Menghitung Detik di Kabul
Pada Juli 2021, CIA menaksir Kabul akan dikuasai Taliban pada Desember 2021 atau Januari 2022. Sementara pada 12 Agustus 2021, taksirannya dipangkas menjadi paling lama pada November 2021.
Butuh paling singkat 15 jam terbang dari Washington DC, Amerika Serikat ke Kabul, Afghanistan. Walakin, ketegangan di kawasan Bibi Mahru, Kabul terasa sampai ke dua gedung di pinggir Sungai Potomac, Washington DC.
Sepanjang pekan kedua Agustus 2021, sebagian pegawai di Pentagon di barat Potomac dan Gedung Harry S Truman di timur Potomac terus memantau perkembangan di Bibi Mahru. Pada Kamis (12/8/2021) siang, Pentagon akhirnya mengumumkan pengiriman 4.000 tentara dari sejumlah pangkalan di AS ke Kabul. Kantor pusat Departemen Pertahanan AS itu juga memerintahkan hampir 4.000 tentara AS di Kuwait disiagakan untuk sewaktu-waktu berangkat ke Kabul.
Baca Juga: Kabul di Ambang Jatuh ke Taliban, AS-Inggris Mulai Evakuasi Warganya
Pada Jumat (13/8/2021) malam waktu Kabul atau Sabtu dini hari WIB, sebagian pasukan dari AS sudah mendarat di Kabul. Tugas mereka membantu proses evakuasi pegawai pemerintah dan warga AS dari Afghanistan. Washington juga akan mengevakuasi ribuan warga Afghanistan yang pernah bekerja untuk pasukan dan Pemerintah AS.
Sebagian dari hampir 1.500 pegawai Kedutaan Besar AS sudah berada di bandara Kabul. Sebagian lain sedang menjalankan perintah dari Gedung Harry S Truman, kantor pusat Departemen Luar Negeri AS.
Para anggota staf yang tersisa di kedutaan diperintahkan menghancurkan aneka dokumen dan benda di rubanah kedutaan. Bahkan, bendera dan lambang negara AS juga harus dihancurkan demi menghilangkan peluang benda-benda itu dipakai sebagai alat propaganda seandainya kompleks kedutaan dikuasai pihak lain.
Penghancuran aneka dokumen dan benda sensitif merupakan prosedur standar di perwakilan diplomatik berbagai negara menjelang evakuasi. Suka atau tidak, AS harus mengevakuasi para pegawainya dari Kabul seiring laju serangan Taliban.
Sementara dokumen dan benda sensitif di kedutaan dihancurkan, pegawai di Gedung Harry S Truman diminta bergabung dengan satuan tugas untuk operasi dukungan khusus bagi kedubes AS di Kabul yang disebut tengah dalam situasi terancam. Satuan tugas itu siap bekerja 24 jam per hari sampai krisis di Kabul selesai. Permintaan dikeluarkan Pelaksana Tugas Direktur Layanan Keamanan Diplomatik Deplu AS Carlos Matus.
Washington menjalankan beberapa taktik bersamaan soal kedutaannya di Kabul. Sembari menyiapkan evakuasi, Washington terus berkomunikasi dengan Taliban. Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, dilaporkan berupaya membujuk Taliban untuk tidak menduduki kompleks kedutaan jika milisi mereka menguasai Kabul.
Pada Juli 2021, CIA menaksir Kabul akan dikuasai Taliban pada Desember 2021 atau Januari 2022. Sementara pada 12 Agustus 2021, taksirannya dipangkas menjadi paling lama pada November 2021.
Bahkan, sebagian menduga Taliban akan menduduki Kabul pada September 2021 atau 20 tahun sejak menara kembar WTC di New York runtuh karena serangan Al Qaeda. Serangan itu menjadi alasan AS menyerbu Afghanistan pada 2001.
Baca Juga Taliban Tetap Bersekongkol dengan Al Qaeda
Setelah 19 tahun menduduki Afghanistan dengan ribuan tentara, AS akhirnya keluar dan menyisakan 650 tentara di Kabul sampai 11 Agustus 2021. Penarikan pasukan AS dan sekutunya secara mendadak membuat pasukan Pemerintah Afghanistan nyaris tidak berdaya.
Hingga Sabtu (14/8/2021), milisi Taliban menduduki ibu kota 18 provinsi dari 34 provinsi di Afghanistan. Bahkan, lima di antaranya diterobos Taliban pada Jumat saja. Dari 421 distrik di negara itu, sedikitnya 200 distrik dikendalikan Taliban. Kini hampir seluruh wilayah di sekitar Kabul dikendalikan Taliban. Hanya tersisa jalur darat ke Pakistan.
Kemarahan Warga
Di beberapa daerah, pegawai dan pasukan pemerintah menyerah begitu saja kepada milisi Taliban. Bahkan, banyak regu aparat menyerahkan persenjataan dan markas mereka kepada milisi Taliban. Sejumlah pihak menyebut, pegawai dan aparat pemerintah menyerah agar tidak dibunuh Taliban.
”Kami ditelantarkan, rasanya seperti dijual begitu saja,” kata seorang perempuan di Kandahar, provinsi yang ibu kotanya dikendalikan lagi oleh Taliban pada Jumat.
