Sejumlah Pihak Tolak Rencana Pemilu Junta Militer Myanmar
Pemerintah junta militer akan menggelar pemilihan umum per Agustus 2023. Sejumlah pihak menilai, ini sebagai akal-akalan untuk mengulur waktu dan menyiapkan pemerintahan baru yang terlegitimasi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Pemerintah junta militer di Myanmar akan menggelar pemilihan umum per Agustus 2023. Kebijakan politik ini menuai kecaman dan penolakan dari sejumlah pihak karena dianggap modus untuk mengulur-ulur waktu guna menyiapkan legitimasi terhadap pemerintahan baru hasil kudeta.
Jenderal Senior Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing, Minggu (1/8/2021), mengumumkan rencana penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) multipartai di Myanmar pada Agustus 2023. Status darurat nasional yang diberlakukan junta pascakudeta terhadap pemerintahan hasil pemilihan umum 2020 per Februari 2021 akan berakhir pada saat pemilu selesai.
Pernyataan Min mendapat tanggapan keras dari oposisi junta, yaitu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang saat ini berfungsi sebagai pemerintahan bayangan Myanmar. NUG terdiri atas orang-orang prodemokrasi, termasuk dari partai politik pendukung Aung San Suu Kyi yang sejatinya memenangi pemilu pada November 2020.
”Ini trik junta untuk mendapat pengakuan internasional atas tindakan mereka melakukan kudeta dan menyengsarakan rakyat,” kata Menteri untuk Hak Asasi Manusia NUG Aung Myo Min.
Kecaman juga datang dari komunitas internasional. Ini, misalkan, datang dari Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut mereka, kebijakan itu adalah strategi politik junta untuk mengulur waktu dan mengambil alih pemerintahan Myanmar secara total.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengatakan, sudah saatnya pemerintahan Myanmar dikembalikan kepada rakyat. Biar rakyat yang memutuskan siapa pemimpin mereka.
Sementara dalam pernyataan per Senin (2/8/2021), Kementerian Luar Negeri AS menyatakan, perbuatan junta mengulur waktu guna semakin memperkuat kekuasaannya. Ini tidak bisa diterima. Selama junta berkuasa, rakyat Myanmar tidak akan aman. Tercatat hingga kini 939 korban tewas akibat melawan junta.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, dalam pekan ini, menggelar serangkaian pertemuan virtual dengan para menteri luar negeri negara-negara ASEAN. Dalam setiap pertemuan, tema mengenai lima konsensus ASEAN yang dicapai pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada April lalu di Jakarta terus didorong.
Substansi konsensus adalah penyelesaian krisis di Myanmar secara damai. Salah satu poin pentingnya adalah penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar. Utusan khusus ini harus bisa bergerak bebas dan bertemu semua pihak di Myanmar, baik junta, pemerintah bayangan, maupun perwakilan rakyat.
Hingga kini junta belum menyatakan persetujuan terhadap penunjukan utusan khusus ASEAN. Kandidatnya ialah mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajudha, Wakil Menlu Thailand Weerasak Footrakul, Menteri Kedua untuk Urusan Luar Negeri Brunei Darussalam Erywan Yusof, dan diplomat senior Malaysia Razali Ismail.
Pendapat kritis juga dikemukakan juru bicara PBB, Stephane Dujarric. ”Situasi di Myanmar bergerak ke arah yang salah dan tidak sesuai dengan kesepakatan KTT ASEAN. Restorasi demokrasi harus segera diwujudkan di Myanmar,” ujarnya.
Lambatnya penunjukan utusan khusus ini akan berdampak pada reputasi ASEAN di kancah politik internasional. Peneliti mengenai isu ASEAN di lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Khanisa Krisman, mengatakan, utusan khusus harus bisa menjembatani dialog antartokoh di Myanmar. Semestinya, tidak ada kewajiban hanya satu orang yang bisa menjabat sebagai utusan khusus.
”Tugas ini bisa diemban oleh beberapa orang sekaligus selama semua utusan khusus itu memiliki pandangan yang sama mengenai capaian dalam kunjungan ke Myanmar,” ujar Khanisa.
Ia menjelaskan, pendekatan yang dipakai ASEAN mengedepankan prinsip saling menghormati. Dalam hal ini, Myanmar berhak tidak menyetujui utusan khusus yang dipilih oleh ASEAN. Oleh sebab itu, jalan keluarnya bukan dengan mengucilkan Myanmar, melainkan melakukan negosiasi berkelanjutan agar junta mau membuka diri.
Menurut Khanisa, sikap Indonesia, seperti yang disampaikan Menlu Retno Marsudi, untuk terus mendorong komitmen pelaksanaan hasil konsensus sudah baik. Tinggal cara mengomunikasikan kepada Myanmar bahwa konsensus dan utusan khusus bukan untuk menghakimi mereka, melainkan mencari jalan tengah guna mencegah eskalasi konflik.
”ASEAN bisa menekankan pada bantuan kemanusiaan kepada Myanmar sambil menagih janji junta untuk taat pada konsensus yang langsung dihadiri oleh panglima tertingginya padabulan April," ujarnya. (AP/AFP/Reuters)