G-20 Ajukan Gagasan Batas Bawah Harga Emisi Karbon
Negara-negara anggota kelompok 20 ekonomi terbesar di dunia atau G-20 yang mencakup Indonesia didesak agar segera mengurangi emisi karbon.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
VENESIA, JUMAT — Negara-negara anggota kelompok 20 ekonomi terbesar di dunia atau G-20 yang mencakup Indonesia didesak agar segera mengurangi emisi karbon. Berbagai kekacauan iklim akibat pemanasan global sudah harus ditangani sekarang. Permasalahannya, penerapannya banyak menemukan kendala, termasuk di tujuh negara terkaya atau G-7.
Pengurangan emisi ini dibahas dalam pertemuan para menteri keuangan G-20 di Venesia, Italia, Jumat (9/7/2021). Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire memberi usulan agar negara-negara G-20 memutuskan harga batas bawah pajak karbon. Pertemuan ini merupakan rangkaian kegiatan menuju konferensi tingkat tinggi yang akan diadakan di Roma pada 30 Oktober mendatang.
Usulan batas bawah ini karena susah mencari harga pajak standar global untuk karbon. Apabila aturan menjadi lebih fleksibel, yaitu dengan menentukan batas bawah dan penambahannya diserahkan kepada setiap anggota G-20 sesuai kemampuan masing-masing, Le Maire meyakini sistem akan lebih efektif.
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen memberi masukan bahwa penentuan batas bawah sebenarnya kurang tepat mengingat setiap anggota G-20 memiliki sistem ekonomi dan dinamika yang beragam.
”Mungkin akan lebih masuk akal apabila sistem penyesuaian batas karbon berdasarkan kebijakan negara tersebut atas pencegahan perubahan iklim dan jumlah karbon yang dihasilkan. Bukan hanya soal harga pajak emisi karbon secara eksplisit,” ujar Yellen.
Pembahasan mengenai emisi karbon ini menyusul Konferensi Tingkat Tinggi G-7 Juni lalu. Di dalam rapat tersebut, para anggotanya, yaitu AS, Perancis, Italia, Jepang, Kanada, Inggris, dan Jerman, menetapkan komitmen untuk tidak menghasilkan emisi karbon sama sekali per 2050. AS melalui pemerintahan Presiden Joe Biden, misalnya, mengutarakan akan mengurangi 25-50 persen emisinya.
Apabila dilihat dalam konteks G-20—yang anggotanya adalah anggota G-7 ditambah antara lain dengan Uni Eropa, Australia, Indonesia, Argentina, Korea Selatan, Meksiko, Turki, dan Afrika Selatan—negara-negara ini memproduksi 80 persen emisi karbon global. Salah satu penyebabnya ialah negara-negara G-20, selain memiliki industri yang berkembang, juga merupakan lokasi pabrik-pabrik dari perusahaan anggota G-7.
Akibatnya, para anggota G-20 termasuk wilayah yang langsung merasakan dampak dari krisis iklim. Beberapa contohnya permukaan air laut yang terus naik, kekeringan, pola hujan tidak teratur, dan menurunnya keragaman ekosistem.
Bahkan, dampak juga terasa di negara-negara anggota G-7. AS dan Kanada, misalnya, sedang dilanda gelombang panas yang tidak pernah terjadi secara ekstrem. Ratusan orang meninggal dan kebakaran hutan serta lahan merajalela. Badan Meteorologi Kanada mencatat dalam satu hari satu malam pernah terjadi 710.000 sambaran petir sehingga mengakibatkan kebakaran.
Permasalahannya, di negara-negara G-7 sendiri penerapan penurunan emisi karbon tidak seragam. Media Kanada, National Observer, melakukan analisis terhadap performa tujuh negara tersebut. Data yang mereka olah dari berbagai sumber, termasuk dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi Dunia (OECD), menunjukkan, Inggris mengalami penurunan karbon terbesar sejak tahun 1990, yaitu 40 persen. Berikutnya adalah Uni Eropa sebesar 25 persen.
Hal ini karena Inggris memiliki Undang-Undang Penganggaran Karbon Tahun 2008. Di dalamnya mengatur bahwa semua sektor pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat diberi tenggat 12 tahun untuk menyiapkan diri dan berubah ke sistem kerja yang ramah lingkungan. Penerapannya dipantau oleh komisi perubahan iklim yang bekerja secara independen. Namun, berbeda dengan AS, Jepang, dan Kanada yang sejak tahun 1990 hanya memiliki rata-rata penurunan 15 persen.
Sementara itu, media keuangan Bloomberg menjelaskan bahwa belum ada aturan di negara-negara maju sekalipun mengenai sistem transisi ke energi baru dan terbarukan. Teknologi ramah lingkungan belum tersedia secara komersial dan jamak sehingga produksi energi baru dan terbarukan justru lebih mahal daripada memakai minyak bumi dan batubara.
Transisi ini tidak bisa hanya meminta agar bank melakukan analisis risiko pencemaran lingkungan terhadap calon peminjam dan menolak memberikan bantuan kredit kepada perusahaan yang tidak memiliki penanganan dampak lingkungan sesuai standar. Alasannya, akan memacetkan ekonomi. Pendekatannya harus berupa pengeroyokan dari semua sektor, dimulai dari memurahkan teknologi ramah lingkungan sehingga bisa diakses semua orang. (REUTERS)