ASEAN Meragukan, Krisis Myanmar Bisa Berkepanjangan
Krisis di Myanmar semakin parah, dari awalnya persoalan politik berkembang menjadi tragedi kemanusiaan. Awalnya, ASEAN diharapkan memberikan solusi. Namun, belakangan masyarakat sipil di Myanmar tak lagi percaya.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
BANDAR SERI BEGAWAN, SABTU —Enam bulan setelah kudeta militer, krisis politik di Myanmar masih terus berlangsung. Rakyat Myanmar yang telah mengalami penderitaan berbulan-bulan dihadapkan pada krisis kemanusiaan dengan ancaman bencana kelaparan dan pandemi Covid-19. ASEAN yang awalnya diharapkan bisa memberi solusi kini kurang dipercaya kelompok-kelompok masyarakat sipil di Myanmar.
Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, Erywan Pehin Yusof, yang juga Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam, sudah berencana ke Myanmar untuk berdialog dengan junta militer dan pihak berkepentingan lainnya. Ia juga bermaksud mengawasi bantuan kemanusiaan, tetapi belum diketahui jadwalnya.
Melalui kunjungannya, Erywan berharap bisa mendapatkan akses penuh untuk bertemu dengan semua pihak berkepentingan. Ia berjanji akan mengupayakan pembahasan yang lebih substantif, khususnya mengenai penghentian kekerasan, dialog, dan mediasi.
”Rencana kunjungan sedang diproses. Kita perlu memastikan semua sudah siap ketika berangkat ke Myanmar. Tidak seperti kunjungan saya Juni lalu,” kata Tun, Sabtu (7/8/2021), di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
Namun, 413 kelompok masyarakat sipil Myanmar, Jumat lalu, kecewa dan menolak keputusan ASEAN menunjuk perwakilan Brunei sebagai utusan khusus untuk Myanmar. Mereka menilai ASEAN seharusnya mengonsultasikan urusan itu terlebih dahulu dengan kelompok-kelompok penentang junta militer dan pihak-pihak lain yang terkait. Setidaknya ASEAN bisa mengajak berunding Pemerintah Persatuan Nasional bentukan kelompok oposisi.
Perdana Menteri Myanmar Min Aung Hlaing dan pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing, sudah menyetujui keputusan ASEAN itu.
Pengamat isu Asia Tenggara, ASEAN, regionalisme, dan kerja sama internasional di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum, menilai tugas utusan khusus ASEAN untuk Myanmar akan berhasil jika bisa menjawab keraguan komunitas internasional mengenai komitmen penegakan demokrasi.
Erywan, menurut Rum, harus mendengarkan masukan dari para diplomat negara-negara yang menghendaki dikembalikannya demokrasi di Myanmar. Ini termasuk berdiskusi intensif dengan para diplomat senior, seperti Hassan Wirajuda. ”Agenda demokratisasi dan perlindungan rakyat tetap harus diutamakan,” kata Rum.
Selain itu, Erywan juga harus bisa mengantisipasi langkah-langkah yang mungkin akan diambil junta militer yang bertujuan mengulur waktu implementasi konsensus lima poin. Oleh sebab itu, Erywan harus berinisiatif memastikan kerangka waktu implementasi konsensus itu.
Ia juga harus bisa berkomunikasi intensif dengan kekuatan-kekuatan politik yang lebih luas di Myanmar. ”Artinya, ia harus dapat menjangkau kelompok pro-demokrasi, masyarakat sipil, pelajar, kelompok bisnis, kelompok minoritas, dan lain-lain,” kata Rum.
Akibat gejolak politik yang tak berkesudahan diikuti bencana alam dan kini pandemi Covid-19, Program Pangan Dunia (WFP) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan sedikitnya 6,2 juta warga Myanmar akan didera bencana kelaparan pada Oktober mendatang. Untuk itu, dibutuhkan tambahan anggaran demi membantu Myanmar.
