Pemulihan Pandemi Covid-19 Akibatkan Kenaikan Emisi Karbon
Pascapandemi, negara-negara di dunia akan berpacu memulihkan ekonomi mereka. Upaya itu berpotensi memicu peningkatan emisi karbon. Untuk mencegahnya, negara-negara perlu beralih ke energi bersih.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
PARIS, SELASA — Pemulihan ekonomi global pascapandemi Covid-19 diperkirakan akan melejitkan emisi karbon sehingga mengancam kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat celsius. Jika itu terjadi, pemanasan global ekstrem tidak akan terbendung. Tindakan pengalihan sistem ekonomi dan industri ke energi bersih harus secepatnya dilakukan, terutama di negara-negara berkembang.
Selama 1,5 tahun pandemi Covid-19, transportasi dan industri relatif berkurang. Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh pada tumpukan gas rumah kaca di atmosfer Bumi. Demikian dikemukakan oleh Badan Energi Internasional (IEA) yang bermarkas di Paris, Perancis, pada Senin (19/7/2021).
”Menurut perhitungan kami, kenaikan karbon dioksida drastis akan terjadi pada tahun 2023 ketika dunia relatif mulai stabil pulih dari pandemi. Setelah itu, emisi akan terus meningkat,” kata Kepala IEA Fatih Birol.
Analisis IEA mengungkapkan, akan ada produksi 3,5 miliar ton emisi yang tidak akan bisa diserap oleh alam. Semua negara di dunia, baik kaya maupun miskin, harus beralih ke energi baru dan terbarukan.
Lebih lanjut ketika berbicara pada media Turki, TRT World, Birol menjelaskan bahwa secara keseluruhan, negara-negara di dunia mengalokasikan 15 triliun dollar AS untuk penanganan pandemi. Dari jumlah ini, dana untuk pengembangan energi bersih dan penanganan perubahan krisis iklim hanya 380 miliar dollar AS atau setara dengan 2 persen dari keseluruhan.
Investasi untuk ekonomi hijau periode 2020-2030 adalah 150 miliar dollar AS per tahun. Apabila dunia menargetkan tahun 2050 tidak ada emisi atau dekarbonisasi, investasi hijau ini harus ditingkatkan menjadi 1 triliun dollar AS per tahun secara akumulatif.
”Hal ini disertai dengan penghentian investasi terhadap bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara,” ujar Birol.
Pembahasan mengenai krisis iklim akan dilakukan di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021 melalui Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP26. Akan tetapi, pekan lalu, 100 negara berkembang, di antaranya Bhutan, Somalia, Etiopia, dan Kenya, mengeluarkan pernyataan bersama mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan oleh negara-negara maju, terutama para anggota 20 ekonomi terbesar dunia atau G-20. Indonesia termasuk dalam kelompok 20 ini.
Inti dari pernyataan tersebut ialah menekankan bahwa negara-negara berkembang terkena imbas krisis iklim lebih awal dibandingkan dengan negara-negara kaya. ”Fenomena ini karena mayoritas pabrik dari negara kaya sekarang berada di negara-negara berkembang, tetapi tidak disertai mitigasi lingkungan yang baik,” kata Sonam P Wangdi, Ketua Grup Negara-negara Berkembang untuk COP26.
Oleh sebab itu, mereka meminta G-20 secara kumulatif memegang janji Konferensi Iklim Paris 2015 untuk mengalokasikan 100 miliar dollar AS demi penanganan perubahan iklim. Sebagai gambaran, jika hal ini dilakukan, AS harus mengurangi 70 persen emisi karbon domestik per tahun 2030, ditambah dengan investasi ekonomi hijau sebesar 80 miliar dollar AS per tahun. Adapun Inggris juga harus mengurangi 70 persen emisinya dan mengalokasikan 46 miliar dollar AS setiap tahun untuk penanganan krisis iklim global.
Sejauh ini, baru Uni Eropa yang memiliki peraturan dekarbonisasi per 2050. Berdasarkan aturan itu, semua kendaraan bermotor, industri, pembangkit listrik, dan rumah tangga wajib beralih ke sumber energi bersih per tahun 2035. Semua barang impor, termasuk komoditas strategis seperti semen dan baja, akan dikenai pajak karbon yang harus dibayar oleh negara pengekspor. (AFP/REUTERS)