Dalam tempo lebih cepat dari kalkulasi awal, Taliban kembali menguasai Afghanistan. Mencegah perang saudara dan pertumpahan darah harus jadi prioritas saat ini.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tanpa mengalami kesulitan, kelompok Taliban pada Minggu (15/8/2021) menguasai ibu kota Kabul, simbol kekuasaan di Afghanistan. Tayangan televisi memperlihatkan, mereka dengan membawa senapan AK-47 menduduki meja kerja Presiden Ashraf Ghani di Istana Kepresidenan. Ghani kabur ke luar negeri. Taliban menyatakan memulihkan pemerintahan Emirat Islam Afghanistan, pengganti Republik Islam Afghanistan yang mereka sebut sebagai ”boneka asing”.
Di tengah transisi kekuasaan, suasana di dalam kota Kabul dilaporkan relatif tenang. Sempat ada sedikit kepanikan saat warga beramai-ramai menarik uang dari mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Tak ada baku tembak seperti saat perang memperebutkan kontrol atas ibu kota itu tahun 1992-1996, yang menelan korban lebih dari 25.000 orang, sebagai awal pemerintahan represif Taliban, lima tahun kemudian.
Suasana kaos terjadi di Bandara Internasional Kabul, satu-satunya jalan keluar dari Afghanistan mengingat seluruh pintu perbatasan darat telah jatuh ke Taliban. Ribuan warga memadati bandara, saling berebut naik pesawat, untuk meninggalkan Afghanistan. Ada memori saat lima tahun (1996-2001) diperintah Taliban, mereka hidup penuh tekanan dan ketakutan. Kekhawatiran ini sulit dihilangkan meski Taliban kini berjanji lebih moderat dan inklusif, termasuk memberi amnesti bagi pegawai pemerintahan lama dan bekerja sama dengan internasional.
Sebuah video viral memperlihatkan kejadian tragis: warga berlarian mengejar pesawat angkut C-17 milik Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) yang bergerak di landasan pacu bandara. Sebagian bergelantungan di bagian bawah pesawat. Dua dari sedikitnya tujuh orang dilaporkan tewas dalam insiden itu, terlempar setelah bergelantung di bagian roda pesawat. Pemandangan ini membangkitkan kenangan drama evakuasi warga dengan helikopter di atap gedung saat jatuhnya Saigon, kini Ho Chi Minh City, tahun 1975, penanda berakhirnya perang Vietnam dan simbol kekalahan AS.
Kini setelah kekuasaan di Afghanistan berganti rezim, dunia menanti seperti apa wajah negeri itu di bawah Taliban. Taliban diharapkan tidak hanya memenuhi janjinya, berubah dari caranya memerintah tahun 1996-2001, tetapi juga mengubah pendekatan dan bahasa kekerasan menjadi pendekatan kerja sama dan inklusif serta mengayomi semua elemen masyarakat. Hanya dengan cara ini, perang saudara dan pertumpahan darah bisa dicegah.
Bagi dunia internasional, yang terjadi lebih dari empat dekade terakhir di Afghanistan memberi pelajaran, formula dan campur tangan asing mana pun tak akan menyelesaikan persoalan di negara itu. Persoalan Afghanistan, termasuk penyelesaian politik transisi kekuasaan saat ini, hendaknya dikelola oleh orang Afghanistan, seperti pernyataan Kementerian Luar Negeri RI, ”dilakukan melalui Afghan-owned, Afghan-led”.