China Terus ”Menertibkan” Perusahaan Teknologi
Perusahaan teknologi China, seperti Alibaba, Didi, ataupun Tencent, mendapat teguran dari Pemerintah China. Tekanan itu terus berlanjut.

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas
Beberapa waktu lalu sejumlah perusahaan teknologi China, seperti Alibaba, Didi, dan Tencent, mendapat teguran dari Pemerintah China. Rupanya tidak hanya mereka.
Kabar terbaru perusahaan teknologi di bidang pendidikan, pengantaran makanan, dan hiburan pun ”ditertibkan” oleh otoritas setempat. Kita masih bertanya, apa yang sebenarnya terjadi? Sampai kapan China akan melakukan langkah drastis ini?
Pekan ini perusahaan-perusahaan teknologi di bidang layanan pendidikan diminta untuk melakukan reformasi karena sektor pendidikan sudah dibajak oleh modal. Layanan teknologi pendidikan yang disebutkan bernilai sekitar 100 miliar dollar AS itu diharapkan bisa kembali menjadi lembaga nirlaba. Mereka juga tidak boleh untuk mendapatkan pendanaan dan melakukan penawaran saham. Kebijakan ini membuat kelesuan baru di kalangan usaha rintisan.
Industri yang juga disentil oleh Pemerintah China adalah industri pengantaran makanan. Mereka diminta untuk memberi pendapatan minimum bagi para pengantar makanan sesuai dengan aturan wilayah tempat mereka bekerja. Platform diminta untuk membangun mekanisme distribusi pendapatan berdasarkan beban pekerjaan dan detail pekerjaan. Mereka mengingatkan agar perusahaan teknologi tidak hanya mendasarkan perhitungan pendapatan pada algoritma.
Setelah merger dua perusahaan di bawah Tencent yang dibatalkan, induk perusahaan ini kembali berurusan dengan otoritas China. Mereka diminta untuk menghentikan hak eksklusif pengaliran musik di platform. Perusahaan ini juga harus membayar denda sebesar setengah juta yuan atau sekitar 77.000 dollar AS. Mereka dianggap melanggar sejumlah aturan dan dituduh sangat jarang melakukan pelaporan ke otoritas.

Suasana di kantor pusat Tencent di Shenzhen, Guangdong, China, 28 Mei 2021. China terus melakukan tekanan keras pada sejumlah perusahaan teknologi besar di negara itu.
Usai pembatalan penawaran saham perdana Ant Group yang merupakan anak perusahaan Alibaba, kemudian keharusan perusahaan transportasi Didi hengkang dari pasar aplikasi, serta merger dua perusahaan pengaliran video milik Tencent, rupanya China terus melakukan tindakan terhadap perusahaan teknologi. Publik terus mempertanyakan alasan tindakan otoritas China itu.
Meski banyak gosip telah beredar, publik masih belum mengetahui alasan tindakan otoritas secara pasti. Investor global maupun lembaga pendanaan ventura tengah cemas menunggu.
Baca juga: China Makin Keras ”Menggebuk” Perusahaan Teknologi
Laman BBC pada Mei lalu pernah memberitakan tentang peringatan pejabat China terhadap 34 perusahaan teknologi pascatindakan terhadap Alibaba. Salah satu sumber mengatakan, ”Biarkan Alibaba menjadi peringatan bagian kalian (perusahaan teknologi).” Sebenarnya kalangan perusahaan teknologi sudah menyadari tentang teguran ini. Namun, rupanya tidak cukup sekadar sadar. Mereka harus menghentikan sejumlah bisnis mereka.
Laman The Washington Post menyebutkan beberapa alasan otoritas China melakukan penertiban meski alasan sebenarnya tetap saja tidak jelas. Seperti biasa, para pemimpin China tidak banyak bicara tentang alasan mendasar mengenai tindakan mereka. Mereka hanya memberikan alasan-alasan umum, seperti tentang perlindungan konsumen dan menjaga stabilitas keuangan. Jawaban itu tidak memuaskan investor dan publik.
Sejumah analis dan investor melontarkan berbagai teori seperti kemungkinan regulator ingin menegaskan kembali kekuatan pengawasan mereka. Mereka yang berkuasa mungkin frustrasi dengan kesombongan para miliarder teknologi dan ingin memberi pelajaran terhadap mereka. Tentu saja Pemerintah China ketar-ketir melihat Alibaba, Tencent, dan Ant memiliki kapitalisasi pasar gabungan yang pada tahun lalu bernilai hampir 2 triliun dollar AS. Jumlah ini melampaui perusahaan raksasa milik negara, seperti Bank of China Ltd.

