Seandainya penertiban lembaga penyedia layanan pendidikan berhasil dilakukan, belum pasti jumlah kelahiran di China akan meningkat atau tidak. Yang pasti, hal ini menunjukkan negara tak main-main dengan urusan demografi.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Di Wuhan, China, Zhou Sichen menceritakan, salah satu anaknya yang berusia enam tahun mengambil sejumlah les yang berbeda sejak usianya baru tiga tahun. Setiap minggu, anak perempuannya itu mengambil kursus, antara lain, bahasa Inggris, matematika, piano, tari, dan olahraga.
Seperti dilaporkan media China, People’s Daily, Zhou melakukan hal itu karena merasa harus mendukung penuh anaknya agar bisa masuk ke universitas impian. Ia merasa akan disalahkan anaknya jika gagal mencetak nilai yang bagus untuk masuk ke institusi pendidikan tinggi yang diidam-idamkan.
Ada dua anak di keluarga Zhou. Untuk mereka, biaya kursus menyedot sebagian besar pengeluaran keluarga. Zhou, doktor jurnalistik, dan istrinya yang juga menempuh pendidikan tinggi jurnalistik harus menekan secara signifikan pengeluaran mereka demi membiayai kursus anak-anak.
Kompetisi ketat di antara siswa di China untuk memburu nilai tinggi dan pendidikan terbaik menyebabkan bisnis kursus, bimbingan belajar (bimbel), dan kini bimbel daring tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Begitu ambisiusnya orangtua sampai-sampai anak yang baru berusia tiga tahun sudah diikutkan bimbel. Tak sedikit dari anak-anak ini belajar membaca atau berhitung guna memastikan mereka sudah menguasainya saat duduk di sekolah dasar.
Biaya les atau bimbel tak murah. Zou Ye, ibu seorang siswa kelas VI sekolah dasar di Beijing, menghabiskan 30.000 yuan (Rp 67 juta) per tahun untuk mengikutsertakan anaknya pada kursus bahasa Inggris.
Bagi Pemerintah China, isu pelajaran tambahan krusial. Mahalnya biaya kursus turut membuat pasangan menunda atau bahkan mungkin memilih tak mempunyai anak. Hal ini ikut berdampak pada kondisi demografi China yang mengarah lebih cepat pada masyarakat menua (ageing society).
Tekanan demografi ini terutama dipicu kebijakan satu anak pada 1980-2015. Pemerintahan Presiden Xi Jinping pun mengakhiri kebijakan itu guna membuat China tak buru-buru menua. Adapun masyarakat menua ditandai dengan jumlah warga kelompok usia kerja yang menyusut dan proporsinya lebih kecil daripada warga senior.
Dalam sensus 10 tahunan China pada 2020 terungkap angka pertumbuhan penduduk tahunan 0,53 persen. Angka ini turun dibandingkan pertumbuhan tahunan 0,57 persen yang diukur pada 2010 dan lebih rendah pula ketimbang pertumbuhan penduduk tahunan 1,07 persen pada 2000.
Tingkat kesuburan (fertility rate) China ialah 1,3—kurang dari 2,1 atau batas tingkat kesuburan yang memungkinkan populasi tak mengalami pengurangan (replacement-level fertility). Data sensus juga menyebutkan, kelompok usia produktif atau warga berusia 15-59 tahun berjumlah 925 juta jiwa, 63,53 persen dari total populasi 1,4 miliar jiwa. Proporsi penduduk usia produktif ini berkurang 7 persen dibandingkan 2010. Angka-angka itu mencemaskan. Pada 2055, jumlah warga berusia 15-59 tahun berkurang setengah dari sekarang.
Padahal, penduduk merupakan kunci kemajuan negara. Jumlah penduduk yang besar—tentu disertai kesehatan dan edukasi yang baik—akan membuat negara maju, sejahtera, dan disegani di dunia internasional.
Setelah mengakhiri kebijakan satu anak, Pemerintah China kini memburu penyelenggara kursus yang nakal. Sejumlah lembaga didenda besar karena dinilai memalsukan akreditasi pengajar dan membohongi publik lewat iklan menyesatkan. Regulasi lebih ketat disiapkan agar lembaga bimbel, termasuk yang daring, tak mencari laba secara gila-gilaan.
Ditulis Asia Nikkei Review edisi 24 Juni 2021, tindakan keras China membuat saham emiten penyedia layanan pendidikan berbasis teknologi anjlok. Saham Gautu Techedu yang terdaftar di Bursa New York ditutup 13,36 dollar AS per lembar pada tanggal 22 Juni, turun 30 persen dari nilai tertinggi bulanan 19,05 dollar AS. Saham perusahaan berbasis di Beijing itu telah jatuh dari 142,70 dollar AS pada Januari.
Setelah mengakhiri kebijakan satu anak, Pemerintah China kini memburu penyelenggara kursus yang nakal.
Menurut iResearch Global Group Beijing, emiten penyedia layanan pendidikan daring telah menarik dana investasi 106 miliar yuan tahun lalu. Sektor edtech atau teknologi pendidikan menerima keuntungan besar akibat peralihan ke pembelajaran daring selama pandemi.
Belum jelas, seandainya penertiban lembaga penyedia layanan pendidikan itu berhasil, jumlah kelahiran di China akan meningkat atau tidak. Yang pasti, hal ini menunjukkan negara tak mau main-main dengan ancaman terhadap demografi.