Tari perut sudah menjadi bagian tak terpisahkan dan identitas Mesir. Diawali dari tradisi ungkapan kesetiaan kepada dewa di era Mesir kuno hingga komersialisasi untuk mendukung industri pariwisata Mesir saat ini.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Kamis (12/8/2021) sekitar pukul 20.00, kapal pesiar Crystal bergerak secara perlahan dari tempat bersandar di tepi Sungai Nil untuk menjelajah sungai yang membelah kota Kairo itu. Hanya beberapa saat setelah kapal bergerak pelan di atas arus Sungai Nil yang tenang, tiba-tiba muncul seorang perempuan mengenakan gaun warna hijau yang sangat minim. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk disertai senyuman yang indah. Bagian perut dan dada dibiarkan terbuka.
Ia menari-nari dengan menggoyang-goyangkan perut dan pinggul mengikuti alunan musik instrumental yang seirama dengan goyangannya.
Penumpang kapal yang cukup padat secara cepat serta spontan kompak mengeluarkan telepon seluler dari saku mereka dan segera memotret atraksi perempuan menari-nari dengan goyangan perut dan pinggul cukup ekstrem itu. Suasana pun semakin riuh rendah. Beberapa penumpang berdiri untuk merekam adegan tarian perempuan itu dengan kamera video ponsel.
Sang penari kian menggoda dengan goyangan-goyangan perut dan pinggul yang semakin ekstrem untuk memancing reaksi penumpang kapal.
Upaya sang penari pun tak sia-sia. Tepuk tangan bergemuruh dari penonton langsung membahana memecah ketenangan suasana Sungai Nil di malam itu. Mereka tersihir, terkesima oleh penampilan irama indah tarian perempuan tersebut.
Sang penari semakin bersemangat. Beberapa kali ia mendekati langsung penonton dan menari di dekat mereka. Ada penonton yang berdiri dan ikut menari mendampingi perempuan itu seolah-olah sebagai duet penari.
Itulah adegan tari khas Mesir, yang juga disebut tari timur dan kemudian populer dengan sebutan tari perut. ”Bagi saya, menari adalah hobi yang saya jalani sejak kecil. Saya senang dengan profesi menari ini,” ungkap Sarah (40), sang penari perut, seusai menari kepada Kompas.
”Saya sangat bahagia karena penonton sangat antusias melihat penampilan tarian saya tadi,” kata Sarah.
Ia mengungkapkan, dirinya baru satu tahun bekerja sebagai penari perut di kapal pesiar Crystal. Sebelumnya, ia bekerja di kapal pesiar lain.
Tradisi warga
Warga Mesir memiliki tradisi menggelar tari perut dalam berbagai acara kebahagiaan, seperti pesta perkawinan, pesta ulang tahun, atau acara kebahagiaan apa pun. Mudah ditemukan di Mesir, di kota ataupun di desa, setiap ada acara kebahagiaan selalu tampil seorang perempuan yang menari sambil menggoyang-goyang perutnya secara sederhana.
Sang perempuan itu hanya menari secara sederhana dengan pakaian lengkap, sekadar menjalankan tradisi mereka. Disebut tari perut karena unsur menonjol dalam tarian itu adalah menggoyangkan perut meski secara sederhana.
Namun kemudian, tradisi tari perut menjelma menjadi industri dengan mencetak penari-penari profesional yang memiliki teknik tinggi dalam tarian itu. Model pakaian penari pun diubah, dari semula dengan pakaian tradisional lengkap menjadi hanya berpakaian sangat minim untuk mengundang semakin banyak penonton yang membawa keuntungan secara bisnis.
Tempat pertunjukan tari perut yang populer bergeser pula, dari acara-acara pesta perkawinan dan hari ulang tahun ke kapal-kapal pesiar di Sungai Nil, gedung teater, dan restoran kelas atas. Kini, cukup mudah menonton tari perut di Kairo. Kapal-kapal pesiar di Sungai Nil setiap malam menyuguhkan hiburan tari perut dan tarian lain dengan harga tiket cukup terjangkau pada saat pandemi seperti sekarang.
