terutama di negara asing. Hal ini memunculkan risiko serangan siber.
Pemerintah juga akan meluncurkan UU Perlindungan Data Pribadi per 1 November 2021 yang akan melengkapi UU Keamanan Data. Perbedaannya, UU Perlindungan Data Pribadi khusus menyasar perlakuan perusahaan daring terhadap warganet.
”Tujuan UU Perlindungan Data Pribadi ialah agar perusahaan secara terbuka mengakui bahwa mereka memakai algoritma yang membaca pola selancar setiap warganet. Perusahaan wajib memberikan pilihan kepada warganet untuk mematikan algoritma ini setiap kali mereka membuka situs internet,” kata Kepala Badan Pengelolaan Siber China Zhuang Rongwen kepada kantor berita nasional Xinhua.
Zhuang memaparkan, perusahaan internet menggunakan algoritma untuk membaca kebiasaan warganet. Dari situ didapat data yang menggambarkan kegemaran setiap warganet. Perusahaan kemudian mengarahkan warganet untuk berbelanja atau mengakses situs lain yang sesuai minat masing-masing.
Tindakan ini ilegal karena memanipulasi warganet dan menjebak mereka, bukan atas kehendak dan seizin warganet secara sadar. ”Ini memunculkan pola belanja yang tidak sehat. Selain itu, juga muncul monopoli oleh perusahaan-perusahaan besar,” tuturnya.
Zhuang tidak menyebut nama. Akan tetapi, beberapa bulan belakangan, Pemerintah China mengincar raksasa-raksasa teknologi Alibaba, Tencent, dan Didi atas tuduhan monopoli iklan, manipulasi warganet, dan penumpukan kekayaan sehingga mengakibatkan semakin melebarnya jurang kesenjangan sosial.
Perombakan juga terjadi di industri aliran tayangan daring (streaming). Perusahaan yang terkena imbasnya ialah iQiyi, yaitu versi China dari perusahaan tayangan daring Netflix. Mereka dipaksa menghentikan kontes idola Youth for You yang sangat populer. Pemerintah mengatakan bahwa tayangan ini merusak mental masyarakat sekaligus berbahaya bagi pesertanya.
Kontes ini menampilkan para peserta menjalani pelatihan yang keras dan oleh sejumlah masyarakat dinilai tidak manusiawi karena melelahkan dan berjam-jam. Apalagi ada peserta yang berusia di bawah 17 tahun. Selain itu, Partai Komunis China juga menyalahkan media sosial dan media tayangan daring sebagai penyebab kultus pemujaan idola. Padahal, idola-idola yang diusung tidak memiliki sikap dan watak sesuai nilai sosialisme China.
Aturan-aturan baru di China ini memunculkan berbagai reaksi di luar negeri. Media khusus teknologi dan internet Tech Crunch, misalnya, menulis analisis hal ini kemungkinan membuat perusahaan-perusahaan asing enggan berinvestasi di China atau mengizinkan perusahaan China berinvestasi di luar negeri. Di samping itu, data tersebut juga disimpan oleh Pemerintah China. Sejauh ini, Pemerintah China tidak terbuka dengan rencana mereka terkait pengelolaan data. (AFP/REUTERS/DNE)