Krisis Myanmar menjadi tragedi kemanusiaan yang masih terus berlarut-larut. Sampai saat ini, puluhan anak-anak tewas. Sementara ribuan anak-anak lainnya kehilangan berbagai hak dasar sekaligus masa depan mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NAYPIDAW, SABTU — Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) mengeluarkan laporan yang menyebutkan puluhan anak-anak tewas dan lebih dari 1.000 anak-anak ditangkap sejak kudeta militer terjdi di Myanmar, Februari 2021. Apabila situasi di Myanmar tidak segera pulih, anak-anak Myanmar memiliki risiko fisik, psikologis, dan emosional setelah kehilangan masa depan yang sehat dan produktif.
”Anak-anak terpapar kekerasan tanpa pandang bulu. Menjadi korban penembakan acak dan penangkapan sewenang-wenang setiap hari. Mereka (militer) menodongkan senjata ke mereka (anak-anak) dan melihat hal yang sama terjadi pada orang tua dan saudara mereka,” kata Mikiko Otani, Ketua Komisi Hak Anak (Committee on the Rights of the Child/CRC) OHCHR, dalam pernyataannya, Jumat (16/7/2021).
CRC adalah komisi pada OHCHR yang memantau kepatuhan negara untuk melaksanakan Konvensi Hak Anak. Myanmar telah menyetujui konvensi ini sejak 1991.
Komite yang terdiri dari 18 ahli independen tersebut mengecam terbunuhnya anak-anak oleh militer dan polisi saat Tatmadaw membabat gerakan pembangkangan nasional yang masif di banyak kota di Myanmar. Dalam catatan CRC, tidak sedikit korban anak-anak tewas terbunuh di rumah mereka, termasuk seorang anak perempuan yang baru berusia enam tahun di kota Mandalay. Dia tewas karena peluru menerjang tubuhnya saat dalam pelukan sang ayah.
CRC menyesalkan tindakan sewenang-wenang aparat keamanan yang menangkap anak-anak di kantor polisi ataupun penjara militer. Penangkapan itu sengaja dilakukan untuk sandera ketika mereka tidak berhasil menangkap orangtuanya.
Salah satu di antara anak-anak yang digunakan sebagai sandera adalah anak perempuan berusia lima tahun. Ayah anak tersebut ikut membantu gerakan pembangkangan dengan terlibat mengorganisasi protes terhadap junta Myanmar.
Selain menyoroti masalah pembunuhan dan penangkapan anak-anak, CRC juga menyoroti hilang atau minimnya akses anak-anak terjadap kebutuhan dasar. Misalnya air minum dan makanan yang aksesnya hilang atau minim setelah serbuan militer Myanmar ke daerah-daerah perdesaan yang selama ini menjadi lumbung pangan negara itu.
Demikian pula dengan infrastruktur dasar. Laporan CRC menyebutkan, militer junta melakukan pendudukan terhadap rumah sakit dan sekolah. Akibatnya, akses anak-anak terhadap kesehatan dan pendidikan menjadi terganggu.
Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), akibat konflik berkepanjangan, 1 juta anak di Myanmar urung mengikuti program vaksinasi vital. Selain itu, 40.000 anak Myanmar tidak lagi mendapat pengobatan untuk mengatasi kondisi gizi buruk yang mereka alami.
40.000 anak Myanmar tidak lagi mendapat pengobatan untuk mengatasi kondisi gizi buruk yang mereka alami.
”Akibat kudeta dan konflik militer, hak anak untuk hidup, bertahan hidup, dan berkembang telah berulang kali dilanggar,” kata Otani.
CRC menyerukan kepada rezim di Myanmar untuk segera mengakhiri krisis dengan damai. CRC juga mendesak rezim untuk menegakkan Konvensi Hak Anak guna melindungi dan mempromosikan hak-hak anak ke tingkat yang paling tinggi.
Krisis Myanmar berawal dari kudeta junta militer pada 1 Februari 2021 terhadap pemerintah sah hasil pemilihan umum per November 2020. Sebagai respons, masyarakat melakukan protes terhadap kudeta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing tersebut.
Pemerintah junta militer kemudian mengadapi gelombang unjuk rasa dengan cara-cara represif. Situasi dengan cepat berkembang menjadi krisis politik dan keamanan. Dalam perjalanannya, krisis makin parah dengan tumbuhnya perlawanan bersenjata yang melibatkan sejumlah kelompok etnis di Myanmar.
Berdasarkan data Asosiasi Pendampingan bagi Tahanan Politik per 17 Mei, 5.281 orang ditangkap, didakwa, dan dihukum sejak kudeta. Sebanyak 914 orang mati terbunuh.
Pertemuan para pemimpin Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta, 24 April, menghasilkan lima konsensus yang intinya mendorong penyelesaikan krisis Myanmar secara damai. Namun, konsensus menjadi macan kertas. Sementara ASEAN masih gagal menunjuk utusan khusus. Krisis masih berlangsung. (AFP/MHD)