Jumlah yang dibutuhkan untuk enam bulan ke depan sekitar 86 juta dollar AS. Dari jumlah dana itu, baru terkumpul 30 persen. ”Kelaparan meluas dan makin parah di Myanmar. Hampir 90 persen rumah tangga di permukiman kumuh di sekitar kota Yangon harus meminjam uang untuk membeli makanan. Banyak yang pekerjaannya terganggu gara-gara konflik ini,” kata Direktur WFP untuk Myanmar, Stephen Anderson.
Myanmar terjerumus dalam kekacauan dan perkonomiannya lumpuh sejak militer menggulingkan pemerintahan pemimpin sipil, Aung San Suu Kyi, dan memicu gelombang protes dan kekerasan militer hingga hari ini. Untuk mengatasi kesulitan bahan pangan karena harga pangan yang melonjak, WFP memberi bantuan pangan bagi 2 juta warga di Yangon dan Mandalay, Mei lalu. Sampai saat ini baru sekitar 1,25 juta warga di Myanmar yang menerima bantuan makanan, uang tunai, dan nutrisi dari WFP.
Gelombang ketiga Covid-19, kata Anderson, bagaikan gelombang tsunami bagi rakyat Myanmar. ”Ini saat-saat yang paling sulit bagi rakyat Myanmar. Kita harus bisa memberi bantuan kemanusiaan kepada semua warga Myanmar yang membutuhkan,” ujarnya.
Selain ancaman kelaparan, Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun juga melaporkan terjadi pembunuhan massal oleh junta militer. Dalam laporan yang disampaikan Tun melalui surat untuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres itu menyebutkan, ada 40 jasad yang ditemukan di kotapraja Kani, daerah Sagaing, Juli lalu. Junta militer membantah tuduhan itu.
Aparat tentara Myanmar, tulis Tun, telah menyiksa dan membunuh 16 laki-laki di sebuah desa di Kani pada 9 Juli dan 10 Juli. Setelah itu ditemukan lagi 13 jasad setelah terjadi bentrokan antara aparat tentara dan warga setempat pada 26 Juli.
Di desa lain ditemukan 11 jasad laki-laki, termasuk anak usia 14 tahun, pada 28 Juli. Tun meminta agar ada embargo persenjataan global terhadap junta militer dan mendorong intervensi kemanusiaan dari komunitas internasional secepatnya.
Akibat kekerasan militer, sedikitnya 900 orang tewas. ”Kita tidak bisa membiarkan militer melakukan ini terus. Sudah saatnya Dewan Keamanan PBB bertindak,” kata Tun.
Junta militer menyatakan akan mengadakan pemilu dan mencabut status darurat pada Agustus 2023. Ini berarti junta memperpanjang lagi status darurat selama satu tahun. Semula, janjinya hanya akan sampai 2022.
Junta juga menawarkan akan membebaskan tuntutan terhadap pengunjuk rasa jika mereka melapor ke pihak berwenang. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menyebutkan, sejak kudeta, sedikitnya 7.000 orang ditahan dan masih ada 1.984 surat perintah penangkapan.
Namun, media yang dikelola pemerintah, Global New Light, menyebutkan tidak akan ada amnesti bagi siapa pun yang melakukan kejahatan, seperti pembunuhan, pembakaran, atau serangan terhadap aparat keamanan. Junta militer juga menyalahkan anggota partai Suu Kyi yang menghasut rakyat untuk melakukan pembangkangan sipil.
Namun, tawaran junta ini ditolak oleh mereka yang saat ini sedang bersembunyi dan menjadi buronan karena khawatir ini hanya jebakan junta militer saja. ”Bisa saja ini jebakan. Junta sering berubah-ubah omongannya. Seperti janji pemilu itu,” kata Khin Myat Myat Naing (35) yang dituntut atas kasus penyebaran kabar palsu dan menyebarkan ketakutan. Ia terancam hukuman penjara 3 tahun.
Sai Tun (33), wartawan lepas yang kini sedang bersembunyi, juga tidak mau menyerahkan diri. Tun dituntut bersalah karena memotret saat terjadi unjuk rasa.
”Selama junta militer berkuasa, kami akan tetap jadi buronan,” kata Tun yang ditembak di bagian kaki saat unjuk rasa. (REUTERS/AFP/AP)