Di saat Amerika Serikat, Uni Eropa, dan India sedang sibuk mengurus masalah Covid-19 di dalam negeri, Rusia bisa mengisi kekosongan dan menjadi penyelamat dunia.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Untuk mempercepat produksi vaksin Covid-19 buatan Rusia, Sputnik V, Rusia mendekati sejumlah perusahaan farmasi China. Rusia membutuhkan bantuan untuk memproduksi vaksin karena kewalahan menerima banyaknya pesanan vaksin. Sampai sejauh ini, Rusia sudah membuat tiga kesepakatan dengan sejumlah perusahaan China untuk memproduksi 260 juta dosis Sputnik V.
Rusia menerima banjir pesanan vaksin dari negara-negara di kawasan Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Mereka memilih Rusia karena Amerika Serikat dan Uni Eropa sedang sibuk sendiri memproduksi vaksin untuk kebutuhan dalam negeri. Banjir pesanan vaksin Rusia terjadi sejak jurnal kesehatan Inggris, The Lancet, menyebutkan hasil uji Sputnik V aman dan tingkat efikasinya mencapai 91 persen.
Juru bicara Pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan, permintaan terhadap vaksin Sputnik V melebihi kemampuan produksi dalam negeri Rusia. Oleh karena itu, Dana Investasi Langsung Rusia, pihak yang membiayai produksi vaksin Sputnik V, tak hanya meminta bantuan ke China, tetapi juga ke sejumlah produsen obat-obatan di India, Korea Selatan, Brasil, Serbia, Turki, Italia, dan lain-lain. Namun, dari semua negara itu, tak semuanya sanggup memproduksi vaksin dalam jumlah besar.
Perusahaan analitik sains di London, Airfinity, memperkirakan, Rusia sudah menyetujui penyediaan 630 juta dosis vaksin Sputnik V ke sekitar 100 negara. Namun, sampai sejauh ini baru ada sekitar 11,5 juta dosis yang sudah diekspor. Hingga 27 April, Rusia baru memproduksi sekitar 27 juta paket dua dosis Sputnik V. Untuk menggenjot produksi vaksin di Rusia, 100 juta dosis akan segera diproduksi bekerja sama dengan Hualan Biological Bacterin Inc. Sebelumnya, Maret lalu, juga sudah diproduksi 60 juta dosis dari kerja sama Rusia dan Shenzhen Yuanxin Gene Tech Co.
Kedua kesepakatan itu juga merupakan tambahan dari kesepakatan Rusia dan Tibet Rhodiola Pharmaceutical Holding Co, November lalu. Nilai kesepakatannya mencapai 9 juta dollar AS. Bedanya, pada kesepakatan ini, seluruh hasil produksi Sputnik V yang jumlahnya mencapai 100 juta dosis akan dibuat dan dijual di China saja. ”Rusia ambisius sekali dan sepertinya tidak akan bisa memenuhi target,” kata pendiri dan CEO Airfinity Rasmus Bech Hansen.
Alasan Rusia memilih China karena selama ini perusahaan vaksin China gencar menjadi pemasok utama vaksin di pasar global. Ratusan juta vaksin China sudah diekspor ke berbagai negara. Kemampuan produksi vaksin China diakui cepat, bahkan China sesumbar akan bisa memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri pada akhir tahun ini. ”Keputusan Rusia memilih China karena produsen China punya kemampuan produksi besar,” kata Kepala Konsultan Obat-obatan LEK di Shanghai Helen Chen.
Kesepakatan Rusia dan China memang membawa harapan akan ketersediaan vaksin yang cepat bagi siapa saja yang membutuhkan. Hanya saja, belum ada satu pun perusahaan dari tiga perusahaan China yang bersepakat dengan Rusia yang sudah memproduksi vaksin Sputnik V. Perusahaan Tibet Rhodiola baru membuka pabrik di Shanghai, akhir tahun lalu, dan akan mulai berproduksi pada September mendatang. Direktur Utama Tibet Rhodiola Chen Dalin akan mulai memproduksi pesanan 80 juta dosis vaksin Sputnik V setelah memperbarui teknologi produksi vaksin.
Meski ketersediaan vaksin Sputnik V akan terlambat, diplomasi vaksin Rusia relatif berhasil. Seperti halnya China, laporan Unit Intelijen Ekonomis (EIU) menyebutkan, Rusia dinilai memenangi persaingan ”hubungan masyarakat”. Analis di EIU, Imogen Page-Jarrett, menilai Rusia berhasil membangun hubungan diplomatik dan berbagai sektor lain yang selama ini tidak bisa dilakukan. ”Rusia kini memiliki kesempatan untuk membantu banyak negara yang sangat membutuhkan vaksin karena AS, Uni Eropa, dan India sedang fokus pada urusan dalam negeri masing-masing,” ujarnya. (AP)