JK: Afghanistan Tak Akan Jatuh dalam Perang Saudara
Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla kenal baik dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan Kepala Kantor Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar. Kepada Kalla, keduanya berjanji menyelesaikan konflik secara damai.
Oleh
SUHARTONO, MH SAMSUL HADI, DAN PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, optimistis meskipun ibu kota Kabul jatuh ke tangan kelompok Taliban, Afghanistan tak jatuh ke dalam pertumpahan darah dan perang saudara. Kalla, mewakili Pemerintah RI, beberapa kali terlibat dalam perundingan dan berbicara langsung dengan Presiden Ghani dan para petinggi Taliban.
”Baik Taliban maupun Pemerintah Afghanistan sama-sama meyakini bahwa mereka bersaudara dan tidak akan saling memerangi negara yang sudah ditinggalkan oleh tentara Amerika Serikat,” ujar Kalla, Minggu (15/8/2021).
Pada Minggu (15/8/2021), Taliban telah memasuki Kabul dan meminta penyerahan diri tanpa syarat oleh pemerintahan Ghani. Kelompok itu memperkirakan transfer kekuasaan terjadi beberapa hari ke depan. Dua pejabat mengungkapkan kepada kantor berita Associated Press, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah meninggalkan negerinya.
”Saya kenal baik dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan Kepala Kantor Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar. Januari lalu saya bertemu di Afghanistan dan Pak Baradar di Qatar, mereka akan berupaya menyelesaikan secara damai konflik di Afghanistan yang sudah berjalan 30 tahun,” kata Kalla.
”Mereka juga sudah bilang tidak akan mengusik kantor-kantor kedutaan besar di Afghanistan, apalagi Kedubes RI,” kata Kalla, Minggu malam.
Baradar yang kini memiliki peran penting di kelompok Taliban, tambah Kalla, sudah beberapa kali bertemu dengannya. ”Selain di Qatar, saya dua kali bertemu di Afghanistan dan juga di rumah dinas saya waktu saya Wapres. Jadi, saya yakin janji mewujudkan Afghanistan yang damai dan sejahtera pasti akan diperjuangkan oleh Baradar jika memimpin Afghanistan,” kata Kalla.
Minggu kemarin, helikopter pemerintah mondar-mandir di atas Kabul. Sebuah helikopter mendarat di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Zona Hijau, Kabul, diduga untuk mengevakuasi para diplomat dan staf kedutaan.
Para staf dan diplomat AS dan Uni Eropa (UE) berjuang menyelamatkan diri. ”Anggota tim ’inti’ AS bekerja dari Bandara Kabul,” kata seorang pejabat AS. Seorang pejabat aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengatakan, beberapa anggota staf UE telah dievakuasi ke lokasi yang lebih aman dan amat dirahasiakan di ibu kota Kabul. Situasi di Kabul semakin mencekam.
Ceko juga menyetujui rencana untuk mulai menarik staf Afghanistan dari kedutaan mereka di Kabul setelah mengangkut para diplomatnya ke Bandara Internasional Kabul. Beberapa negara lain juga mengambil langkah darurat untuk pengamanan para diplomat dan stafnya.
Jerman, Minggu, menutup kedutaan besarnya di Kabul. ”Situasi keamanan telah memburuk secara drastis. Kedutaan Besar Jerman di Kabul ditutup pada 15 Agustus,” kata Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin di situs web-nya. Berlin menyerukan warga Jerman untuk meninggalkan Afghanistan.
Masa depan Afghanistan
Kalla mengatakan, dunia kini menantikan masa depan Afghanistan setelah Taliban berkuasa. ”Bisa saja karena AS dan Eropa tidak akan membantu ekonomi, infrastruktur dan lainnya di Afghanistan, Taliban akan menggandeng China. Afghanistan itu memiliki sumber daya alam yang luar biasa sehingga China pasti melirik. Kemarin saya dengar juga Pak Baradar juga sudah bertemu dengan wakil Pemerintah China,” kata Kalla.