Tiket kapal pesiar yang berlayar selama dua jam dengan hiburan tari perut dan tarian lainnya plus makan malam sekitar 20 dollar AS saat pandemi. Sebelum pandemi, harga tiket kapal pesiar di Sungai Nil berkisar 40-50 dollar AS.
Evolusi panjang
Tari perut sesungguhnya sebuah tarian indah hasil evolusi panjang dari era Mesir kuno, kemudian berlanjut pada era Dinasti Fatimiyah, Ottoman, kolonial Perancis, hingga era Mesir modern.
Pada era Mesir kuno, kaum pekerja laki-laki dan perempuan memiliki tradisi bekerja keras tanpa lelah di ladang dengan mengikuti gerakan musik berirama, bertepuk tangan, dan menari.
Dari gambar-gambar peninggalan kuil dan kuburan Mesir kuno, kita bisa mengetahui bahwa menari bagi kaum Mesir kuno merupakan ungkapan melalui gerak secara simetris dan dramatis untuk menyampaikan perasaan dan emosi mereka. Pada era Mesir kuno, kaum laki-laki berdansa sebagai ungkapan kesetiaan mereka kepada sang dewa. Tradisi dansa juga selalu memainkan peran penting dalam merayakan banjir tahunan Sungai Nil pada era Mesir kuno. Kala itu, berlimpahnya air di Sungai Nil dalam bentuk banjir dianggap sebagai anugerah karena ada debit air untuk lahan pertanian.
Tradisi menari di Mesir terus dilestarikan dan bahkan mengalami improvisasi dari masa ke masa hingga menemukan bentuknya yang indah seperti saat ini. Hal itu berkat kebijakan semua penguasa di Mesir mempertahankan dan melestarikan peninggalan karya seni agung dalam bentuk tarian tersebut.
Tarian dengan irama dan liukan tubuh yang indah, seperti yang terlihat saat ini, merupakan bentuk tarian hasil pengaruh campuran dari Barat (Perancis) dan Afrika utara (tarian Berber/Amazigh). Pengaruh tarian Amazigh atau Afrika utara, yang dikenal dengan nama tarian Oulid Nail, mulai masuk ke Mesir pada era Dinasti Fatimiyah (909-1171 M).
Tarian Amazigh itu dibawa ke Mesir oleh para sultan Dinasti Fatimiyah yang berasal dari suku Amazigh. Para elite kalangan sultan pada era Dinasti Fatimiyah memiliki tradisi menikmati tarian setiap ada pesta atau acara di istana.
Pada era Dinasti Mameluk (1250-1517 M), tarian Mesir mengalami evolusi lagi berkat pengaruh asing yang masuk ke Mesir saat itu, seperti Turki, Yunani, Georgia, dan Slavic. Paduan budaya Mesir dan asing pada Dinasti Mameluk itu melahirkan bentuk baru tarian. Mulai ada sentuhan pengaruh Eropa ke dalam tarian Mesir pada era dinasti itu.
Pada era kolonial Inggris dan Perancis, tari perut semakin berkembang di Mesir. Menurut ilmuwan Belanda, Van Nieuwkerk, yang mengunjungi Mesir pada 1822, telah ditemukan tempat di Kairo, yang di dalamnya terdapat sekelompok warga belajar kepada seorang perempuan. Mereka belajar puisi, musik, menyanyi, dan menari.
Mulai era penjajahan Inggris tahun 1882, dibangunlah kelab-kelab malam, teater, restoran, dan gedung musik sebagai tempat hiburan, khususnya pertunjukan tari perut. Tempat-tempat tersebut menjadi tempat hiburan orang- orang Eropa yang semakin banyak datang ke Mesir saat itu. Pada 1920, tradisi tari perut mulai difilmkan dan bisa ditonton di gedung-gedung bioskop.
Pada era republik, sejak masa Presiden Gamal Abdel Nasser sampai saat ini, budaya tari perut juga semakin berkembang dan menjadi bagian industri pariwisata Mesir yang cukup menghasilkan devisa.