Diplomasi Vaksin Rusia Terganjal Keterbatasan Produksi
Hasil penelitian Rusia menyebutkan bahwa Sputnik V memiliki efikasi 83 persen terhadap varian Delta Covid-19 dan 95 persen efektif mencegah infeksi maupun kematian. Tantangannya, kapasitas produksi di bawah permintaan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
MOSKWA, RABU — Rusia berupaya menjadi salah satu pemain besar dalam diplomasi vaksin global dan sejauh ini menduduki peringkat nomor dua setelah China. Akan tetapi, keterbatasan produksi vaksin Covid-19 Sputnik V dan Sputnik Light mengancam keberlanjutan diplomasi ini. Apalagi, beberapa negara mulai membatalkan pesanan mereka.
”Kami sudah merapikan alur produksi dan akan secepatnya dikirim kepada negara-negara pemesan,” kata Alexander Gintsburg, Direktur Pusat Penelitian Epidemiologi dan Mikrobiologi Nasional Gamaleya, kepada kantor berita Rusia, TASS, Rabu (11/8/2021).
Pusat Penelitian Epidemiologi dan Mikrobiologi Nasional Gamaleya adalah produsen vaksin Sputnik. Sejauh ini, produksi vaksin Sputnik V dan Sputnik Light masih dilakukan di dalam negeri. Selain Gamaleya, empat perusahaan farmasi Rusia juga memproduksi Sputniv dengan menerapkan 18 standar dari Gamaleya.
Baru-baru ini, Rusia mengumumkan akan bekerja sama dengan 14 negara untuk memproduksi Sputnik V. Dua negara yang telah terbuka soal penjajakan ini adalah India dan Meksiko.
Sputnik V adalah vaksin pertama yang ditawarkan sebagai penangkal Covid-19. Permasalahannya, Rusia memproduksi dan menyebarkannya sebelum mereka melakukan uji klinis masif sehingga vaksin ini belum mendapat izin penggunaan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Meskipun demikian, penelitian yang diterbitkan di jurnal kesehatan Lancet menyebutkan, Sputnik V memiliki efikasi 90 persen. Hasil penelitian ini membuat negara-negara berkembang percaya dengan Sputnik V. Pada Rabu (10/8/2021), Gamaleya mengeluarkan hasil kajian terkini yang menyebutkan bahwa Sputnik V memiliki efikasi 83 persen terhadap varian Delta Covid-19 dan 95 persen efektif mencegah infeksi maupun kematian.
Data Pemerintah Rusia mencatat, ada 69 negara yang memiliki kontrak jual-beli Sputnik V. Sebanyak 50 negara di antaranya telah menyuntikkan vaksin Sputnik V kepada warganya. Salah satunya adalah Iran.
Menurut Duta Besar Iran untuk Rusia, Kazem Jalali, sukar bagi negara tersebut memperoleh vaksin dengan adanya berbagai sanksi dan embargo. ”Rusia sejak awal mengulurkan tangan untuk Iran yang kami terima dengan senang hati,” ujarnya. Iran telah memesan 62 juta dosis Sputnik V. Sejauh ini, sudah 1,02 juta dosis yang diterima oleh Teheran.
Di Asia Tenggara, pemakaian vaksin Rusia dipelopori oleh Filipina. Menurut Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Filipina Eric Domingo, pihaknya tengah menguji coba vaksin Sputnik Light. Ini adalah vaksin yang hanya membutuhkan satu dosis sehingga menghemat waktu.
Perkiraannya, hasil uji coba akan keluar dalam tiga pekan. Jika lulus uji, warga Filipina akan divaksinasi dengan Sputnik Light. Harapannya vaksinasi bisa mencakup banyak orang dalam waktu singkat.
Tantangan yang dihadapi Rusia saat ini adalah memenuhi pasokan vaksin ke negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil, Venezuela, Argentina, dan Chile. Mereka merupakan negara yang paling awal memesan Sputnik V. Argentina menjadi negara pertama yang memesan jauh-jauh hari sebelum negara-negara lain melirik Rusia. Dari 45 juta dosis yang mereka pesan, baru terealisasi 20 juta dosis, baik dosis pertama maupun kedua.
Akibat pasokan kurang, saat ini banyak penduduk yang menunggu vaksin dosis kedua. Di Argentina, misalnya, 180.000 orang yang telah disuntik Sputnik V dosis pertama belum menerima dosis kedua karena pasokan belum tiba. Padahal, mereka sudah menunggu lebih dari satu bulan. Situasi ini dikhawatirkan membuat tingkat kemanjuran vaksin menurun jika tidak segera disusul dosis kedua.
”Kami melakukan penelitian sendiri dan menemukan bahwa dosis pertama Sputnik V bisa dikombinasikan dengan AstraZeneca ataupun Moderna,” kata Menteri Kesehatan Argentina Carlotta Vizzotti.
Meskipun begitu, tidak semua negara mau mengambil langkah seperti Argentina karena menilai penelitian tersebut tidak komprehensif. Hal ini karena sejak awal pemesanan, informasi yang diterima ialah vaksin Sputnik V bersifat sangat spesifik. Dosis pertama dan kedua tidak boleh ditukar, vaksin ini juga dikatakan tidak bisa dicampur dengan merek lain.
Guatemala, misalnya, memutuskan membatalkan pesanan 8 juta dosis Sputnik V karena tidak mau menunggu lama. Sementara itu, di Bolivia, warga lansia yang telah menerima dosis pertama Sputnik V dirundung ketidakpastian.
”Saya sudah bolak-balik ke fasilitas kesehatan menanyakan bagaimana nasib vaksinasi dosis kedua. Tidak ada yang bisa memberi jawaban,” kata German Alarron (70), warga La Paz, Bolivia. (AFP/REUTERS/DNE)