Pilihan Selandia Baru untuk menjaga jarak dengan anggota Five Eyes lainnya sangat dipahami. China merupakan mitra dagang terbesarnya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Independensi Selandia Baru dalam menjalin hubungan dengan China sangat rasional. Kepentingan nasional tetap menjadi hal utama, di tengah dunia yang berubah.
Selandia Baru menolak bergabung dengan negara anggota Five Eyes lainnya untuk mengeluarkan pernyataan bersama mengenai China. Bagi Selandia Baru, Five Eyes—aliansi lima negara untuk berbagi data intelijen—bukan medium yang tepat untuk merespons isu, seperti penegakan hak asasi manusia (HAM) di China. Sikap berbeda ini mengundang kritik dari sejumlah anggota Five Eyes lainnya.
Five Eyes terdiri dari Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, Inggris, dan Selandia Baru. Lewat aliansi ini, mereka berbagi data intelijen, terutama data hasil penyadapan sinyal. Five Eyes berdiri pada era Perang Dunia II, berlanjut di masa Perang Dingin, dan terus dipertahankan hingga sekarang.
Pilihan Selandia Baru untuk menjaga jarak dengan anggota Five Eyes lainnya sangat dipahami. China merupakan mitra dagang terbesarnya. Kehati-hatian Selandia Baru diperlukan untuk memastikan agar ekonomi negara berpenduduk sekitar 5 juta orang tersebut terhindar dari kesulitan.
Sikap Australia, yang bersama AS menuntut penyelidikan terhadap asal-muasal virus korona baru penyebab Covid-19 di China, diikuti reaksi keras Beijing. Hambatan terhadap produk Australia yang masuk ke China diberlakukan. Situasi ini memberikan dampak ekonomi kurang menggembirakan bagi dunia bisnis Australia. Meski tak diungkap secara gamblang, alasan ekonomi itu dapat dilihat oleh berbagai kalangan sebagai latar belakang sikap independen Wellington.
Meskipun demikian, pemerintahan Perdana Menteri Jacinda Ardern menegaskan bahwa keengganan Wellington untuk mengomentari situasi di China lewat medium Five Eyes tak berarti Selandia Baru abai terhadap isu HAM. Sebaliknya, Selandia baru tetap memberikan perhatian besar terhadap isu itu, tetapi memilih untuk mendiskusikannya dengan China secara tertutup.
Langkah Wellington mengundang apresiasi dari China. Saat independensi Selandia Baru mulai terlihat pada bulan lalu, media China, Global Times, menulis, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, menyatakan, negaranya bersedia bekerja dengan Selandia Baru untuk meningkatkan komunikasi dan memperdalam kerja sama. Perdagangan kedua negara disebutkan telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari 9 miliar dollar Selandia Baru (Rp 92,4 triliun) menjadi kini lebih dari 32 miliar dollar Selandia Baru. Hal itu terjadi setelah perjanjian perdagangan bebas (FTA) ditandatangani pada 2008.
Sikap pemerintahan PM Ardern itu tentu dipertimbangkan dengan matang. Konteks persaingan antara AS dan China pasti diperhitungkan dengan baik, tak ketinggalan faktor kedekatan Wellington-Washington yang telah terjalin lama. Tidak ada yang berubah sebenarnya. Selandia Baru hanya berusaha lebih hati-hati, realistis, dan tetap rasional.