Bentrokan Warga Memperburuk Krisis Politik di Tunisia
Krisis terbaru di Tunisia seiring dengan kondisi kebuntuan berkepanjangan antara Presiden Saied, PM Mechichi, dan Ketua Partai Ennahdha Rached Ghannouchi. Penanganan pandemi Covid-19 yang buruk menambah tekanan massa.
Oleh
BENNY D KOESTANTO, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
TUNIS, SENIN — Bentrokan antarwarga meletus di luar gedung Parlemen Tunisia, Senin (26/7/2021), sehari setelah Presiden Kais Saied menggulingkan Perdana Menteri Hichem Mechichi dan membekukan legislatif selama satu bulan. Kelindan kondisi itu semakin menjerumuskan Tunisia ke dalam krisis politik dan keamanan.
Pemecatan Mechichi dan pembekuan parlemen dikecam berbagai pihak. Partai politik terbesar di Tunisia, Ennahdha, menyebutnya sebagai sebuah kudeta. Hal itu terjadi setelah aksi protes digelar warga yang marah dan tidak puas dengan langkah penanganan pemerintah melawan pandemi Covid-19.
Militer pada Senin pagi memblokade parlemen di Tunis. Di luar kompleks parlemen, para pendukung Saied melemparkan batu dan menghina para pendukung Partai Ennahdha. Para pendukung partai itu menggelar aksi duduk guna memprotes larangan masuk ke kompleks parlemen.
Bentrok pun tidak terelakkan. ”Ini adalah kudeta terhadap revolusi dan melawan konstitusi,” demikian pernyataan Partai Ennahdha yang merupakan partai terbesar dalam koalisi kepemimpinan Tunisia. Lewat unggahannya di media sosial Facebook, partai itu memperingatkan, anggotanya ”akan membela revolusi”.
Krisis terbaru di Tunisia terjadi menyusul kebuntuan berkepanjangan antara Presiden Saied, PM Mechichi, dan Ketua Partai Ennahdha Rached Ghannouchi. Konflik dan persaingan para pimpinan itu telah memperburuk penanganan pandemi Covid-19. Jumlah kematian akibat penyakit itu di Tunisia melonjak menjadikannya salah satu tertinggi. ”Saya telah mengambil keputusan yang diperlukan untuk menyelamatkan Tunisia, negara bagian, dan rakyat Tunisia,” kata Saied dalam pernyataan, Minggu (25/7).
Krisis terbaru di Tunisia itu mengikuti kebuntuan berkepanjangan antara Presiden Saied, PM Mechichi dan Ketua Partai Ennahdha Rached Ghannouchi. Konflik dan persaingan para pimpinan itu telah memperburuk penanganan pandemi Covid-19 di negara itu.
Langkah Saied awalnya diperkirakan mendapat dukungan tentara. Namun, para penentangnya menyebut langkah itu sebagai kudeta. Partai Ennahda menyebut tindakan Presiden Saied sebagai pengkhianatan terhadap Revolusi Musim Semi Tunisia. Selain memblokir jalan masuk parlemen, militer juga memblokir stasiun televisi pemerintah.
Rakyat yang sudah berbulan-bulan berunjuk rasa di hampir semua penjuru negara di Afrika Utara itu bersorak-sorai di jalanan pada Minggu. Mereka bahkan menyerukan pembubaran parlemen dan pelaksanaan pemilihan umum yang baru. Selain itu, kantor pusat Ennahda di ibu kota Tunis juga dirangsek massa yang merusak barang-barang di dalamnya.
”Parlemen dibekukan untuk 30 hari mendatang. Selama itu pula kita harus menstabilkan keadaan negara sampai waktunya penunjukan perdana menteri yang baru,” kata Saied dalam siaran langsung di televisi.
Gannouchi, yang juga Ketua Parlemen Tunisia, membalas pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa parlemen tetap bekerja seperti biasa meskipun tidak dari gedung mereka.
Sehari sebelumnya, warga menggelar unjuk rasa menentang pemerintah dan Ennahda, menyusul terus melonjaknya kasus Covid-19 di Tunisia. Disfungsi politik yang kronis dan keterpurukan ekonomi di tengah pandemi telah meningkatkan kemarahan warga.
Situasi saat ini merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas Tunis sejak revolusi tahun 2011, yang memicu gelombang Musim Semi Arab. Ghannouchi menyebut langkah Presiden Saied sebagai serangan pada demokrasi. Ia menyerukan agar rakyat Tunisia turun ke jalan menentang tindakan presiden.
Kulminasi
Kejadian ini adalah kulminasi dari krisis yang berkepanjangan di Tunisia. Negara ini adalah pencetus Revolusi Musim Semi Arab pada 2011. Pada Desember 2010, seorang pemuda sarjana bernama Mohamed Bouazizi membakar dirinya di alun-alun kota. Ia menggelar aksi protes akibat frustrasi tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak sehingga hanya bisa menjadi penjual buah-buahan di emperan. Bouazizi meninggal di rumah sakit setelah hampir satu bulan dirawat.
Kematian Bouazizi memantik unjuk rasa besar-besaran yang kemudian melengserkan diktator Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011. Ben Ali telah berkuasa di Tunisia selama 23 tahun. Ia melarikan diri ke luar negeri dan meninggal di pengasingan pada 2019. Revolusi Musim Semi ini kemudian menjalar ke Mesir, Libya, dan Suriah.
Pada Oktober 2011, Tunisia menyelenggarakan pemilu bebas pertama. Ennahda, gerakan Islamis moderat, memenangi mayoritas kursi di parlemen. Akan tetapi, demokrasi ini tidak membawa perubahan positif terhadap ekonomi. Justru yang muncul malah perebutan kekuasaan. (AFP/REUTERS)