Uni Eropa akan mengenakan pajak karbon atas semua barang yang mereka impor. Namun, kebijakan itu mendapat kritik tajam dari sejumlah negara pengekspor karena berpotensi \'membunuh\' ekonomi mereka.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BRUSSELS, KAMIS – Uni Eropa melalui Komisi Eropa akan memberlakukan pajak karbon untuk semua produk impor dari negara-negara di luar kawasan tersebut guna mengurangi emisi karbon hingga 55 persen pada 2030. Aturan itu mendapat tanggapan berbeda-beda. Para pegiat lingkungan menilai upaya tersebut belum cukup drastis, sebaliknya sejumlah negara pengekspor terbesar ke UE naik pitam.
Keputusan itu diumumkan di markas besar UE di Brussels, Belgia, oleh Wakil Ketua Bidang Lingkungan Komisi Eropa, Frans Timmermans pada hari Kamis (15/7/2021). ”Kami sadar betul aturan ini akan mendapat banyak tentangan, tetapi pada saat yang sama kami juga optimistis semua bisa dilakukan,” tuturnya.
Sebagai gambaran, 27 negara anggota UE secara keseluruhan memproduksi 4 miliar ton karbon per tahun. Daya serap alami karbon oleh hutan, rawa, padang rumpun, ataupun ekosistem UE hanya mampu menangani 268 juta ton karbon setiap tahun.
Selama ini, pabrik-pabrik dan pembangkit listrik di kawasan itu diperbolehkan menghasilkan karbon dengan syarat membayar biaya untuk setiap ton karbon yang mereka produksi per tahun. Skema ini disebut Sistem Jual-Beli Emisi (ETS). Uang hasil pembayaran dari industri itu dipakai UE untuk menyubsidi berbagai kebutuhan perbaikan lingkungan. Sejumlah pihak menilai sistem ini tidak efektif karena sama dengan gali lubang lalu tutup lubang.
Semakin tingginya suhu Bumi, apalagi dengan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa jika suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius lagi pemanasan global ekstrem tidak akan terbendung, UE memutuskan mengambil langkah yang drastis. UE menargetkan pada 2050 bisa mencapai taraf dekarbonisasi atau tidak memproduksi karbon sama sekali.
Oleh sebab itu, mulai sekarang, setiap tahun UE harus bisa mengurangi 310 juta ton emisi karbon. Pabrik, perkantoran, angkutan umum dan kendaraan pribadi, serta rumah tangga wajib mengikuti aturan ini. Dicanangkan pula bahwa mulai tahun 2035, semua kendaraan pribadi maupun umum harus bertenaga listrik atau bahan bakar ramah lingkungan lainnya. Demikian pula dengan pembangkit listrik tidak boleh satu pun memakai batubara.
Target setiap negara anggotanya berbeda-beda. Swedia, Spanyol, Italia, Perancis, Jerman, Romania, dan Polandia merupakan kelompok negara penghasil karbon terbesar di UE. Mereka diminta mengurangi emisi 26-47 juta ton karbon setiap tahun untuk tiap-tiap negara. Adapun penghasil emisi rendah, seperti Finlandia, Bulgaria, Slovakia, Hongaria, dan Austria masing-masing dikenai penurunan 5 juta ton per tahun.
Pajak karbon
Di samping itu, UE akan memberlakukan pajak karbon bagi semua komoditas impor. Kebutuhan strategis seperti aluminium, baja, dan semen yang dipakai untuk membangun infrastruktur tidak akan lolos dari pajak tersebut mulai 2026. Alasannya adalah untuk mencegah perusahaan-perusahaan UE ”kabur” ke negara-negara berkembang dan membangun pabrik-pabrik baru di sana. Di satu sisi, ini juga untuk mendorong negara-negara lain mengikuti UE agar lebih serius menangani krisis iklim.
Sejumlah kritik mengatakan aturan ini terlalu berlebihan karena berisiko menimbulkan protes besar-besaran di UE karena akan banyak orang yang perusahaan tempatnya bekerja terdampak pajak tersebut. Salah satu yang terimbas adalah industri penerbangan karena memakai bahan bakar minyak, sementara UE meminta semua jenis transportasi harus berbasis listrik atau bahan bakar nonfosil lainnya.
”Harga tiket pesawat akan melangit. Negara-negara yang pendapatannya bergantung dari pariwisata, seperti Yunani, Portugal, dan Italia, akan mengalami penurunan pendapatan,” kata Ketua Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA) Willie Walsh.
Negara yang sudah mengajukan keberatan adalah Australia. Mayoritas impor bahan bakar fosil UE berasal dari ”Negeri Kanguru”. Kementerian Perdagangan Australia menyebutkan, 4 persen ekspor mereka adalah ke UE dan due pertiganya terdiri dari batubara, bijih besi, dan gas alam. Adapun data Komisi Eropa mengungkapkan, dari semua mitra dagang mereka, Australia adalah penghasil polutan terbesar ketiga. Peringkat pertama diduduki oleh Rusia dan kedua oleh Arab Saudi.
”Tidak masuk akal dan tidak adil. Aturan baru ini memang niatnya baik, tetapi praktiknya akan mematikan ekonomi negara-negara lain,” kata Menteri Perdagangan Australia Dan Tehan kepada media ABC News. (AFP/Reuters)