Ia marah sekaligus cemas. Marah karena merasa pemerintah dan aparat dinilai tidak bertanggung jawab gara-gara menyerah. Ia cemas karena mengenang periode kekuasaan Taliban pada 1996-2001. Kala itu, perempuan sama sekali dilarang keluar rumah kecuali didampingi kerabat pria.
Banyak perempuan disiksa dan dibunuh Taliban di muka umum gara-gara sekolah atau tidak mengenakan pakaian berwarna hitam yang menutup seluruh bagian tubuh. Bagi Taliban, perempuan harus tinggal di rumah.
Trauma itu kembali terulang, antara lain di Herat dan Kandahar. Sejumlah perempuan yang tengah bekerja di Azizi Bank, Kandahar, dipaksa milisi Taliban pulang ke rumah. Taliban mengantarkan kerabat pria para perempuan itu untuk bekerja di bank. Padahal, pria-pria itu tidak tahu apa-apa soal bekerja di bank. ”Saya belajar sendiri bahasa Inggris dan komputer,” kata Noor Khatera (43), salah seorang perempuan yang dipaksa Taliban berhenti bekerja di Azizi Bank.
Baca juga Perang Saudara Berlanjut, Afghanistan Berisiko Menuju Negara Gagal
Insiden serupa terjadi di Herat. Kejadian itu membuat semakin banyak pihak meragukan komitmen Taliban pada perdamaian yang melibatkan perempuan. Dalam rangkaian perundingan dengan berbagai pihak, Taliban memang selalu berkelit saat ditanya soal jaminan hak perempuan.
Gangguan Logistik
Bukan hanya perempuan yang cemas, banyak pria pun khawatir jika Taliban kembali berkuasa. Karena itu, mereka mencoba melawan lewat bergabung dengan milisi pendukung pemerintah. Masalahnya, pasukan pemerintah pun terbukti tidak kuasa menahan laju serangan Taliban.
Menteri Dalam Negeri Afghanistan Abdul Satar Mirzakwal mengatakan, logistik menjadi penyebab utama pasukan pemerintah kewalahan. Taliban menguasai berbagai jalan raya. Pasokan logistik dan persenjataan ke pasukan pemerintah hanya dapat dilakukan dari udara.
Persoalannya, selama ini mayoritas pasokan udara dilakukan oleh AS dan sekutunya. Kala AS dan sekutunya mundur mendadak, pasokan itu terganggu sehingga persenjataan dan amunisi serta logistik terbatas. ”Helikopter kami terbatas dan semua sedang sibuk,” ujarnya.
Keterbatasan itu antara lain diungkap Gubernur Wardak, Lawang Faizan. Pada April 2021, ia mulai merekrut milisi dan mendapatkan 300 orang. Sayangnya, hanya ada senjata dan amunisi bagi 100 orang. ”Mereka siap dan loyal, sayangnya senjata tidak ada,” ujarnya.
Pada akhir Juni 2021, hanya 167 dari 200 pesawat dan helikopter tentara Afghanistan bisa dipakai. Mayoritas pesawat dan helikopter ada di Kabul dan Kandahar. Sayangnya, pangkalan udara Kandahar sudah dikuasai Taliban. Tidak diketahui berapa banyak pesawat dan helikopter di pangkalan Kandahar.
Juru Bicara Pentagon John Kirby berkali-kali mengaku cemas peralatan perang AS dikuasai Taliban. Dalam 3,5 bulan terakhir, Taliban sudah menguasai banyak kendaraan tempur darat yang ditinggalkan AS di Afghanistan. Mereka merebutnya dari berbagai pangkalan pasukan pemerintah atau bekas pangkalan AS.
Peneliti Project on Government Oversight, Dan Grazier, menyebut, tentara Afghanistan dibentuk dengan cara yang salah. Mereka dilatih dengan cara AS. Padahal, mereka tidak punya peralatan dan dukungan dana operasional sebanyak tentara AS. ”Sejak awal kita salah. Tidak ada yang mengerti karakter lokal dan memasukkan pengetahuan itu dalam proses (pembentukan tentara Afghanistan),” katanya.
Baca Juga: Taliban Rebut 8 Ibu Kota Provinsi dalam 6 Hari Pertempuran
Dampak kesalahan itu terlihat sejak 14 April 2021 kala Presiden AS Joe Biden mengumumkan pasukan AS akan ditarik sepenuhnya dari Afghanistan. Dimulai lewat serangan serentak di tujuh provinsi pada 4 Mei 2021, Taliban kini terus menguasai berbagai wilayah di Afghanistan.
Di berbagai daerah, terus tersiar aparat menyerah atau melarikan diri sehingga Taliban bisa menambah kendali wilayah. Milisi Taliban, yang menurut laporan berbagai pihak, dibantu pula oleh berbagai kelompok teroris, terus menyerbu dan semakin dekat ke Kabul.
Senator Repulikan Mitch McConnell menyebut, masih ada waktu mencegah AS kembali dipermalukan, seperti di Saigon, Vietnam. Ia merujuk pada evakuasi dari atap kedutaan besar AS di Saigon kala pasukan Viet Cong memasuki kota itu pada 1975. Evakuasi itu terus dikenang sebagai sejarah memalukan bagi AS.
Untuk mencegah itu, McConnell mendesak Biden memerintahkan serangan udara besar-besaran ke Taliban. Hanya serangan udara AS bisa menahan laju Taliban ke Kabul. Jika tidak, hanya soal waktu sebelum Taliban kembali menguasai Kabul. (AP/AFP/REUTERS)