”Saya harapkan Afghanistan terbuka dengan kerja sama dengan negara-negara lain yang tidak punya kepentingan politik, tetapi kerja sama perekonomian,” ujarnya.
”Indonesia punya peran penting di Afghanistan dalam menjajaki perdamaian kemarin sehingga Pemerintah Indonesia juga harus mendukung upaya damai sekarang saat Taliban memimpin Afghanistan,” kata Kalla.
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia ikut terlibat secara intensif dalam mengupayakan perdamaian di Afghanistan. Tidak hanya terlibat langsung dalam Konferensi Proses Kabul II pada Februari 2018, yang dihadiri Wapres Kalla dan beberapa pejabat tinggi lainnya, Indonesia juga menindaklanjuti konferensi itu dengan menggelar forum tripartit antara ulama Indonesia, Pakistan, dan Afghanistan di Bogor, 11 Mei 2018.
Konferensi Proses Kabul II diikuti perwakilan 25 negara, tokoh, dan ulama, sebagai platform perundingan damai di Afghanistan. Salah satu tawaran yang diajukan Presiden Ghani saat itu untuk mewujudkan perdamaian dengan Taliban adalah mengakui Taliban sebagai partai politik di negara itu. Ghani menyerukan gencatan senjata dan setelah itu Taliban bisa menjadi partai serta ikut pemilu.
Pertemuan di Jakarta
Taliban menolak tawaran Ghani karena berpandangan bahwa pemerintahan yang dipimpin Ghani adalah pemerintahan boneka asing. Saat itu Kalla menyebut salah satu kerumitan persoalan di Afghanistan adalah bagaimana pemerintah Afghanistan mengajak kelompok Taliban dalam pemerintahan. Pertemuan tripartit antara ulama Indonesia, Pakistan, dan Afghanistan pada tahun 2018 itu diharapkan bisa merangkul kelompok Taliban agar bersedia masuk dalam pemerintahan Afghanistan.
Harapan sempat muncul ketika Abdul Ghani Baradar, Kepala Kantor Politik Taliban yang juga salah satu pendiri Taliban di Afghanistan, datang ke Jakarta bersama sejumlah ulama Afghanistan, Juli 2019. Mereka diterima Kalla di rumah dinas Wapres. Pertemuan diselingi dengan shalat Magrib berjemaah di Masjid Sunda Kelapa, yang terletak di depan rumah dinas Wapres, dan makan malam bersama.
”Abdul Ghani Baradar datang ke Jakarta karena memang ingin sekali melihat suasana damai dan bagaimana kita mewujudkan perdamaian itu. Mereka juga ingin negerinya aman dan damai seperti kita,” ujar Kalla saat itu. (Kompas, 30 Juli 2019)
Titik balik signifikan terjadi pada Februari 2020 ketika Taliban menjalin kesepakatan dengan Pemerintah AS di Doha, Qatar. Sesuai kesepakatan itu, AS sepakat untuk menarik pasukan dari Afghanistan dengan syarat Taliban tidak akan membiarkan Afghanistan dijadikan pangkalan teroris untuk menyerang AS. Washington mulai menarik pasukannya dari Afghanistan sejak Mei lalu dan diharapkan tuntas pada akhir Agustus ini.
Selama proses penarikan pasukan AS dan mitra koalisinya, negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), berlangsung, kelompok Taliban terus merebut penguasaan wilayah di Afghanistan dari pasukan pemerintah. Laju mereka sudah tak terbendung lagi. Pada hari Minggu (15/8/2021), pasukan Taliban telah memasuki ibu kota Kabul dan menduduki Istana Kepresidenan.
------------
Catatan Redaksi:
Artikel ini telah diperbarui dengan menambahkan peran Indonesia dalam diplomasi upaya solusi damai di Afghanistan dan dengan penambahan nama penulis (by line). Pembaruan artikel dilakukan pada Senin, 16 Agustus 2021, jam 11.40 WIB. Terima kasih -- Redaksi