WTO Gagal Sepakati Penangguhan Paten, Percepatan Akses Vaksin Covid-19 Terganjal
Organisasi Perdagangan Dunia kembali gagal menyepakati penangguhan hak paten vaksin Covid-19. Di saat kondisi darurat pandemi, sejumlah negara masih menentang skema yang jadi dasar percepatan pengadaan vaksin.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
GENEVA, KAMIS —Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO lagi-lagi gagal menyetujui usulan penangguhan hak kekayaan intelektual vaksin Covid-19. Padahal, penangguhan hak paten menjadi dasar percepatan pengadaan vaksin Covid-19 ketika dunia masih sangat kekurangan pasokan.
Penangguhan hak paten vaksin Covid-19 diusulkan oleh India dan Afrika Selatan di WTO per Oktober 2020. Sampai saat ini atau sembilan bulan berjalan, 164 negara anggota tidak kunjung mencapai konsensus, termasuk pada pertemuan terakhir di Geneva, Swiss, Rabu (29/7/2021).
Juru bicara WTO, Keith Rockwell, mengatakan, negara anggota akan mengadakan pertemuan informal untuk membahas situasi terkini pada September mendatang. Pertemuan formal akan digelar pada 13-14 Oktober 2021. ”Isu ini akan dibahas terus karena ini adalah isu yang sangat penting dan emosional,” kata Rockwell setelah pertemuan Dewan Umum WTO hari pertama, Rabu (28/7/2021).
Menurut Rockwell, semua negara pada dasarnya sepaham mengenai perlunya segera meningkatkan produksi vaksin Covid-19. Namun, belum ada kesepakatan mengenai cara terbaik untuk meningkatkan produksi itu.
Senegal, Bangladesh, India, Afrika Selatan, Thailand, Maroko, dan Mesir dinilai mampu memproduksi vaksin Covid-19. Akan tetapi, mereka membutuhkan pengetahuan dan teknologi untuk produksi.
Perdebatan yang terjadi di dalam pertemuan itu berfokus pada perjanjian WTO mengenai Aspek-aspek Terkait Perdagangan dari HKI atau Trade-Related Aspects of IP Rights (TRIPS), serta ketentuan yang berkaitan dengan tindakan medis untuk pencegahan, menahan penyebaran, atau alat perawatan kesehatan yang dibutuhkan untuk melawan Covid-19.
Perjanjian TRIPS merupakan perjanjian yang menetapkan standar minimal untuk regulasi tentang HKI di negara-negara anggota WTO. Perjanjian yang awalnya diusulkan Amerika Serikat (AS) pada 1994 dan ditentang India ini berlaku sejak 1995. Sifatnya mengikat bagi semua anggota WTO.
Meningkatnya kasus Covid-19 serta mendesaknya akses vaksin dan obat-obatan membuat India dan Afrika Selatan mengusulkan penangguhan HKI pada Oktober 2020. Inisiatif ini mendapatkan dukungan dari negara-negara berkembang serta AS dan China.
Proposal ini menekankan permintaan penangguhan ketentuan tertentu, seperti HKI atau paten, rahasia dagang, dan desain industri yang diatur dalam Perjanjian TRIPS. Tujuannya adalah untuk mempercepat penanganan, pencegahan, dan pengobatan Covid-19.
Negara-negara yang menentang proposal ini adalah negara-negara di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Keberatan mereka terletak pada poin durasi penangguhan serta ruang lingkup dalam artian cakupan produk dan ketentuan TRIPS. Poin lainnya adalah implementasi dan perlindungan terhadap informasi-informasi rahasia.
Proposal ini juga mendapat penolakan keras dari perusahaan-perusahaan farmasi raksasa. Mereka bersikeras hak panten bukanlah penghalang utama dalam peningkatan produksi vaksin Covid-19. Mereka memperingatkan proposal itu justru akan menghambat inovasi.
Sementara itu, para pendukung proposal tersebut menilai bahwa masalah mendasar minimnya pasokan vaksin dan obat-obatan penunjangnya terletak di hak patennya. Sejauh ini, pasokan masih amat terbatas karena produksi hanya dilakukan perusahaan-perusahaan pemegang hak paten atau perusahaan yang bekerja sama dengan para pemegang hak paten.
Indonesia adalah salah satu negara yang mendukung proposal India. ”Indonesia juga mendukung penghapusan hak paten vaksin Covid-19 guna mendorong kapasitas produksi dunia terhadap vaksin. Ini adalah salah satu bentuk upaya kolaborasi dunia untuk meratakan jalan bagi akses vaksin setara bagi semua,” kata Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno LP Marsudi, 8 Mei 2021.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala, dalam harian Bloomberg, Rabu, berpendapat, negara-negara di Afrika harus bisa membangun kapasitas untuk memproduksi vaksin guna kebutuhan Afrika. Negara-negara Afrika sekaligus harus bisa bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan farmasi demi memastikan ketersediaan bahan baku.
”Hanya sedikit negara di Afrika yang memiliki kapasitas itu, mungkin Tunisia, Maroko, atau Senegal. Itu kenapa Afrika impor 99 persen vaksin,” kata Okonjo-Iweala di webinar dengan Komisi Ekonomi untuk Afrika di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Apabila Afrika bisa mendapatkan hak kekayaan intelektual untuk memproduksi vaksin pun, lanjut Okonjo-Iweala, Afrika belum bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki investasi dan kemampuan produksi. Ia mengakui perundingan berjalan lamban karena semua pihak berusaha mencoba mencapai kesepakatan pragmatis dan masuk akal yang memungkinkan negara-negara berkembang mengakses teknologi, pengetahuan, serta menemukan solusi yang tidak akan melemahkan penelitian dan inovasi.
Total kebutuhan vaksin dunia sekitar 14,2 miliar dosis. Sampai saat ini, sedikitnya 3,93 miliar dosis vaksin Covid-19 sudah didistribusikan ke seluruh dunia. Hanya sekitar 0,3 persen yang sudah diberikan kepada penduduk di 29 negara berpendapatan terendah yang merupakan 9 persen dari total populasi dunia.
Dalam pertemuan WTO dengan perusahaan-perusahaan produsen vaksin, seperti Johnson & Johnson, Pfizer Inc, Moderna Inc, produsen Sputnik di Rusia, dan Sinopharm Group Co, pekan lalu, diketahui mereka tertarik untuk meningkatkan investasi di Afrika. Johnson & Johnson sedang memproduksi vaksin di Afrika Selatan bersama Aspen Pharmacare Holdings Ltd. Perusahaan itu mengemas vaksin dengan menggunakan bahan-bahan yang dipasok oleh Johnson & Johnson.
Adapun Pfizer yang pada pekan lalu menandatangani kesepakatan serupa dengan Institut Biovac Institute di Cape Town. Sementara vaksin Sinopharm dibuat di Mesir. Sampai sejauh ini baru sekitar 1,4 persen penduduk dari 1,2 miliar total penduduk Afrika yang sudah divaksin.
Okonjo-Iweala menegaskan, Afrika membutuhkan akses vaksin yang memadai untuk memulihkan perekonomiannya. Perekonomian di Afrika tahun lalu mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam seperempat abad ini gara-gara kebijakan pembatasan terkait pandemi Covid-19. (AFP/LUK)