Jadi ”Co-Sponsor” TRIPS Waiver, RI Siap Perjuangkan Solidaritas Global
Sebagai negara berkembang, Indonesia punya kewajiban moral untuk memperkuat posisi negara berkembang dalam perundingan itu. Tujuannya mendorong akses terhadap kebutuhan vaksin yang distribusinya masih tidak merata.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akhirnya memutuskan menjadi co-sponsor proposal TRIPS Waiver yang diusung India dan Afrika Selatan. Hal ini akan memperkuat posisi negara-negara berkembang pengusung proposal pengabaian hak atas kekayaan intelektual itu guna mendapatkan akses vaksin Covid-19 yang adil dan merata.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, dengan menjadi co-sponsor proposal Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver, Indonesia bisa berperan dan berpartisipasi lebih aktif memperjuangkan proposal tersebut. Artinya, Indonesia bisa langsung terlibat bahkan memimpin bersama anggota co-sponsor lain dalam perundingan proposal itu.
Sebagai negara berkembang, Indonesia punya kewajiban moral untuk memperkuat posisi negara berkembang dalam perundingan itu. Tujuannya adalah mendorong akses terhadap kebutuhan vaksin yang distribusinya belum merata, terutama di negara-negara berkembang dan miskin.
”Apabila tidak bergabung sebagai co-sponsor, posisi Indonesia akan sama dengan negara-negara anggota WTO lain yang masih mengambil posisi menunggu atau pasif,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (12/5/2021) sore.
Sebagai negara berkembang, Indonesia punya kewajiban moral untuk memperkuat posisi negara berkembang dalam perundingan itu. Tujuannya adalah mendorong akses terhadap kebutuhan vaksin yang distribusinya belum merata.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia berkomitmen mendukung Proposal TRIPS Waiver meski tidak menjadi co-sponsor (Kompas, 8/5/2021). Selang dua hari, Indonesia secara resmi menyampaikan keputusan menjadi co-sponsor pada 10 Mei 2021. Hal itu tertuang dalam dokumen Dewan TRIPS WTO Nomor 21-3946 yang isinya, ”Melalui komunikasi tertanggal 10 Mei 2021, delegasi Indonesia telah meminta ditambahkan ke daftar sponsor pengajuan yang diedarkan dalam dokumen IP/C/W/669”.
Dokumen IP/C/W/669 itu merujuk pada Proposal TRIPS Waiver yang diajukan India dan Afrika Selatan. Proposal itu bertajuk ”Waiver from Certain Provisions of The TRIPs Agreement for The Prevention, Containment, and Treatment of Covid-19”.
Proposal tersebut menekankan permintaan pengabaian sementara ketentuan tertentu dalam Perjanjian TRIPS WTO, seperti hak atas kekayaan intelektual (HaKI) atau paten, rahasia dagang, dan desain industri untuk mempercepat penanganan, pencegahan, dan pengobatan Covid-19.
Perjanjian TRIPS merupakan perjanjian yang menetapkan standar minimal untuk regulasi HaKI di negara-negara anggota WTO. Perjanjian yang awalnya diusulkan Amerika Serikat (AS) pada 1994 dan ditentang India ini mulai berlaku sejak 1995. Perjanjian ini mengikat bagi seluruh anggota WTO.
Menyusul perubahan AS yang pada akhirnya turut mendukung proposal tersebut pada Rabu (5/5/2021), India dan Afrika Selatan tengah merevisi proposal ini. Menurut rencana, revisi ini akan diserahkan pada paruh kedua Mei 2021 dan akan kembali dibahas dalam forum Dewan TRIPS WTO pada awal Juni 2021.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah memutuskan menjadi co-sponsor Proposal TRIPS Waiver di WTO. Dengan keputusan itu, Pemerintah Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam negosiasi TRIPS Waiver, terutama mendorong solidaritas global.
Indonesia juga bisa turut mendesak negara-negara yang masih menolak proposal ini agar berbalik memberi dukungan. ”Keputusan pemerintah ini merupakan keputusan yang tepat dan harus menjadi prioritas utama dalam misi diplomasi Indonesia di tingkat internasional untuk mewujudkan solidaritas global untuk kemanusiaan,” kata dia.
Dalam perundingan selanjutnya, Rachmi berharap agar sebagai co-sponsor, Pemerintah Indonesia dapat memastikan isi teks benar-benar mencerminkan tujuan utamanya, yaitu menangani pandemi Covid-19 sesegera mungkin dengan cakupan pengabaian TRIPS yang luas.
Peneliti Third World Network, Lutfiyah Hanim, menuturkan, perundingan proposal ini tidak mudah, penuh tantangan, dan rentan intervensi. Masih ada sejumlah negara maju anggota WTO yang menolak proposal ini kendati AS telah menyatakan diri mendukung TRIPS Waiver.
Ia berharap perundingan TRIPS waiver tidak berlarut-larut. Pasalnya, akselerasi peningkatan produksi yang pesat secara global merupakan solusi penting mengatasi masalah kekurangan dan aksesibilitas pada vaksin, obat, alat diagnostik, serta alat kesehatan yang diperlukan dalam penanganan padnemi Covid-19.
Proposal TRIPS Waiver ini sangat penting untuk menghentikan monopoli industri farmasi atas perlindungan kekayaan intelektual yang membatasi akses masyarakat pada vaksin, obat-obatan, tes diagnostik, dan teknologi medis lain yang dibutuhkan terkait penanganan pandemi.
Proposal TRIPS Waiver ini sangat penting untuk menghentikan monopoli industri farmasi atas perlindungan kekayaan intelektual yang membatasi akses masyarakat pada vaksin, obat-obatan, tes diagnostik, dan teknologi medis lain yang dibutuhkan terkait penanganan pandemi.
Sementara, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada 4 Mei 2020 mengingatkan, tren pemulihan ekonomi global akan terus berlanjut. Tahun ini, ekonomi global diperkirakan tumbuh 5 persen. Namun, pemulihan ekonomi itu bakal tidak merata lantaran distribusi vaksin yang tidak merata akan memengaruhi kemampuan negara-negara untuk pulih dari krisis.
Per 31 Maret 2021, UNCTAD mencatat, dosis vaksin yang diberikan per 100 orang sangat bervariasi di negara-negara. Afrika tertinggal jauh dengan hanya 0,6 persen populasi yang divaksinasi, dibandingkan Asia (2,1 persen), Eropa (12,7 persen), Amerika Selatan (6,7 persen), dan Amerika Utara (18,8 persen).
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari 700 juta dosis yang sudah diberikan sampai April 2021, tidak sampai 1 juta dosis diberikan kepada negara miskin. Hampir 500 juta dosis disuntikkan untuk warga di AS dan China. Sisanya terbagi ke beberapa negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika.