Krisis Politik Guncang Tunisia, Presiden Pecat PM dan Bekukan Parlemen
Krisis politik di Tunisia saat ini merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas negara itu sejak revolusi tahun 2011, yang memicu gelombang ”Musim Semi Arab”.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
AFP/FETHI BELAID
Seorang warga Tunisia pengunjuk rasa mengibarkan bendera nasional dalam unjuk rasa antipemerintah, sementara aparat keamanan berupaya memblokir jalan di depan gedung parlemen di Tunis, Tunisa, Minggu (25/7/2021).
TUNIS, SENIN — Gejolak politik melanda Tunisia. Negeri di kawasan Afrika Utara itu mengalami krisis politik terbesar dalam satu dekade demokrasi terakhir, Senin (26/7/2021), setelah Presiden Kais Saied membubarkan pemerintahan dan membekukan parlemen. Ia memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi.
Langkah Saied diperkirakan mendapat dukungan tentara. Namun, para penentangnya menyebut langkah itu sebagai kudeta. Kelompok islamis, Ennahda, yang menguasai sebagian besar kursi di parlemen, menyebut tindakan Presiden Saied sebagai kudeta dan pengkhianatan terhadap Revolusi Musim Semi.
Warga pengunjuk rasa menyambut gembira langkah yang diambil Presiden Saied. Pemecatan Mechichi dilakukan pada hari Minggu (25/7/2021) malam waktu setempat. Pada saat yang sama, Presiden Saied juga membekukan parlemen.
Bahkan, gedung parlemen kini dibarikade oleh militer sehingga Ketua Parlemen Rached Gannouchi, yang juga Ketua Ennahda, tidak bisa masuk ke parlemen. Militer juga memblokir stasiun televisi pemerintah.
AFP/FETHI BELAID
Tentara Tunisia menutup pintu masuk ke gedung parlemen di Tunis, Tunisia, Senin (26/7/2021), menyusul langkah Presiden Tunisia Kais Saied membekukan parlemen dan memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi.
Rakyat yang sudah berbulan-bulan berunjuk rasa di hampir semua penjuru negara di Afrika Utara itu bersorak-sorai di jalanan. Mereka bahkan menyerukan pembubaran parlemen dan pelaksanaan pemilihan umum yang baru. Selain itu, kantor pusat Ennahda di ibu kota Tunis juga dirangsek massa yang merusak barang-barang di dalamnya.
”Parlemen dibekukan untuk 30 hari mendatang. Selama itu pula kita harus menstabilkan keadaan negara sampai waktunya penunjukan perdana menteri yang baru,” kata Saied dalam siaran langsung di televisi. Gannouchi membalas pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa parlemen tetap bekerja seperti biasa meskipun tidak dari gedung mereka.
Sehari sebelumnya, warga menggelar unjuk rasa menentang pemerintah dan Ennahda menyusul terus melonjaknya kasus Covid-19 di Tunisia. Disfungsi politik yang kronis dan keterpurukan ekonomi di tengah pandemi telah meningkatkan kemarahan warga.
Situasi saat ini merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas Tunis sejak revolusi tahun 2011, yang memicu gelombang ”Musim Semi Arab”. Ketua parlemen, yang juga Ketua Partai Ennahda, Rached Ghannouchi menyebut langkah Presiden Saied sebagai serangan pada demokrasi. Ia menyerukan agar rakyat Tunisia turun ke jalan menentang tindakan Presiden Saied.
AFP/FETHI BELAID
Dalam foto yang diambil dari televisi Presiden Kais Saied ini tampak Presiden Saied (kedua dari kanan) mengumumkan pembubaran parlemen dan pemerintahan PM Hichem Mechichi di hadapan para kepala staf militernya di Istana Carthage, Tunis, Tunisia, Minggu (25/7/2021).
Krisis berkepanjangan
Kejadian ini adalah kulminasi dari krisis yang berkepanjangan di Tunisia. Negara ini adalah pencetus Revolusi Musim Semi Arab pada 2011. Pada Desember 2010, seorang penjual buah-buahan berusia 26 tahun bernama Mohamed Bouazizi membakar dirinya di alun-alun kota Sidi Bouzid, sekitar 272 kilometer selatan Tunis. Ia menggelar aksi protes setelah keranjang untuk menjual dagangan buah-buahan dirampas petugas.
Bouazizi juga frustrasi tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak sehingga hanya bisa menjadi penjual buah-buahan di emperan. Bouazizi meninggal dunia di rumah sakit setelah hampir satu bulan dirawat.
Kematian Bouazizi memantik unjuk rasa besar-besaran yang kemudian melengserkan diktator Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011. Ben Ali telah berkuasa di Tunisia selama 23 tahun. Ia melarikan diri ke luar negeri dan meninggal dunia di pengasingan pada 2019. Revolusi Musim Semi ini kemudian menjalar ke Mesir, Libya, dan Suriah.
Bulan Oktober 2011 Tunisia menyelenggarakan pemilu bebas pertama. Ennahda, gerakan islamis moderat, memenangi mayoritas kursi di parlemen. Akan tetapi, demokrasi ini tidak membawa perubahan positif terhadap ekonomi. Justru, yang muncul malah perebutan kekuasaan.
Sejumlah tokoh oposisi dibunuh. Kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) perlahan memasuki Tunisia. Pada 2014, pemerintah melakukan amendemen terhadap undang-undang dasar (UUD). Sementara itu, pihak teknokratis mulai kembali memasuki pemerintahan, sementara gerakan islamis mundur.
AFP/FETHI BELAID
Warga berunjuk rasa di jalan setelah Presiden Tunisia Kais Saied mengumumkan pembubaran pemerintahan PM Hichem Mechichi di Tunis, Tunisia, Minggu (25/7/2021).
Dalam satu dekade Tunisia sudah sembilan kali berganti pemerintahan. Pemilu terakhir berlangsung pada 2019 yang memenangkan Saied, seorang akademisi, sebagai presiden. Ennahda juga kembali menjadi mayoritas di parlemen.
Di sektor ekonomi tidak ada perubahan karena krisis masih melanda. Pandemi Covid-19 memperparah keadaan sehingga masyarakat semakin marah dengan perdana menteri dan parlemen.
”Di negara ini tidak ada apa pun. Tidak ada pertumbuhan ekonomi, tidak ada pekerjaan, sekarang di tengah Covid-19 juga tidak ada vaksin,” kata Nourredine Selmi (28), seorang pengangguran yang ikut berunjuk rasa.
Berdasarkan data Bank Dunia per 15 Juni 2021, angka pengangguran di Tunisia adalah 16,7 persen. Mayoritas tunakarya adalah anak muda, termasuk sarjana. Sementara itu, dari sektor kesehatan, media All Africa mengatakan, per 13 Juni, Tunisia telah menyuntikkan 1,4 juta dosis vaksin Covid-19. Adapun jumlah orang yang mendaftar di program imunisasi nasional, Evax, ada 2,4 juta orang.
AFP/FETHI BELAID
Aparat keamanan Tunisia menembakkan gas air mata saat bentrok dengan para pengunjuk rasa antipemerintah di depan gedung parlemen di Tunis, Tunisia, Minggu (25/7/2021).
Saied kemudian menggunakan Pasal 80 UUD yang menyatakan apabila negara dalam keadaan darurat, presiden diizinkan mengambil tindakan eksekutif. Pasal ini dijadikan sebagai landasan pemecatan Mechichi dan pembekuan parlemen.
Permasalahannya, pasal tersebut juga mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan eksekutif ini harus melalui pertimbangan Majelis Darurat yang hingga kini belum terbentuk. Presiden Tunisia periode 2011-2014 Moncef Marzouki mengkritik langkah Saied.
”Semestinya kedepankan dialog tiga pihak antara presiden, perdana menteri, dan parlemen. Kalau begini, justru kita mundur kembali ke era kediktatoran,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)