Maskot Ant Group dipajang di kantor perusahaan itu di Hong Kong, 23 Oktober 2020. Grup yang terafiliasi dengan Alibaba itu batal melakukan IPO pada Oktober tahun lalu setelah adanya tekanan dari otoritas.
Kecemasan lebih besar adalah tentang peran otoritas, birokrasi, dan partai di tengah perkembangan perusahaan teknologi. Perusahaan teknologi tidak hanya berkembang di China, tetapi juga di luar negeri. Mereka juga berhubungan dengan investor dari berbagai negara. Ada saham yang dimiliki juga oleh investor. Partai Komunis semakin khawatir tentang pengaruh yang tumbuh dari perusahaan teknologinya. Sebagian besar di antara mereka adalah entitas swasta di mana Pemerintah China memiliki sangat sedikit kendali langsung.
Tanggapan yang senada muncul dari Jude Blanchette, analis tentang China di lembaga kajian Center for Strategic and International Studies. Blanchette yang dikutip laman CNBC mengatakan, sejak 30 tahun terakhir ketika China membuka diri, mereka telah berulang kali membuat contoh dalam memperingatkan perusahaan dengan menyampaikan pesan seperti ini: ada tingkat kebebasan yang luas untuk perusahaan dan mereka yang menghasilkan uang, tetapi pada dasarnya, kita harus menyadari ada garis politik yang perlu mendapat perhatian.
”Ungkapan yang selama ini dikenal adalah, ’Bunuh ayam untuk menakuti monyet’,” kata Blanchette, yang melihat pernyataan awal yang sudah beberapa waktu lalu dikeluarkan oleh otoritas China sebenarnya merupakan sebuah peringatan. Dengan melihat perusahaan-perusahaan yang muncul belakangan ini dan dengan tindakan pengawasan yang baru-baru ini dilakukan oleh otoritas, dalam perspektif Beijing, mereka telah membuat sebuah dosa politik. Rambu-rambu itu sepertinya telah dilanggar oleh beberapa perusahaan teknologi.
Baca juga: Cambridge Analytica, Pegasus, dan Teknologi Pengancam Demokrasi
Langkah keras China menimbulkan ancaman terhadap masa depan dan cara-cara berbisnis perusahaan teknologi. Selama ini perusahaan teknologi berkembang secara agresif dengan menggunakan modal besar untuk menyubsidi harga atau layanan dalam merebut pangsa pasar. Selanjutnya mereka mungkin bingung untuk mencari cara baru. Langkah China juga berpotensi memiliki konsekuensi serius bagi kepercayaan investor yang lebih luas dan juga tujuan pembangunan China itu sendiri.
”Ini adalah unjuk kekuatan dari Pemerintah China, dengan mengatakan, ’Kami akan menggulung raksasa teknologi ini dan perilaku nakal mereka’,” kata Prof Michael Sung, salah satu pendiri Fudan Fanhai Fintech Research Center di Universitas Fudan Shanghai, yang dikutip di laman Time. Sung beralasan, saat ini kekuatan perusahaan teknologi sudah cukup besar dan bila terus melaju dan membesar lagi maka memiliki risiko sistemik.

Seorang sopir membuka aplikasi angkutan daring Didi di Beijing, China, 2 Juli 2021. Euforia penawaran perdana saham Didi hanya bertahan sebentar karena tekanan dari Pemerintah China.
Informasi lain berdasarkan publikasi dari media Pemerintah China, langkah itu dilakukan karena mereka menekankan perlunya fokus pada keamanan data. Mereka melihat sisi keamanan nasional yang harus mendapat perhatian. Beijing tidak akan mengizinkan perusahaan teknologi yang malah menjadi pembuat aturan untuk pengumpulan dan penggunaan informasi pribadi. Di sinilah otoritas kemudian masuk.
”Standar harus ada di tangan negara untuk memastikan bahwa raksasa teknologi berhati-hati dalam mengumpulkan informasi pribadi,” salah satu komentar yang dimuat di laman CNN. Ia menambahkan bahwa China tidak boleh membiarkan raksasa teknologi mana pun menjadi basis data super untuk informasi pribadi orang China. Perusahaan itu bahkan berpotensi memiliki data lebih detail daripada negara dan berpotensi menggunakan data itu sesuka hati.
Perlindungan data juga memicu perdebatan di media sosial di China, yakni banyak pengguna menyerukan peraturan yang lebih ketat pada perusahaan teknologi untuk melindungi data pribadi mereka.