Pasar Selandia Baru tidak begitu besar, tapi menantang ketika warga dengan tingkat pendapatan dan pendidikan tinggi membutuhkan produk-produk berkualitas asal Indonesia. Diplomasi RI di Pasifik juga dipusatkan di sini.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Lokasinya yang terletak di balik Australia membuat Selandia Baru menjadi sosok negara yang tak banyak dilirik. Apalagi dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta orang, Selandia Baru bukanlah ”target pasar” meski nilai pendapatan per kapitanya nyaris mendekati angka 42.000 dollar AS (data Bank Dunia tahun 2020).
Akan tetapi, sejatinya, di balik tersembunyinya Selandia Baru, menurut Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru merangkap Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook, dan Niue Tantowi Yahya, hubungan diplomatik Indonesia dan Selandia Baru sudah terjalin lebih dari setengah abad lampau. Bahkan, jika dilacak lebih jauh lagi, Selandia Baru dan Indonesia, saat dikenal sebagai Hindia Belanda, telah menjalin hubungan dagang sejak 1930-an.
Di Indonesia, Selandia Baru dikenal dengan produk-produk berbasis susu dan turunannya, seperti mentega, keju, daging (sapi dan biri-biri) hingga produk kayu. Sebaliknya, menurut Tantowi, Indonesia dikenal sebagai pengekspor buah-buahan tropis, produk pupuk, hingga pakan ternak. ”Salah satu bahan pakan ternak terbaik adalah kernel, ampas kelapa sawit. Ini bernutrisi tinggi dan dibutuhkan banyak oleh Selandia Baru,” katanya saat berbincang dengan harian Kompas secara virtual, Jumat (30/7/2021).
Menurut Tantowi, selama lebih dari setengah abad menjalin hubungan dagang, Indonesia memang belum pernah mencatatkan surplus perdagangan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, neraca perdagangan di antara kedua negara hampir berimbang dengan selisih hanya terpaut sekitar 140 juta dollar. Bahkan, jika sektor pariwisata dimasukkan, pada 2020, Indonesia menorehkan surplus dalam neraca perdagangan dengan Selandia Baru.
Dengan penduduk berpendapatan tinggi, Selandia Baru menuntut produk-produk yang masuk ke negaranya merupakan produk dengan kualitas tinggi. Dalam pandangan Tantowi, hal inilah yang membuat para pebisnis Indonesia jiper alias takut, khawatir produk mereka tidak akan terserap oleh pasar Selandia Baru. ”Mereka lebih senang berbisnis di dalam negeri atau ke negara dengan pasar atau berpenduduk besar, 40 juta dan sebagainya,” kata Tantowi.
Pola pikir inilah yang, menurut dia, harus diubah. Kehadiran produk Indonesia tidak selalu harus diasosiasikan dengan bahan mentah dan pasar yang besar, tetapi dengan produk yang berkualitas, produk teknologi tinggi dan bisa bersaing dengan produk-produk negara lain yang mematok kualitas tinggi.
Mencoba mengubah persepsi itu, Tantowi dan para diplomat di KBRI Wellington kini tengah mendorong kehadiran produk-produk elektronik Indonesia yang berkualitas tinggi untuk masuk pasar Selandia Baru. Yang sudah berjalan adalah trafo produksi Bogor, Jawa Barat, yang digunakan sebagai salah satu komponen utama penggerak kincir angin di ”Negeri Kiwi” itu. ”Dan, ini sudah lebih dari 500 unit masuk ke sini,” kata Tantowi.
Dia mengakui, dengan standar tinggi, memang akan ada tantangan lebih besar untuk memasuki pasar Selandia Baru, terutama soal kualitas produk. Namun, baginya, itu adalah tantangan. Dia berharap para pengusaha Indonesia bisa menjawab tantangan itu dengan menghadirkan lebih banyak produk Indonesia yang berkualitas di sana.
Selain isu kerja sama ekonomi, isu lain yang juga menjadi perhatian Indonesia adalah kerja sama sosial dan kebudayaan dengan negara-negara di Pasifik. Meskipun berada di wilayah Asia, Indonesia dihuni oleh lebih dari 12 juta warga etnis Melanesia, etnis yang menghuni negara-negara di wilayah Pasifik Selatan.
Menggunakan tagline Pacific Engagement dan kemudian ditingkatkan menjadi Pacific Elevating, Indonesia berupaya untuk terlibat lebih aktif dalam kerja sama di kawasan. Dari semula melakukan identifikasi kesamaan Indonesia dengan negara-negara di Pasifik, kini pemerintah lebih berperan menjadi fasilitator.
Indonesia juga terlibat sebagai mitra wicara dalam Forum Komunikasi Negara-Negara Kepulauan Pasifik (PIF) dan menjadi associatemember dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Melalui dua forum itu, Jakarta mencoba menjalin kerja sama lebih intensif dengan negara-negara Kepulauan Pasifik.
Menurut Tantowi, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi perhatian Indonesia, yaitu konektivitas, perubahan iklim, dan ekonomi. Melalui tiga poin inilah, Indonesia memainkan perannya, terutama dalam bidang ekonomi dengan menyediakan pasar bagi produk negara-negara Pasifik. Sejauh ini, hasilnya menjanjikan.