Dalam 200 Hari sejak Kudeta Militer, Lebih dari 1.000 Orang Tewas
Kelompok aktivis membuat daftar lengkap korban tewas akibat kekerasan junta militer Myanmar. Terhitung lebih dari 1.000 orang tewas sejak kudeta pada 1 Februari 2021.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
YANGON, KAMIS — Aparat keamanan Myanmar dilaporkan membunuh lebih dari 1.000 warganya dalam waktu 200 hari terakhir sejak kudeta 1 Februari 2021. Junta militer dilaporkan terus melanjutkan tindakan keras untuk meredam oposisi yang menentang perebutan kekuasaan dari pemerintahan sipil demokratis pimpinan Aung San Suu Kyi.
Kantor beria AFP, mengutip laporan sebuah kelompok advokasi kemanusiaan, menyebutkan, jumlah korban tewas di tangan pasukan junta mencapai 1.006 orang, Rabu (18/8/2021). Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) itu memverifikasi jumlah korban tewas dan orang-orang yang ditangkap secara massal oleh aparat keamanan junta.
AAPP telah membuat daftar lengkap para korban tewas. Mereka mencantumkan identitas lengkap, mulai dari nama, usia, hari kematian atau pembunuhan, lokasi pembunuhan, nama, nomor tahanan (jika mati di dalam tahanan), alamat, hingga foto wajah mereka. Data yang detail itu mesti menyulitkan aparat junta.
Myanmar telah berada dalam kekacauan sejak kudeta 1 Februari. Angkatan bersenjata saat itu merebut kekuasaan dari Suu Kyi yang kemudian memicu unjuk rasa besar-besaran di seluruh negeri. Junta meresponsnya dengan kekerasan bersenjata yang mematikan ketika rakyat menuntut pemulihan demokrasi. Namun, hingga saat ini para pemimpin militer yang menguasai politik dan ekonomi bergeming.
Selama Juli lalu, menurut situs berita The Irrawaddy, sedikitnya 92 warga sipil dibantai oleh rezim termasuk remaja, aktivis mahasiswa, pengunjuk rasa, anggota Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan anggota keluarga mereka, pengamat, pejalan kaki, dan penduduk desa. Berita ini merujuk laporan AAAP, kelompok yang memantau korban pembunuhan dan kekerasan pascakudeta.
Jumlah kematian pada Juli itu termasuk korban pembantaian terhadap 40 orang di kubu perlawanan Myanmar di kota Kani, wilayah Sagaing, selama penggerebekan ke desa-desa. Menurut The Irrawaddy, junta meningkatkan operasi militer untuk memberangus gerakan perlawanan sipil.
Penduduk desa yang melarikan diri dari operasi mengatakan, ketika kembali ke desa, mereka menemukan hampir 40 mayat, termasuk seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dan 11 pria lainnya yang ditangkap oleh tentara junta pada 26 Juli dan 27 Juli. Jumlah tahanan yang tewas karena disiksa terus meningkat. Sebanyak 10 orang tewas dalam tahanan selama 1,5 bulan terakhir.
Mg Aung Aung Lwin (22) dari Shwedaung di Distrik Pyay, wilayah Bago, yang ditahan pada 28 Juni, tewas disiksa di dalam ditahan. Dia ditangkap setelah seorang terduga kolaborator militer mengatakan kepada pihak berwenang bahwa korban telah mengecam pemimpin kudeta, yang kini pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Pasukan rezim memberi tahu keluarga bahwa Mg Aung Aung Lwin meninggal karena pendarahan, tetapi jenazahnya dikremasi tanpa izin keluarga untuk melihatnya. Di distrik yang sama, Ko Soe Min (35), ayah dari dua anak, ditahan di rumahnya di Kotapraja Pyay, 29 Juni, setelah seorang kolaborator menuduh dia menghancurkan sebuah bangunan umum. Dia tewas akibat penyiksaan.
Korban tewas bulan ini termasuk Pi Ngeih Tling (60) yang ditembak mati di dada di rumahnya oleh tentara junta di Falam, Negara Bagian Chin. Begitu juga U Maung Htay (55) yang meninggal di Penjara Myingyan, Mandalay, setelah ditangkap karena menjamu pengunjuk rasa pemuda.
Anggota Komite Eksekutif Pusat Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), U Nyan Win; Maung Maung Nyein Tun (45), dosen bedah di Departemen Bedah Universitas Kedokteran Mandalay; dan anggota parlemen terpilih NLD U Nyunt Shwe, yang juga merupakan ketua kantor NLD Kotapraja Bago, meninggal setelah terinfeksi Covid-19 di penjara bulan ini.
Banyak yang percaya, alih-alih menahan virus Covid-19 di dalam penjara, rezim menggunakannya sebagai senjata melawan musuh. Lebih dari 7.300 orang, termasuk pemimpin terpilih, anggota partai NLD, komisioner pemilu, dokter, pengunjuk rasa, jurnalis, penulis, artis, dan warga sipil telah ditahan. Tidak ada yang merasa bahagia bersama rezim junta saat ini, selain rasa takut.
Pasukan keamanan melakukan operasi dari rumah ke rumah untuk memastikan ada atau tidak warga yang melawan junta. Aparat junta merespons dengan tindakan keras, menggunakan peluru tajam terhadap warga sipil. Namun, gerombolan anti-junta—beberapa di antaranya telah membentuk kelompok pembelaan diri—masih turun ke jalan setiap hari dalam pawai kilat.
”Selama militer berkuasa, mereka akan terus membunuh pemuda, profesional seperti dokter dan guru, pria, wanita, dan anak-anak,” kata Sekretaris Gabungan AAPP Ko Bo Gyi.
”Mereka tidak hanya membunuh hidup kita, tetapi juga masa depan negara dan harapan demokrasi,” kata Ko Bo Gyi. Anggota AAPP, yang disebut sebagai organisasi ”pelanggar hukum” oleh junta, saat ini bersembunyi dan melakukan pemantauan secara diam-diam.
”Ini angka yang diverifikasi oleh AAPP. Jumlah kematian sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi,” kata AAPP ketika mendokumentasikan 27 warga sipil yang terbunuh pada hari-hari sebelum mereka merilis laporan terbaru pada Senin lalu. Saat itu mereka menyebut 998 orang tewas.
Terlepas dari pembunuhan dan penangkapan, orang-orang di seluruh Myanmar terus turun ke jalan untuk memprotes pemerintahan militer. Mereka menuntut kembalinya pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis pada 2015, yang menjadikan Suu Kyi pemimpin negara itu. Mereka juga menuntut dikembalikannya pemerintahan hasil pemilu demokratis November 2020 yang dimenangi NLD, tetapi dituduh curang oleh junta.
Junta telah berulang kali membenarkan kudeta dengan menuduh kecurangan yang meluas dalam pemilu tahun lalu dan melaporkan angka kematian warga sipil yang jauh lebih rendah. Junta juga mengatakan pada Juni lalu, lebih dari 90 anggota pasukan keamanan telah tewas dalam bentrokan.
Pemimpin terguling Suu Kyi menghadapi tuntutan hukum, mulai dari pemilikan walkie-talkie ilegal hingga melanggar undang-undang rahasia negara. Hlaing telah dilantik sebagai perdana menteri dari pemerintahan ”penjaga” yang oleh junta dijuluki Dewan Administrasi Negara. (AFP/AP/REUTERS)